Sistem transportasi yang terintegrasi telah lama dimiliki umat Islam. Jalan-jalan dibangun secara terencana. Menghubungkan ibu kota kekhalifahan dengan kota-kota lain. Selain itu, berfungsi pula menopang kegiatan komersial, sosial, administratif, militer, dan sejumlah hal lainnya.
Pembuatan jaringan jalan mulai menggeliat ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa di abad ke-8. Saat itu, fokus utama dinasti tersebut adalah mewujudkan stabilitas serta kemakmuran. Bukan lagi penaklukan wilayah seperti pada dinasti sebelumnya. Maka itu, mereka berpikir perlunya sistem jaringan transportasi dan komunikasi yang andal.
Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan, menjadi sentral. Beberapa jalur yang dibuka, semuanya dari dan menuju kota ini. Dengan keberadaan jalan, ungkap Mansour Elbabour dalam System of Cities: an Alternative Approach to Medieval Islamic Urbanism, tercipta integrasi dengan kota-kota provinsi utama hingga wilayah perbatasan.
Kota-kota tersebut memang diharapkan dapat menunjang gerak kehidupan di ibu kota dengan berbagai komoditas yang dihasilkan. Pembangunan jaringan jalan terbagi dalam dua periode. Pada abad ke-9, seluruh jaringan transportasi masih berpusat di Baghdad. Jalan utama atau jalan negara menghubungkan Baghdad dengan kota provinsi yang strategis.
Periode kedua, yakni di abad ke-10 ketika terjadi perkembangan luar biasa di sejumlah provinsi. Kondisi itu membuat kota-kota provinsi kian otonom. Baghdad bukan lagi satu-satunya pusat pertumbuhan. Dengan demikian, pembangunan jaringan jalan di provinsi memiliki fungsi yang sejajar dengan jalan negara.
Beberapa aspek menuntut kebutuhan akan jaringan jalan yang tersistematisasi. Seperti komunikasi antaranggota masyarakat kian intens. Hubungan terjalin di berbagai bidang. Mereka pun membutuhkan kecepatan waktu untuk mempermudah urusan, dan itu hanya bisa dipenuhi lewat sistem transportasi yang baik.
Jalan-jalan yang terbangun dengan baik, memberi kemudahan pula bagi pejabat pemerintah pusat yang seringkali menginspeksi wilayah kekuasaannya. Di sisi lain, pada masa itu bangkit gairah keagamaan di dunia Islam. Umat Islam selalu berharap dapat mengunjungi kota suci Makkah dan Madinah.
Perjalanan harus difasilitasi dengan adanya jaringan yang menghubungkan kota-kota yang bisa mengantarkan umat Islam ke sana. Secara garis besar, terdapat empat jaringan jalan utama. Masing-masing bermula dari Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan.
Ada pula yang disebut dengan jaringan jalan kelima. Yaitu, berupa jalur transportasi air melintasi Sungai Tigris menuju Basra dan Teluk Arab. Jaringan pertama adalah Jalan Raya Khurasan. Al-Yaqubi, sejarawan Muslim yang hidup di abad ke9, menyebutnya jaringan besar.
Jalan utama ini membentang dari Baghdad menuju wilayah timur laut dan utara hingga ke kawasan perbatasan dengan Cina. Jalan ini juga melintasi kawasan di sepanjang Sungai Syr Daria. Begitu pula, melewati sejumlah kota, antara lain Hamazan, Ray, Naysapur, Thus, Merv , Bukhara, dan Samarkand.
Ini merupakan daerah yang akan mengarah pada perlintasan Jalan Sutera yang terkenal. Hingga era modern, jaringan jalan tersebut masih ada. Al-Yaqubi menggambarkan, Jalan Khurasan ini sebagai jalur pos utama yang melintasi Persia. Jalan ini melewati sejumlah kota penting, misalnya, Teheran dan kota tua Ray.
Pembuatan jaringan jalan mulai menggeliat ketika Dinasti Abbasiyah berkuasa di abad ke-8. Saat itu, fokus utama dinasti tersebut adalah mewujudkan stabilitas serta kemakmuran. Bukan lagi penaklukan wilayah seperti pada dinasti sebelumnya. Maka itu, mereka berpikir perlunya sistem jaringan transportasi dan komunikasi yang andal.
Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan, menjadi sentral. Beberapa jalur yang dibuka, semuanya dari dan menuju kota ini. Dengan keberadaan jalan, ungkap Mansour Elbabour dalam System of Cities: an Alternative Approach to Medieval Islamic Urbanism, tercipta integrasi dengan kota-kota provinsi utama hingga wilayah perbatasan.
Kota-kota tersebut memang diharapkan dapat menunjang gerak kehidupan di ibu kota dengan berbagai komoditas yang dihasilkan. Pembangunan jaringan jalan terbagi dalam dua periode. Pada abad ke-9, seluruh jaringan transportasi masih berpusat di Baghdad. Jalan utama atau jalan negara menghubungkan Baghdad dengan kota provinsi yang strategis.
Periode kedua, yakni di abad ke-10 ketika terjadi perkembangan luar biasa di sejumlah provinsi. Kondisi itu membuat kota-kota provinsi kian otonom. Baghdad bukan lagi satu-satunya pusat pertumbuhan. Dengan demikian, pembangunan jaringan jalan di provinsi memiliki fungsi yang sejajar dengan jalan negara.
Beberapa aspek menuntut kebutuhan akan jaringan jalan yang tersistematisasi. Seperti komunikasi antaranggota masyarakat kian intens. Hubungan terjalin di berbagai bidang. Mereka pun membutuhkan kecepatan waktu untuk mempermudah urusan, dan itu hanya bisa dipenuhi lewat sistem transportasi yang baik.
Jalan-jalan yang terbangun dengan baik, memberi kemudahan pula bagi pejabat pemerintah pusat yang seringkali menginspeksi wilayah kekuasaannya. Di sisi lain, pada masa itu bangkit gairah keagamaan di dunia Islam. Umat Islam selalu berharap dapat mengunjungi kota suci Makkah dan Madinah.
Perjalanan harus difasilitasi dengan adanya jaringan yang menghubungkan kota-kota yang bisa mengantarkan umat Islam ke sana. Secara garis besar, terdapat empat jaringan jalan utama. Masing-masing bermula dari Baghdad sebagai ibu kota pemerintahan.
Ada pula yang disebut dengan jaringan jalan kelima. Yaitu, berupa jalur transportasi air melintasi Sungai Tigris menuju Basra dan Teluk Arab. Jaringan pertama adalah Jalan Raya Khurasan. Al-Yaqubi, sejarawan Muslim yang hidup di abad ke9, menyebutnya jaringan besar.
Jalan utama ini membentang dari Baghdad menuju wilayah timur laut dan utara hingga ke kawasan perbatasan dengan Cina. Jalan ini juga melintasi kawasan di sepanjang Sungai Syr Daria. Begitu pula, melewati sejumlah kota, antara lain Hamazan, Ray, Naysapur, Thus, Merv , Bukhara, dan Samarkand.
Ini merupakan daerah yang akan mengarah pada perlintasan Jalan Sutera yang terkenal. Hingga era modern, jaringan jalan tersebut masih ada. Al-Yaqubi menggambarkan, Jalan Khurasan ini sebagai jalur pos utama yang melintasi Persia. Jalan ini melewati sejumlah kota penting, misalnya, Teheran dan kota tua Ray.
Jaringan kedua adalah Jalan Lintas Tenggara. Jalan utama ini hampir paralel dengan Jalan Khurasan. Dua jalan tersebut dipisahkan oleh padang pasir luas yang terdapat di antara Khurasan dan Fars. Dari Gerbang Basra di Baghdad, jalur lintas tenggara mengikuti sepanjang Sungai Tigris. Dua kota pertama yang dilalui, yakni Wasit dan Basra.
Mulai dari Basra, barulah mengarah ke wilayah tenggara, tepatnya ke Kota Ahwaz di Kuzistan, hingga menjangkau arah timur sampai di Sungai Industan. Sedangkan jaringan ketiga, yaitu Jalan Maghreb. Jaringan ini memiliki dua jalur yang melalui Sungai Eufrat dan sedangkan jalur lainnya melewati Mosul.
Jalur yang dibangun melalui Eufrat, ke wilayah barat. Kota yang dilintasi salah satunya Qayrawan di Tunisia. Sedangkan Jalan Maghreb via Mosul, bermula dari Baghdad akan bertemu lintasan paralel di sisi barat Sungai Tigris menuju Samarra serta Mosul.
Terakhir adalah Jalur Haji. Jalan ini berawal dari Gerbang Kufah di Baghdad menuju Kota Kufah. Dari sini, jalur terus hingga ke Gurun Arabia sebelum sampai ke Madinah atau Makkah. Ini adalah salah satu jalan yang juga mengarah ke kota suci, di antara yang lain berasal dari Jazirah dan biasanya digunakan para jamaah haji dari wilayah timur dan utara.
Menurut Josef W Meri dalam Medieval Islamic Civilization, sebagian jaringan jalan yang digunakan umat Islam merupakan kelanjutan dari sistem yang dibuat sejak masa Romawi atau Persia kuno. Jalan-jalan itu sudah memakai batu yang disusun rapi. Saat bangsa Romawi berkuasa, jaringan jalan dibuat militer.
Selama masa pemerintahan Islam, jalan-jalan tadi diperbaiki serta diperluas jangkauannya sehingga dapat mencapai Makkah dan Madinah. Dari catatan Jere L Bacharach, jalur yang menuju dua kota suci bermula dari Baghdad (Darb Zubayda), Damaskus (Darb al-Hajj al-Shami), serta Kairo (Darb al-Hajj al-Misri).
Sebagian jalur belum berbatu, tetapi sudah dilengkapi fasilitas, seperti sumur, penampungan air, tempat peristirahatan, dan masjid. Ada dokumentasi yang baik tentang jalur yang dibangun dari Baghdad. Jalur ini dibangun pada masa Khalifah Harun alRasyid. Di beberapa titik jalur menuju kota suci tersedia tempat penginapan.
Beberapa peristiwa politik yang penting pada masa ini juga sedikit banyak terkait dengan lini transportasi itu. Gerakan perlawanan Abbasiyah bermula dari wilayah Humayma, sebuah desa kecil yang dilintasi jalur utama antara Damaskus dan Madinah. Sebenarnya, terdapat satu jaringan jalan yang sangat penting.
Yakni, jalur Mesir yang melintasi Kota Aqaba dan Ayla. Jalur ini memang kurang terkenal, tetapi kerap digunakan semasa pemerintahan Sultan Mamluk. Di samping membangun dan memperbaiki sistem jaringan jalan, Dinasti Abbasiyah sekaligus mengembangkan beragam fasilitas penunjangnya.
Antara lain, jembatan, tempat pemberhentian, sumur air, masjid, dan sebagainya. Bahkan, catatan sejarah mengungkapkan, sejumlah jembatan yang dibangun pada era tersebut memiliki ketahanan luar biasa. Ada dua tipe jembatan, yaitu yang berstruktur batu (qantara) dan yang berstruktur kayu (jisr).
Josef W Meri mengisahkan, alat transportasi utama yang melintas di jaringan jalan itu kebanyakan adalah unta dan kuda. Kereta kuda belum banyak digunakan sebelum abad ke-13 sampai menjelang serangan bangsa Mongol. Tak hanya itu, dengan sistem jalan yang melintasi berbagai wilayah, secara berangsur permukiman di sepanjang jalur. Beberapa permukiman itu kemudian tumbuh menjadi kota besar, misalnya Sammara yang dibangun pada abad ke-8 yang terletak di persimpangan jalur antara Damaskus dan Kairo serta Jaffa dan Yerusalem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.