Sebaliknya, ketika Jorge Lorenzo atau Casey Stoner, yang sekarang pensiun dari hingar-bingar dunia motor, menang di sebuah balapan, para pengamat ramai-ramai pula mengatakan bahwa bocah-bocah generasi gadget di era 2000 ini dinaungi keberuntungan, dengan sedikit embel-embel “motor yang bagus”, “bisa sedikit membalap”, dan beberapa kalimat senada.
Ketika Muhammad Mursi memenangkan pemilu Mesir secara telak, Iran, Emirat, Inggris, Amerika, Hamas, dan bahkan Israel (!) mengirimkan ucapan selamat. Israel mengatakan mereka “menghormati hasilnya”—walau apa pentingnya Israel mengatakan hal itu?
William Hague, Menteri Luar Negeri Inggris, malah sangat berlebihan.
“Saya mengucapkan selamat kepada rakyat Mesir untuk komitmen mereka terhadap proses demokrasi,” kata Hague.
Seolah-olah, dengan ucapan selamat itu, Ikhwanul Muslimin hanya pihak lain, Mohammed Mursi hanya politisi yang lain, dan Mesir negara demokrasi lainnya.
Ada beberapa kekuatan di Mesir. Ada Mohammed Hussein Tantawi, ketua Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata dan Mohammed Elbaradei (orang yang, hey!, merasa dikhianati oleh demokrasi Mesir!).
Sangat mudah untuk melihat mengapa para aktivis liberal yang memulai revolusi tahun lalu sekarang melawan Mursi. Semua pers di Mesir dan luar negeri telah berbicara soal pertempuran antara Islam dan tentara, nyatanya militer adalah pihak pertama yang menyatakan terima kasih atas kemenangan Mursi.
Ketika Mursi menang, dugaan semua orang meleset. Ini pintu pertama yang terbuka. Maka chaos sekarang yang terbuka adalah babak berikutnya bahwa test case ketiga—setelah Gaza untuk Mursi—apakah ia berhasil melewatinya atau tidak. Posisi Mursi sesungguhnya berada dalam dilema besar; jika ia tidak mengeluarkan dekrit sekarang, maka Mesir dipastikan hanya menjadi Mesir 32 tahun yang lalu seperti ketika diperintah oleh Hosni Mubarak. Istilahnya “Do it now or die!”.
Namun Mursi—harus diakui atau tidak—agak kecele. Tidak pernah ada tentara yang menjatuhkan Mubarak, dan Ikhwan sepanjang sejarah tidak pernah memaksakan Islam dengan kekerasan dan risiko popularitasnya. Enam puluh tahun kediktatoran militer diprakarsai oleh perwira militer yang, seperti yang sering dilupakan, memiliki simpati Islam sendiri, telah meninggalkan Mesir yang sudah sangat Islam dalam semua namanya.
Apa yang tersisa adalah arena yang lebih kompleks untuk pertempuran, di mana segalanya masih harus dinegosiasikan. Dengan pistol, Alquran, para intelektual dan masyarakat internasional semua ingin mengatakan, Mesir masih akan berisik untuk beberapa waktu lagi. Mursi bukan Valentino Rossi. Ia harus melintas semua lap dengan sempurna. Ia sudah finish, tapi pertempuran belum usai.(islampos)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.