Ibrahim bin Adham bercerita bahwa ia pernah didatangi seorang laki-laki yang berkata kepadanya: “Wahai Abu Ishak (Ibrahim bin Adham)! Saya seorang yang banyak berdosa, seorang yang dzalim. Sudikah kiranya Tuan mengajari saya hidup zuhud, agar Alloh menerangi jalan hidup saya dan melembutkan hati saya yang kesat ini.” Ibrahim bin Adham menjawab, “Kalau kau dapat memegang teguh enam perkara berikut ini, niscaya engkau akan selamat.”
“Apa itu?” Tanyanya. “Pertama, bila engkau bermaksiat, janganlah engkau memakan rizki Alloh.” “Jika di seluruh penjuru bumi ini, baik di barat maupun di timur, didarat maupun di laut, di kebun dan di gunung-gunung, ada rizki Alloh, maka dari mana aku makan?” “Wahai Saudaraku, pantaskah engkau memakan rizki Alloh, sementara engkau melanggar peraturan-Nya?” “ Tidak, demi Alloh! Lalu, apa yang kedua?” “Kedua, bila engkau bermaksiat kepada Alloh, janganlah engkau tinggal di negeri-Nya!” Lelaki itu menukas, “Tuan Ibrahim, demi Alloh yang kedua ini lebih berat.bukankah bumi ini milik-Nya? Kalau demikian halnya, dimana aku harus tinggal?”
“Patutkah engkau makan rizki Alloh dan tinggal di bumi-Nya padahal engkau melakukan maksiat kepada-Nya?” Tidak, Tuan Guru!”
“Ketiga, jika engkau hendak berbuat maksiat, janganlah engkau lupakan Alloh yang Maha Melihat dan beranggapanlah bahwa Dia lalai kepadamu!” “Tuan Guru, bagaimana mungkin bisa begitu, padahal Alloh Maha Mengetahui segala rahasia dan melihat setiap hati nurani.” “Layakkah engkau menikmati rizki-Nya, tinggal di bumi-Nya dan maksiat kepada-Nya sedangkan Alloh melihat dan mengawasimu?” “Tentu saja tidak, wahai Tuan Guru.Lantas apa yang keempat?” “Apabila datang kepadamu malaikat maut, hendak mencabut nyawamu, maka katakan kepada malaikat itu, tunggulah dulu, aku akan bertobat.” Lelaki itu menjawab, “Tuan Guru, itu tidak mungkin dan ia tak mungkin mengabulkan permintaanku.”
“Apa itu?” Tanyanya. “Pertama, bila engkau bermaksiat, janganlah engkau memakan rizki Alloh.” “Jika di seluruh penjuru bumi ini, baik di barat maupun di timur, didarat maupun di laut, di kebun dan di gunung-gunung, ada rizki Alloh, maka dari mana aku makan?” “Wahai Saudaraku, pantaskah engkau memakan rizki Alloh, sementara engkau melanggar peraturan-Nya?” “ Tidak, demi Alloh! Lalu, apa yang kedua?” “Kedua, bila engkau bermaksiat kepada Alloh, janganlah engkau tinggal di negeri-Nya!” Lelaki itu menukas, “Tuan Ibrahim, demi Alloh yang kedua ini lebih berat.bukankah bumi ini milik-Nya? Kalau demikian halnya, dimana aku harus tinggal?”
“Patutkah engkau makan rizki Alloh dan tinggal di bumi-Nya padahal engkau melakukan maksiat kepada-Nya?” Tidak, Tuan Guru!”
“Ketiga, jika engkau hendak berbuat maksiat, janganlah engkau lupakan Alloh yang Maha Melihat dan beranggapanlah bahwa Dia lalai kepadamu!” “Tuan Guru, bagaimana mungkin bisa begitu, padahal Alloh Maha Mengetahui segala rahasia dan melihat setiap hati nurani.” “Layakkah engkau menikmati rizki-Nya, tinggal di bumi-Nya dan maksiat kepada-Nya sedangkan Alloh melihat dan mengawasimu?” “Tentu saja tidak, wahai Tuan Guru.Lantas apa yang keempat?” “Apabila datang kepadamu malaikat maut, hendak mencabut nyawamu, maka katakan kepada malaikat itu, tunggulah dulu, aku akan bertobat.” Lelaki itu menjawab, “Tuan Guru, itu tidak mungkin dan ia tak mungkin mengabulkan permintaanku.”
Ibrahim bertutur, “Kalau engkau sadar bahwa engkau tak mungkin mampu menolak keinginannya, maka tentu ia akan datang kepadamu kapan saja, mungkin sebelum engkau bertobat.”
“Benar ucapan Guru! Sekarang apa yang kelima?” “Kelima, bilamana datang mungkar dan Nakir kepadamu, lawanlah kedua malaikat itu dengan seluruh kekuatanmu, bila kau mampu.” “Itu tidak mungkin, mustahil Tuan Guru.” Ibrahim bin Adham kemudian melanjutkan, ” Keenam, bila esok engkau berada di sisi Alloh SWT, dan Alloh menyuruhmu masuk neraka, katakanlah: Ya Alloh, aku tidak bersedia.” “Wahai Tuan Guru, cukuplah. Cukuplah nasihatmu!” Jawab lelaki itu, dan iapun pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.