Di dalam Al-Qur'an, Allah menggunakan kata "Kami" dan "Aku" sebagai kata ganti orang pertama yang mengacu kepada Allah sendiri. Mungkin kita bertanya-tanya, atau mungkin kita pernah mendengar orang mempertanyakan, "Mengapa Allah menggunakan kata 'Kami' yang berarti jamak atau lebih dari satu?", bahkan mungkin ada yang mengatakan "berarti itu menunjukkan Allah lebih dari satu".
Jawaban yang paling populer adalah, "Ketika Allah menggunakan kata 'Kami', itu berarti pada saat itu Allah melibatkan pihak lain, contohnya melibatkan malaikat Jibril. Dan jika menggunakan kata 'Aku' berarti dalam aktivitasnya merupakan hak prerogatif Allah".
Akan tetapi, bagaimana dengan surah Al-Baqarah ayat 34 yang berbunyi : "dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat ..." atau di surah Al-Baqarah ayat 52 yang mengatakan : "Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur". Apakah "Kami" disini berarti Allah dan malaikat Jibril? Apakah malakat Jibril "berfirman" ? atau apakah malaikat Jibril "memaafkan"? Kalau bukan, Allah dengan siapakah "Kami" dalam konteks ayat-ayat ini ? Atau mengapa terkadang Allah menggunakan kata "Ayaatiina (ayat-ayat Kami)" dan terkadang pula Ayaati (Ayat-ayat Ku)" ?
Melihat kembali kepada sejarah, sepatutnya kita bertanya, "Apakah ada riwayat yang menceritakan bahwa ada mempertanyakan mengapa Allah mengunakan kata 'Kami', seperti ketika Allah mengatakan Ayaatina (ayat-ayat Kami), bukannya ayaati (Ayat-ayat Ku) ?". Penulis sendiri belum menemukan ada riwayat sahih yang menceritakan demikian. Di jaman Rasulullah memang para sahabat memegang prinsip sami'na wa atho'na (kami mendengar dan kami taat), akan tetapi bukan berarti mereka tidak pernah bertanya. Sangat banyak riwayat hadis yang menceritakan bagaimana sahabat mempertanyakan atau meminta penjelasan mengenai sesuatu.
Jadi, mengapa tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa sahabat mempertanyakan mengapa Allah menggunakan kata "Kami" yang berarti jamak? Sedangkan hal ini berhubungan dengan akidah tauhid yang diperjuangkan oleh Rasulullah, sebagaimana yang diperjuangkan nabi-nabi terdahulu, bahwa Allah itu Ahad, satu, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Jika ada seseorang mengatakan "Tuhan itu satu, hanya ada satu Tuhan" kepada sekelompok masyarakat yang memiliki banyak Tuhan, kemudian dia mengemukakan ayat dimana ayat tersebut menggunakan kata "Kami" yang mengacu kepada Tuhan, tidakkah hal tersebut akan menjadi pertanyaan baik bagi pengikutnya saat itu maupun bagi orang-orang yang tidak mau mengikutinya ? "Kau mengatakan Tuhan itu satu, tapi kau bilang pada saat Tuhan berkata, Dia menggunakan kata Kami ..."
Jawabannya, karena tidak ada satupun orang pada masa Rasulullah yang menganggap "Kami" yang mengacu kepada Allah di dalam Al-QUr'an sebagai sesuatu yang jamak. Di beberapa bahasa di dunia, khususnya bahasa semit dan turunannya (misalnya Ibrani, Arab, dan Urdu) adalah biasa menggunakan bentuk jamak untuk mengacu kepada sesuatu yang tunggal, sebagai bentuk penghargaan, penghormatan atau pengagungan.
Contohnya, di dalam Alkitab kitab "Kejadian (bereshit)" yang merupakan kitab pertama dalam Alkitab (salah satu dari lima kitab yang dianggap sebagai Torah atau Taurat) yang merupakan kitab suci orang-orang Yahudi dan Kristen, ayat pertama pasal kesatu nya berbunyi "Bereshit bara Elohim et hashamayim ve'et ha'arets (Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi). Dalam bahasa ibrani untuk menandakan bentuk jamak, ditambahkan kata "-im" di belakang kata benda. Bahasa ibrani untuk "Tuhan" adalah "Eloh" atau "Elah". Elohim berarti "banyak tuhan". Tetapi tanyakan kepada setiap orang Yahudi, apakah "Elohim" berarti "banyak tuhan" ? Tentu saja mereka akan menjawab "Tidak". Tidak ada satupun Alkitab dari ribuan terjemahan di seluruh dunia yang menterjemahkan Elohim sebagai "Tuhan-Tuhan" atau "Gods".
Jawaban yang paling populer adalah, "Ketika Allah menggunakan kata 'Kami', itu berarti pada saat itu Allah melibatkan pihak lain, contohnya melibatkan malaikat Jibril. Dan jika menggunakan kata 'Aku' berarti dalam aktivitasnya merupakan hak prerogatif Allah".
Akan tetapi, bagaimana dengan surah Al-Baqarah ayat 34 yang berbunyi : "dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat ..." atau di surah Al-Baqarah ayat 52 yang mengatakan : "Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur". Apakah "Kami" disini berarti Allah dan malaikat Jibril? Apakah malakat Jibril "berfirman" ? atau apakah malaikat Jibril "memaafkan"? Kalau bukan, Allah dengan siapakah "Kami" dalam konteks ayat-ayat ini ? Atau mengapa terkadang Allah menggunakan kata "Ayaatiina (ayat-ayat Kami)" dan terkadang pula Ayaati (Ayat-ayat Ku)" ?
Melihat kembali kepada sejarah, sepatutnya kita bertanya, "Apakah ada riwayat yang menceritakan bahwa ada mempertanyakan mengapa Allah mengunakan kata 'Kami', seperti ketika Allah mengatakan Ayaatina (ayat-ayat Kami), bukannya ayaati (Ayat-ayat Ku) ?". Penulis sendiri belum menemukan ada riwayat sahih yang menceritakan demikian. Di jaman Rasulullah memang para sahabat memegang prinsip sami'na wa atho'na (kami mendengar dan kami taat), akan tetapi bukan berarti mereka tidak pernah bertanya. Sangat banyak riwayat hadis yang menceritakan bagaimana sahabat mempertanyakan atau meminta penjelasan mengenai sesuatu.
Jadi, mengapa tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa sahabat mempertanyakan mengapa Allah menggunakan kata "Kami" yang berarti jamak? Sedangkan hal ini berhubungan dengan akidah tauhid yang diperjuangkan oleh Rasulullah, sebagaimana yang diperjuangkan nabi-nabi terdahulu, bahwa Allah itu Ahad, satu, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Jika ada seseorang mengatakan "Tuhan itu satu, hanya ada satu Tuhan" kepada sekelompok masyarakat yang memiliki banyak Tuhan, kemudian dia mengemukakan ayat dimana ayat tersebut menggunakan kata "Kami" yang mengacu kepada Tuhan, tidakkah hal tersebut akan menjadi pertanyaan baik bagi pengikutnya saat itu maupun bagi orang-orang yang tidak mau mengikutinya ? "Kau mengatakan Tuhan itu satu, tapi kau bilang pada saat Tuhan berkata, Dia menggunakan kata Kami ..."
Jawabannya, karena tidak ada satupun orang pada masa Rasulullah yang menganggap "Kami" yang mengacu kepada Allah di dalam Al-QUr'an sebagai sesuatu yang jamak. Di beberapa bahasa di dunia, khususnya bahasa semit dan turunannya (misalnya Ibrani, Arab, dan Urdu) adalah biasa menggunakan bentuk jamak untuk mengacu kepada sesuatu yang tunggal, sebagai bentuk penghargaan, penghormatan atau pengagungan.
Contohnya, di dalam Alkitab kitab "Kejadian (bereshit)" yang merupakan kitab pertama dalam Alkitab (salah satu dari lima kitab yang dianggap sebagai Torah atau Taurat) yang merupakan kitab suci orang-orang Yahudi dan Kristen, ayat pertama pasal kesatu nya berbunyi "Bereshit bara Elohim et hashamayim ve'et ha'arets (Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi). Dalam bahasa ibrani untuk menandakan bentuk jamak, ditambahkan kata "-im" di belakang kata benda. Bahasa ibrani untuk "Tuhan" adalah "Eloh" atau "Elah". Elohim berarti "banyak tuhan". Tetapi tanyakan kepada setiap orang Yahudi, apakah "Elohim" berarti "banyak tuhan" ? Tentu saja mereka akan menjawab "Tidak". Tidak ada satupun Alkitab dari ribuan terjemahan di seluruh dunia yang menterjemahkan Elohim sebagai "Tuhan-Tuhan" atau "Gods".
Atau ketika di ayat ke-26 pasal kesatu kitab kejadian yang mengatakan "Vayomer Elohim [jamak] na'aseh [jamak] adam betsalmenu [jamak]... (Tuhan berfirman, "Marilah Kita membuat (na'aseh) manusia (adam) menurut gambar Kita (betsalmenu) ...). Tanyakan ke setiap orang Yahudi apakah ayat ke 26 pasal kesatu kitab kejadian ini menyatakan bahwa Tuhan itu lebih dari satu ? Dengan tegas mereka akan mengatakan "tidak" (Kita mungkin akan memperoleh jawaban yang berbeda jika yang kita tanya adalah orang Kristen, akan tetapi tentu saja Perjanjian Lama hadir dan tumbuh dalam bahasa dan tradisi Yahudi, jauh sebelum Kristen muncul)
Mengapa ? padahal kesemuanya menggunakan bentuk jamak. Jawabannya, karena itu merupakan bentuk pengagungan, pemuliaan Tuhan kepada diri-Nya. Sudah suatu hal yang lazim dalam bahasa Ibrani maupun Arab untuk menggunakan sesuatu yang jamak pada bentuk tunggal untuk menghormati bentuk tunggal tersebut. Dalam bahasa Inggris, ini disebut dengan "Majestic Plural", "The royal 'We'", atau "editorial we"
Dijabarkan di dalam wikipedia mengenai definisi "Majestic Plural" : The majestic plural (pluralis maiestatis/majestatis in Latin, literally, "the plural of majesty," maiestatis being in the genitive case), is the use of a plural pronoun to refer to a single person holding a high office, such as a monarch, bishop, or pope. (http://en.wikipedia.org/wiki/Majestic_plural). Hal senada juga dapat dilihat di http://wordsmith.org/words/nosism.html ataupun kamus-kamus online maupun offline lainnya
Jadi, penggunaan kata "Kami" dalam Al-Qur'an tidaklah berarti bahwa Allah itu lebih dari satu, akan tetapi lebih kepada bentuk bahasa. Di Indonesia, dimana Majestic Plural ini tidak (atau jarang) digunakan, hal ini wajar menjadi pertanyaan, akan tetapi kita harus kembalikan kepada bahasa aslinya. Apalagi dalam bahasa Al-Qur'an, penggunaan "Kami" sebagai kata ganti Allah adalah tidak langsung sebagai subjek, akan tetapi sebagai penambahan partikel bentuk plural orang pertama. Contohnya : ketika Allah berkata "Kami berfirman", bahasa arabnya adalah "Qulnaa" yang secara harfiah berarti "berkata kami" dan tidak dihitung sebagai dua kata, akan tetapi satu kata kerja (bentuk tunggalnya adalah "Qultu"). Struktur seperti ini tidak sama dengan yang ada di Indonesia, dan di masyarakat Timur Tengah, struktur seperti ini sering dimanfaatkan sebagai Majestic Plural.
Jadi, mengapa Allah kadang-kadang menggunakan kata "Kami" kadang-kadang menggunakan kata "Aku" ?
Ketika Allah menggunakan kata "Kami", pada saat itu Allah sedang menunjukkan kebesaran, keagungan, dan kemahaan-Nya. Sehingga kata-kata "Kami" banyak digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan penciptaan seperti penciptaan alam semesta, atau ketika Allah mengatakan mengenai ayat-ayat (tanda-tanda)-Nya yg berada di alam. Atau ketika Allah mengatakan "Kami maafkan", saat itu Allah sedang mengagungkan Diri-Nya sebagai Maha Pemaaf.
Sedangkan ketika Allah menggunakan kata "Aku", Allah sedang menegaskan ketunggalan-Nya, hanya Dia, keunikan-Nya. Jadi ketika Allah mengatakan "ayaati (ayat-ayat-Ku) di beberapa tempat dalam Al-Qur'an, bukannya "ayaatiina (ayat-ayat Kami)" sebagaimana yang digunakan di banyak tempat yg lainnya dalam Al-Qur'an, Allah ingin menegaskan bahwa semua tanda-tanda, semua ayat-ayat itu adalah milik-Nya semata. Juga ketika mengisahkan mengenai kutipan percakapan Allah dengan nabi-nabi terdahulu seperti Musa as dan Ibrahim as, kata "Aku" juga banyak digunakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.