Oleh Eko Prasetyo
Industri televisi di Indonesia sekarang hanya mementingkan selera pasar dan meraup keuntungan besar dari situ tanpa mengindahkan aspek mendidik. Disadari atau tidak, masyarakat kita cenderung dibodohi oleh tontonan di televisi. Yang memprihatinkan, justru acara tersebut diputar di premier time atau pukul 19.00-21.00.
Di waktu-waktu itulah, acara televisi tersebut sering ditonton oleh anak-anak. Kesedihan atau kesialan dieksploitasi untuk menarik simpati penonton. Kita bisa lihat acara-acara reality show remaja yang sama sekali tidak mendidik. Di situ, dipertontonkan bagaimana sepasang muda-mudi pacaran yang bisa bermesra-mesraan di depan umum. Seolah-olah, pacaran itu sudah umum dan sah-sah saja dilakukan. Legitimasi semacam ini sangat memprihatinkan.
Padahal, gaya hidup pacaran itu bisa menghadirkan perbuatan zina yang dilaknat Allah. Yang lebih memprihatinkan, acara valentine tiap tahun dirayakan tidak hanya oleh anak muda, tapi ada pula orang tua dengan ritual memberi bunga ataupun cokelat kepada pasangan. Masya Allah. Sedemikian rupa budaya Barat yang merusak itu telah diadopsi oleh masyarakat awam kita. Bahkan, acara-acara itu menjadi ladang bisnis yang nyata-nyata secara perlahan bisa menghancurkan akhlak seseorang.
Hampir selalu saya perhatikan, di kampung, rumah tetangga, kantor, warung kopi, di mana-mana, acara idol-idol-an makin semarak dengan peminat penonton yang tidak sedikit. Indonesian Idol, misalnya. Ini sangat membuat saya penasaran. Sehingga, saya mencari tahu dari mana asal mula acara yang diadopsi dari American Idol tersebut. Hasilnya?
Saya kaget ternyata kata “idol” itu berasal dari bahasa Ibrani yang artinya adalah berhala. “Kalau sudah begini, terus piye?” tanya saya di sebuah diskusi pengajian. “Ini jelas pembodohan, ” ujar seorang kawan.
Betapa media sangat berperan dalam membangun stigma kurang mendidik seperti ini. Terutama, acara-acara reality show yang menawarkan menjadi bintang secara instant. Ada satu lagi yang cukup mengusik hati saya. Yakni, acara talent search untuk anak-anak. Gimana tidak? Wong, ada tetangga saya, seorang ibu-ibu, yang saking histerisnya melihat ”idola”nya tereleminasi sampai menangis. Astagfirullah.
Di sini, ada suatu fenomena yang tidak baru, tapi muncul lagi dan masih ampuh memengaruhi penonton. Yakni, air mata. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak di antara finalis talent search di Indonesia (mulai zaman AFI) menjual kisah sedih mereka sebagai bagian dari strategi penjualan yang efektif. Seolah-olah, suara atau kualitas mereka tidaklah cukup untuk dijual kepada masyarakat. Sehingga, semakin tragis kisahnya, semakin menarik untuk dijual. Banyak variasi kisah sedih yang dijual. Mulai keluarga yang miskin sampai harus menjual becak demi ongkos ke Jakarta, bekas korban kerusuhan, keluarga tidak harmonis, single-parent, dan lain-lain. Masya Allah.
Hasilnya? Sukses dan tenar sesaat. Ada jebolan talent search yang bisa bertahan menjaga ketenarannya bukan karena skill yang dimiliki, tapi lebih karena fisikal semata. Ada pula yang terjerat utang hingga jutaan atau puluhan juta hanya untuk mengirimkan SMS demi memenangkan voting. Nah, sekarang kalau anak-anak yang mengikuti talent search itu, secara tidak sadar mereka telah dieksploitasi demi keuntungan program atau media yang menayangkannya.
Haruskah anak-anak menjadi dewasa sebelum waktunya di saat mereka masih harus menikmati masa anak-anaknya? Haruskah budaya Barat yang meracuni masyarakat semacam itu hanya kita biarkan? Karena itu, pendidikan agama begitu penting berperan di sini. Fondasi Islam harus ditanamkan kepada generasi muda, terutama sejak dini.
Rasulullah bersabda, ”Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan salat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap enggan mengerjakan shalat.” (HR Abu dawud dan al-Hakim). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan lewat Ibnu Abbas ra,
Rasulullah juga bersabda, “Taatlah kepada Allah dan takutlah berbuat maksiat kepada Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk menaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Sebab, hal itu akan memelihara mereka dan kamu dari siksa neraka.” Jelas sudah lewat hadis di atas bahwa pendidikan akhlak dan agama harus dberikan kepada anak-anak sejak dini. Tujuannya, agar anak-anak kita, generasi Islami mendatang, tidak mudah terjerumus terhadap hal atau acara yang tidak mendidik. Indonesia, please be objective and never fall into the same trap again.
sumber: OASE IMAN ERAMUSLIM.COM
Industri televisi di Indonesia sekarang hanya mementingkan selera pasar dan meraup keuntungan besar dari situ tanpa mengindahkan aspek mendidik. Disadari atau tidak, masyarakat kita cenderung dibodohi oleh tontonan di televisi. Yang memprihatinkan, justru acara tersebut diputar di premier time atau pukul 19.00-21.00.
Di waktu-waktu itulah, acara televisi tersebut sering ditonton oleh anak-anak. Kesedihan atau kesialan dieksploitasi untuk menarik simpati penonton. Kita bisa lihat acara-acara reality show remaja yang sama sekali tidak mendidik. Di situ, dipertontonkan bagaimana sepasang muda-mudi pacaran yang bisa bermesra-mesraan di depan umum. Seolah-olah, pacaran itu sudah umum dan sah-sah saja dilakukan. Legitimasi semacam ini sangat memprihatinkan.
Padahal, gaya hidup pacaran itu bisa menghadirkan perbuatan zina yang dilaknat Allah. Yang lebih memprihatinkan, acara valentine tiap tahun dirayakan tidak hanya oleh anak muda, tapi ada pula orang tua dengan ritual memberi bunga ataupun cokelat kepada pasangan. Masya Allah. Sedemikian rupa budaya Barat yang merusak itu telah diadopsi oleh masyarakat awam kita. Bahkan, acara-acara itu menjadi ladang bisnis yang nyata-nyata secara perlahan bisa menghancurkan akhlak seseorang.
Hampir selalu saya perhatikan, di kampung, rumah tetangga, kantor, warung kopi, di mana-mana, acara idol-idol-an makin semarak dengan peminat penonton yang tidak sedikit. Indonesian Idol, misalnya. Ini sangat membuat saya penasaran. Sehingga, saya mencari tahu dari mana asal mula acara yang diadopsi dari American Idol tersebut. Hasilnya?
Saya kaget ternyata kata “idol” itu berasal dari bahasa Ibrani yang artinya adalah berhala. “Kalau sudah begini, terus piye?” tanya saya di sebuah diskusi pengajian. “Ini jelas pembodohan, ” ujar seorang kawan.
Betapa media sangat berperan dalam membangun stigma kurang mendidik seperti ini. Terutama, acara-acara reality show yang menawarkan menjadi bintang secara instant. Ada satu lagi yang cukup mengusik hati saya. Yakni, acara talent search untuk anak-anak. Gimana tidak? Wong, ada tetangga saya, seorang ibu-ibu, yang saking histerisnya melihat ”idola”nya tereleminasi sampai menangis. Astagfirullah.
Di sini, ada suatu fenomena yang tidak baru, tapi muncul lagi dan masih ampuh memengaruhi penonton. Yakni, air mata. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak di antara finalis talent search di Indonesia (mulai zaman AFI) menjual kisah sedih mereka sebagai bagian dari strategi penjualan yang efektif. Seolah-olah, suara atau kualitas mereka tidaklah cukup untuk dijual kepada masyarakat. Sehingga, semakin tragis kisahnya, semakin menarik untuk dijual. Banyak variasi kisah sedih yang dijual. Mulai keluarga yang miskin sampai harus menjual becak demi ongkos ke Jakarta, bekas korban kerusuhan, keluarga tidak harmonis, single-parent, dan lain-lain. Masya Allah.
Hasilnya? Sukses dan tenar sesaat. Ada jebolan talent search yang bisa bertahan menjaga ketenarannya bukan karena skill yang dimiliki, tapi lebih karena fisikal semata. Ada pula yang terjerat utang hingga jutaan atau puluhan juta hanya untuk mengirimkan SMS demi memenangkan voting. Nah, sekarang kalau anak-anak yang mengikuti talent search itu, secara tidak sadar mereka telah dieksploitasi demi keuntungan program atau media yang menayangkannya.
Haruskah anak-anak menjadi dewasa sebelum waktunya di saat mereka masih harus menikmati masa anak-anaknya? Haruskah budaya Barat yang meracuni masyarakat semacam itu hanya kita biarkan? Karena itu, pendidikan agama begitu penting berperan di sini. Fondasi Islam harus ditanamkan kepada generasi muda, terutama sejak dini.
Rasulullah bersabda, ”Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan salat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap enggan mengerjakan shalat.” (HR Abu dawud dan al-Hakim). Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan lewat Ibnu Abbas ra,
Rasulullah juga bersabda, “Taatlah kepada Allah dan takutlah berbuat maksiat kepada Allah serta suruhlah anak-anak kamu untuk menaati perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan. Sebab, hal itu akan memelihara mereka dan kamu dari siksa neraka.” Jelas sudah lewat hadis di atas bahwa pendidikan akhlak dan agama harus dberikan kepada anak-anak sejak dini. Tujuannya, agar anak-anak kita, generasi Islami mendatang, tidak mudah terjerumus terhadap hal atau acara yang tidak mendidik. Indonesia, please be objective and never fall into the same trap again.
sumber: OASE IMAN ERAMUSLIM.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.