Di tengah-tengah pertempuran, suku Turki Qurluc membelot ke pasukan Abbasiyah dan menyerang pasukan Cina dari belakang. Tekanan internal dan eksternal memaksa kekaisaran Cina keluar dari Asia Tengah secara permanen.
Cina selalu berusaha menanamkan pengaruhnya di wilayah Asia Tengah. Penguasaan atas wilayah Xinjiang pada masa modern ini merupakan upaya kelima kalinya. Upaya pertama dilakukan pada masa Dinasti Han pada tahun 60 M untuk menghalau Bangsa Hun dengan menempatkan wakil kaisar Cina di Xinjiang untuk menjalin jalur perdagangan sutra dengan kerajaan Romawi Timur. Namun, kekuasaan Cina di wilayah itu segera digerogoti oleh berbagai suku Asia Tengah seperti Kushans, Hun, Turki, dan Mongol.
Pada masa Dinasti Tang (618-906) dicobalah upaya ambisius untuk menguasai kembali Transoxiana di Asia Tengah yang kini meliputi Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, dan bagian selatan Kazakhstan. Upaya ekspansi dinasti dengan wilayah terbesar di Cina itu terbentur tembok besar yang membuat pengaruh Cina dan agama Buddha di kawasan itu lenyap selama seribu tahun. Halangan itu adalah kehadiran Dinasti Abbasiyah yang baru saja menggantikan Dinasti Umayyah di Arabia.
Peristiwa yang menyebabkan kekaisaran Cina melupakan Asia Tengah terjadi di Talas, perbatasan antara Kirgistan dan Kazakhstan, pada tahun 751 M. Ahli kebudayaan Cina L Carrington Goodrich menyebut Pertempuran Talas sebagai salah satu pertempuran yang menentukan dalam sejarah Cina. Orientalis Rusia yang juga sejarawan Muslim Asia Tengah, Barthold, mengatakan bahwa peristiwa itu merupakan pertempuran dua peradaban, Cina dan Arab-Muslim, yang ingin menguasai wilayah Turkistan.
Lalu, bagaimana dua peradaban yang ibu kotanya terpisah 5.000 kilometer itu bisa bertemu di Asia Tengah? Jawabannya terletak pada riwayat keterlibatan Arab dan Cina di wilayah itu. Sejak munculnya peradaban Islam dari Semenanjung Arabia pada abad ke-6, kecepatan penaklukan Arab pada masa awal sangat menakjubkan. Hampir dua dekade setelah kematian Nabi Muhammad tahun 632 M, seluruh Timur Tengah hingga utara Afghanistan jatuh ke dalam kekuasaan orang Arab, kecuali Asia Tengah yang dihuni oleh orangorang Persia bersama suku pengembara Turki.
Tentara Arab mulai menguasai Asia Tengah dengan menyeberangi Sungai Oxus (sekarang Amu Darya) menuju Transoxania pada tahun 654. Berkuasanya Qutaiba Ibn Mus lim menjadi gu bernur Dinasti Umayyah di Khurasan pada tahun 705 membuktikan keberhasilan nyata orang Arab mencapai Asia Tengah. Hingga pada dekade berikutnya, Qutaiba menundukkan kota-kota dagang seperti Bukhara dan Samarkand, delta Oxus di Khurasan, dan sebelah selatan Laut Aral. Perlawanan di Tran soxania meletus setelah kematian Qutaiba pada tahun 715.
Pada akhir periode Umayyah tahun 750, sebagian besar Transoxania--salah satu wilayah terkaya karena merupakan jalur perdagangan antara Eropa dan Cina--telah masuk ke dalam dunia Islam. Kedatangan orang-orang Arab di Asia Tengah menempatkan umat Islam berbenturan dengan Cina, yang telah hadir pada awal abad kedua SM dengan kerajaan-kerajaan kecilnya di Asia Tengah, khususnya di Turkistan (Xinjiang) dan wilayah jalan sutra, seperti Karashahr, Kucha, Aksu, Kashgar, Yar-Kand, dan Kfiotan.
Selama periode dinasti Tang pada 618 sampai 907, pengaruh Cina mulai menjangkau lebih jauh ke barat sehingga tradisi Cina mengkristal di daerah seperti Transoxania. Hubungan perdagangan dan diplomatis antara Cina dan Transoxania cukup kuat. Bahkan, setelah penaklukan Qutaiba ibn Muslim, raja-raja dan pangeran kecil dari Asia Tengah terus mengirimkan perwakilan mereka ke Cina dan mereka menerima imbalan dari kaisar Cina yang memerintah pada masa itu, yakni Hsuantsung. Pada awal abad ke-8, orang-orang Arab masuk lebih dalam menuju wilayah Persia dan suku Turki nomaden yang juga berada dalam pengaruh Cina.
Sebelum meletusnya pertempuran di Talas, orang-orang Arab dan Persia pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah telah mengirimkan perwakilannya ke Chang'an (Xian), ibu kota Dinasti Tang. Salah satu sumber sejarah Cina mengungkapkan, Persia mengirimkan 10 perwakilan antara tahun 713 dan tahun 755 (Persia menjadi bagian Dinasti Umayyah pada tahun 750) dan beberapa perwakilan Arab dikirim oleh gubernur Umayyah di Khurasan.
Faktor Tibet Pada pertengahan abad ke8, orang Arab maupun Cina telah melibatkan orang-orang Tibet dalam peperangan. Tibet mulai masuk ke dalam arena politik internasional di bawah raja pertama Tibet, Srong-btsan, atau lebih dikenal dengan Sgam-po yang meninggal pada tahun 649. Sekitar tahun 670, orang-orang Tibet tertegun ketika Cina merebut wilayah-wilayah strategis penting di Cekungan Tarim yang telah mereka miliki selama lebih dari 20 tahun.
Permusuhan berlanjut sampai paruh pertama abad ke-8 ketika Cina memenangkan serangkaian pertempuran dalam upaya untuk meredam pemberontakan Tibet yang membentuk kerajaan-kerajaan kecil di sisi belakang Tibet, yaitu Kashmir, Pamir, dan Pegunungan Hindu Kush.
Namun, krisis berkembang ketika penguasa pro-Tibet berkuasa di kerajaan Gilgit yang terletak di utara Pakistan kini. Cina akhirnya mengirim tentara ke arah barat pada tahun 747 di bawah komando Jendral Korea
Cina selalu berusaha menanamkan pengaruhnya di wilayah Asia Tengah. Penguasaan atas wilayah Xinjiang pada masa modern ini merupakan upaya kelima kalinya. Upaya pertama dilakukan pada masa Dinasti Han pada tahun 60 M untuk menghalau Bangsa Hun dengan menempatkan wakil kaisar Cina di Xinjiang untuk menjalin jalur perdagangan sutra dengan kerajaan Romawi Timur. Namun, kekuasaan Cina di wilayah itu segera digerogoti oleh berbagai suku Asia Tengah seperti Kushans, Hun, Turki, dan Mongol.
Pada masa Dinasti Tang (618-906) dicobalah upaya ambisius untuk menguasai kembali Transoxiana di Asia Tengah yang kini meliputi Uzbekistan, Tajikistan, Kirgistan, dan bagian selatan Kazakhstan. Upaya ekspansi dinasti dengan wilayah terbesar di Cina itu terbentur tembok besar yang membuat pengaruh Cina dan agama Buddha di kawasan itu lenyap selama seribu tahun. Halangan itu adalah kehadiran Dinasti Abbasiyah yang baru saja menggantikan Dinasti Umayyah di Arabia.
Peristiwa yang menyebabkan kekaisaran Cina melupakan Asia Tengah terjadi di Talas, perbatasan antara Kirgistan dan Kazakhstan, pada tahun 751 M. Ahli kebudayaan Cina L Carrington Goodrich menyebut Pertempuran Talas sebagai salah satu pertempuran yang menentukan dalam sejarah Cina. Orientalis Rusia yang juga sejarawan Muslim Asia Tengah, Barthold, mengatakan bahwa peristiwa itu merupakan pertempuran dua peradaban, Cina dan Arab-Muslim, yang ingin menguasai wilayah Turkistan.
Lalu, bagaimana dua peradaban yang ibu kotanya terpisah 5.000 kilometer itu bisa bertemu di Asia Tengah? Jawabannya terletak pada riwayat keterlibatan Arab dan Cina di wilayah itu. Sejak munculnya peradaban Islam dari Semenanjung Arabia pada abad ke-6, kecepatan penaklukan Arab pada masa awal sangat menakjubkan. Hampir dua dekade setelah kematian Nabi Muhammad tahun 632 M, seluruh Timur Tengah hingga utara Afghanistan jatuh ke dalam kekuasaan orang Arab, kecuali Asia Tengah yang dihuni oleh orangorang Persia bersama suku pengembara Turki.
Tentara Arab mulai menguasai Asia Tengah dengan menyeberangi Sungai Oxus (sekarang Amu Darya) menuju Transoxania pada tahun 654. Berkuasanya Qutaiba Ibn Mus lim menjadi gu bernur Dinasti Umayyah di Khurasan pada tahun 705 membuktikan keberhasilan nyata orang Arab mencapai Asia Tengah. Hingga pada dekade berikutnya, Qutaiba menundukkan kota-kota dagang seperti Bukhara dan Samarkand, delta Oxus di Khurasan, dan sebelah selatan Laut Aral. Perlawanan di Tran soxania meletus setelah kematian Qutaiba pada tahun 715.
Pada akhir periode Umayyah tahun 750, sebagian besar Transoxania--salah satu wilayah terkaya karena merupakan jalur perdagangan antara Eropa dan Cina--telah masuk ke dalam dunia Islam. Kedatangan orang-orang Arab di Asia Tengah menempatkan umat Islam berbenturan dengan Cina, yang telah hadir pada awal abad kedua SM dengan kerajaan-kerajaan kecilnya di Asia Tengah, khususnya di Turkistan (Xinjiang) dan wilayah jalan sutra, seperti Karashahr, Kucha, Aksu, Kashgar, Yar-Kand, dan Kfiotan.
Selama periode dinasti Tang pada 618 sampai 907, pengaruh Cina mulai menjangkau lebih jauh ke barat sehingga tradisi Cina mengkristal di daerah seperti Transoxania. Hubungan perdagangan dan diplomatis antara Cina dan Transoxania cukup kuat. Bahkan, setelah penaklukan Qutaiba ibn Muslim, raja-raja dan pangeran kecil dari Asia Tengah terus mengirimkan perwakilan mereka ke Cina dan mereka menerima imbalan dari kaisar Cina yang memerintah pada masa itu, yakni Hsuantsung. Pada awal abad ke-8, orang-orang Arab masuk lebih dalam menuju wilayah Persia dan suku Turki nomaden yang juga berada dalam pengaruh Cina.
Sebelum meletusnya pertempuran di Talas, orang-orang Arab dan Persia pada masa kekuasaan Dinasti Umayyah telah mengirimkan perwakilannya ke Chang'an (Xian), ibu kota Dinasti Tang. Salah satu sumber sejarah Cina mengungkapkan, Persia mengirimkan 10 perwakilan antara tahun 713 dan tahun 755 (Persia menjadi bagian Dinasti Umayyah pada tahun 750) dan beberapa perwakilan Arab dikirim oleh gubernur Umayyah di Khurasan.
Faktor Tibet Pada pertengahan abad ke8, orang Arab maupun Cina telah melibatkan orang-orang Tibet dalam peperangan. Tibet mulai masuk ke dalam arena politik internasional di bawah raja pertama Tibet, Srong-btsan, atau lebih dikenal dengan Sgam-po yang meninggal pada tahun 649. Sekitar tahun 670, orang-orang Tibet tertegun ketika Cina merebut wilayah-wilayah strategis penting di Cekungan Tarim yang telah mereka miliki selama lebih dari 20 tahun.
Permusuhan berlanjut sampai paruh pertama abad ke-8 ketika Cina memenangkan serangkaian pertempuran dalam upaya untuk meredam pemberontakan Tibet yang membentuk kerajaan-kerajaan kecil di sisi belakang Tibet, yaitu Kashmir, Pamir, dan Pegunungan Hindu Kush.
Namun, krisis berkembang ketika penguasa pro-Tibet berkuasa di kerajaan Gilgit yang terletak di utara Pakistan kini. Cina akhirnya mengirim tentara ke arah barat pada tahun 747 di bawah komando Jendral Korea
yang terkenal, Kao Hsien-chih. Tentara Cina dan Korea menyeberangi Pegunungan Pamir menuju Gilgit. Kao memenggal pejabat Gilgit yang pro-Tibet. Dengan demikian, permusuhan antara Gilgit dengan Cina dimulai. Tak hanya melibatkan orang-orang Tibet, pertempuran Talas juga diwarnai dengan pertempuran antara dua kerajaan kecil Ferghana dan Charch. Pada tahun 750, pertempuran antara Ferghana dan Chach menyebabkan Ferghana mencari bantuan militer Cina. Kao Hsien-chih yang menjadi gubernur Kucha membantu Ferghana dengan menyerang Chach dan memenggal sang raja.
Putra penguasa Chach melarikan diri dan meminta bantuan kepada Abu Muslim, gubernur Abbasiyah di Khurasan.
Dinasti Abbasiyah yang ketika itu masih berkedudukan di Harran, Turki, sedang mengonsolidasikan wilayah kekuasaan yang direbutnya dari Umayyah, salah satu yang menjadi perhatian adalah Lembah Ferghana yang membentang dari Uzbekistan, Kirgistan, dan Tajikistan.
Mendapat kesempatan emas untuk mengurangi peran politik Cina di Asia Tengah, Abu Muslim mengerahkan pasukannya di Merv (Turkmenistan) dan Tukharistan (utara Afghanistan) menuju ke Samarkand. Di Uzbekistan, mereka bergabung dengan tentara Transoxania di bawah pimpinan Ziyad ibn Shalih, mantan gubernur Umayyah dari Kufah.
Pembelotan Turki Qurluc Tentara Cina yang telah dimobilisasi bersama dengan pasukan Ferghana berjumlah 30 ribu orang berdasarkan sumber Cina dan 100 ribu orang menurut sumber Arab.
Mereka terdiri 10 ribu pasukan pimpinan Kao Hsien-chih ditambah sekitar 20 ribu orang Turki Qurluc dan beberapa ribu pasukan Ferghana. Sementara, pasukan Abbasiyah bersama sekutu mereka orang Uyghur (Turki) dan Tibet yang menurut sumber Cina berjumlah 100 ribu. Dari catatan Arab, informasi mengenai Pertempuran Talas didapatkan dari sejarawan Ibn al-Atsir (1160-1233) dan al-Dhahabi (1274-1348).
Pada bulan Juli 751, bertemulah kedua pasukan dekat kota Talas atau Taraz di Sungai Talas, Kirgiztan. Sumber Cina menulis, pertempuran berlangsung selama lima hari, sementara pada catatan Arab tidak ditemukan berapa lama perang terjadi. Di tengah-tengah pertempuran, sekitar 20 ribu orang Qurluc membelot ke pasukan Abbasiyah dan menyerang pasukan Kao.
Menurut al-Dhahabi, strategi Ziyad memanfaatkan orang-orang Turki Qurluq untuk memberontak terhadap Jendral Kao bernar benar menghancurkan pasukan Cina. Sementara, pasukan Ferghana memilih pergi dari pertempuran. Dalam kata-kata al-Dhahabi, “Tuhan menurunkan rasa takut ke dalam hati orang Cina.'“ Para ahli sejarah dan militer terus memperdebatkan konsekuensi politik jangka panjang dari Pertempuran Talas.
Menurut mereka, Cina telah memainkan peran penting di Asia Tengah mulai Cekungan Tarim ketika ajaran Buddha, Zoroaster, Manichaean, dan Kristen Nestorian memiliki pengaruh yang kuat walau hampir seluruhnya berada di bawah kekuasaan Islam.
Namun, Pertempuran Talas bukan satu-satu-nya penyebab penarikan tentara Cina dari Asia Tengah.
Dinasti Tang juga mengalami kesulitan di perbatasan dengan orangorang Tibet, Turki Uygur di Mongolia, dan Khitan di Manchuria.
Khitan mengalahkan tentara Cina dekat Ping-lu tahun 751 dan tahun 754 pasukan Cina menderita kekalahan dari kerajaan muda Thailand di Nan-chao (Yunnan). Ditambah lagi, Cina dilanda perpecahan internal. Oposisi yang berseberangan dengan Kaisar Hsuan-tsung memberontak pada 755. Tekanan eksternal dan internal mendorong Cina secara permanen keluar dari Asia Tengah. Baru pada tahun 1755-1759, kekaisaran Cina di bawah Dinasti Qing (Manchu), yaitu Kaisar Qian Long kembali menggerakkan pasukan dan menempatkan gubernur jenderal di Kuldja (Yining) dan wakil gubernur di Tihuai (Urumqi) dan Kashgar (Yarkand), dilanjutkan pada masa Cina modern saat ini.
Asia Tengah Gerbang Menuju Cina
Ekspansi tentara Arab menuju Cina tidak terlepas dari peran Gubernur Umayyah untuk Khurasan Qutaibah Ibn Muslim yang melakukan ekspansi menuju Asia Tengah. Seperti yang ditulis Philip K Hitti dalam bukunya History of the Arabs, dari pusat pemeritahannya di Khurasan, Qutaibah mengendalikan 40 ribu pasukan Arab di Basrah, 7.000 pasukan di Kufah, dan 7.000 tentara bayaran. Dengan jumlah pasukan yang cukup besar itu, Qutaibah berhasil melakukan beberapa ekspedisi militer di Transoxania, Asia Tengah. Pada 705, Qutaibah menguasai Takaristan, tahun 706-709 menaklukkan Bukhara, tahun 710 hingga 712 menguasai Samarkand dan Khawarizm, tahun 713 hingga 715 memimpin ekspedisi militer menuju provinsi-provinsi Jaxartes (Sir Darya), terutama Ferghana. Penaklukan yang dilakukan Qutaibah menandai masuknya kekuatan Islam di Asia Tengah yang saat itu dikuasai oleh Cina dan suku-suku nomaden Mongolia.
Jaxartes merupakan batas politik dan ras antara bangsa Persia dan Turki. Melintasnya pasukan Islam di Jaxartes memunculkan tantangan baru bagi orang-orang Mongolia dan para pengikut agama Buddha. Tak hanya di Jaxartes, di Bukhara dan Samarkand juga terdapat banyak kuil peribadatan agama Buddha. Dengan datangnya tentara Islam, umat Buddha kala itu berpindah memeluk Islam meskipun di antara mereka ada yang menjadi Muslim untuk menghindari pajak. Namun kemudian, Bukhara, Samarkand, dan Khawarizm menjadi pusat tumbuhnya Islam di Asia Tengah.
Sejarawan al-Tabari mengatakan, penaklukan Qutaibah berlanjut hingga mencapai pinggiran wilayah kekaisaran Cina. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah penaklukan dilakukan oleh para penerus Qutaibah, Nashr bin Sayyar. Nashr ditunjuk oleh Khalifah Hasyim (724-743) dari Dinasti Umayyah sebagai gubernur pertama Transoxania. Dengan dikuasainya Transoxania, membuat interaksi antara Islam dan Cina semakin terbuka lebar. Hinnga akhirnya, pada 738 hingga 740, tentara Arab berhasil menaklukkan sebagian wilayah besar Philips Atlas of World History yang pernah diserbu oleh Qutaibah. Hingga kemudian, tentara Arab berhasil menduduki Turkistan yang memantapkan supremasi Islam di Asia Tengah hingga kekuasaan Islam tidak bisa diganggu lagi oleh orang-orang Cina selama 1.000 tahun lagi.
Putra penguasa Chach melarikan diri dan meminta bantuan kepada Abu Muslim, gubernur Abbasiyah di Khurasan.
Dinasti Abbasiyah yang ketika itu masih berkedudukan di Harran, Turki, sedang mengonsolidasikan wilayah kekuasaan yang direbutnya dari Umayyah, salah satu yang menjadi perhatian adalah Lembah Ferghana yang membentang dari Uzbekistan, Kirgistan, dan Tajikistan.
Mendapat kesempatan emas untuk mengurangi peran politik Cina di Asia Tengah, Abu Muslim mengerahkan pasukannya di Merv (Turkmenistan) dan Tukharistan (utara Afghanistan) menuju ke Samarkand. Di Uzbekistan, mereka bergabung dengan tentara Transoxania di bawah pimpinan Ziyad ibn Shalih, mantan gubernur Umayyah dari Kufah.
Pembelotan Turki Qurluc Tentara Cina yang telah dimobilisasi bersama dengan pasukan Ferghana berjumlah 30 ribu orang berdasarkan sumber Cina dan 100 ribu orang menurut sumber Arab.
Mereka terdiri 10 ribu pasukan pimpinan Kao Hsien-chih ditambah sekitar 20 ribu orang Turki Qurluc dan beberapa ribu pasukan Ferghana. Sementara, pasukan Abbasiyah bersama sekutu mereka orang Uyghur (Turki) dan Tibet yang menurut sumber Cina berjumlah 100 ribu. Dari catatan Arab, informasi mengenai Pertempuran Talas didapatkan dari sejarawan Ibn al-Atsir (1160-1233) dan al-Dhahabi (1274-1348).
Pada bulan Juli 751, bertemulah kedua pasukan dekat kota Talas atau Taraz di Sungai Talas, Kirgiztan. Sumber Cina menulis, pertempuran berlangsung selama lima hari, sementara pada catatan Arab tidak ditemukan berapa lama perang terjadi. Di tengah-tengah pertempuran, sekitar 20 ribu orang Qurluc membelot ke pasukan Abbasiyah dan menyerang pasukan Kao.
Menurut al-Dhahabi, strategi Ziyad memanfaatkan orang-orang Turki Qurluq untuk memberontak terhadap Jendral Kao bernar benar menghancurkan pasukan Cina. Sementara, pasukan Ferghana memilih pergi dari pertempuran. Dalam kata-kata al-Dhahabi, “Tuhan menurunkan rasa takut ke dalam hati orang Cina.'“ Para ahli sejarah dan militer terus memperdebatkan konsekuensi politik jangka panjang dari Pertempuran Talas.
Menurut mereka, Cina telah memainkan peran penting di Asia Tengah mulai Cekungan Tarim ketika ajaran Buddha, Zoroaster, Manichaean, dan Kristen Nestorian memiliki pengaruh yang kuat walau hampir seluruhnya berada di bawah kekuasaan Islam.
Namun, Pertempuran Talas bukan satu-satu-nya penyebab penarikan tentara Cina dari Asia Tengah.
Dinasti Tang juga mengalami kesulitan di perbatasan dengan orangorang Tibet, Turki Uygur di Mongolia, dan Khitan di Manchuria.
Khitan mengalahkan tentara Cina dekat Ping-lu tahun 751 dan tahun 754 pasukan Cina menderita kekalahan dari kerajaan muda Thailand di Nan-chao (Yunnan). Ditambah lagi, Cina dilanda perpecahan internal. Oposisi yang berseberangan dengan Kaisar Hsuan-tsung memberontak pada 755. Tekanan eksternal dan internal mendorong Cina secara permanen keluar dari Asia Tengah. Baru pada tahun 1755-1759, kekaisaran Cina di bawah Dinasti Qing (Manchu), yaitu Kaisar Qian Long kembali menggerakkan pasukan dan menempatkan gubernur jenderal di Kuldja (Yining) dan wakil gubernur di Tihuai (Urumqi) dan Kashgar (Yarkand), dilanjutkan pada masa Cina modern saat ini.
Asia Tengah Gerbang Menuju Cina
Ekspansi tentara Arab menuju Cina tidak terlepas dari peran Gubernur Umayyah untuk Khurasan Qutaibah Ibn Muslim yang melakukan ekspansi menuju Asia Tengah. Seperti yang ditulis Philip K Hitti dalam bukunya History of the Arabs, dari pusat pemeritahannya di Khurasan, Qutaibah mengendalikan 40 ribu pasukan Arab di Basrah, 7.000 pasukan di Kufah, dan 7.000 tentara bayaran. Dengan jumlah pasukan yang cukup besar itu, Qutaibah berhasil melakukan beberapa ekspedisi militer di Transoxania, Asia Tengah. Pada 705, Qutaibah menguasai Takaristan, tahun 706-709 menaklukkan Bukhara, tahun 710 hingga 712 menguasai Samarkand dan Khawarizm, tahun 713 hingga 715 memimpin ekspedisi militer menuju provinsi-provinsi Jaxartes (Sir Darya), terutama Ferghana. Penaklukan yang dilakukan Qutaibah menandai masuknya kekuatan Islam di Asia Tengah yang saat itu dikuasai oleh Cina dan suku-suku nomaden Mongolia.
Jaxartes merupakan batas politik dan ras antara bangsa Persia dan Turki. Melintasnya pasukan Islam di Jaxartes memunculkan tantangan baru bagi orang-orang Mongolia dan para pengikut agama Buddha. Tak hanya di Jaxartes, di Bukhara dan Samarkand juga terdapat banyak kuil peribadatan agama Buddha. Dengan datangnya tentara Islam, umat Buddha kala itu berpindah memeluk Islam meskipun di antara mereka ada yang menjadi Muslim untuk menghindari pajak. Namun kemudian, Bukhara, Samarkand, dan Khawarizm menjadi pusat tumbuhnya Islam di Asia Tengah.
Sejarawan al-Tabari mengatakan, penaklukan Qutaibah berlanjut hingga mencapai pinggiran wilayah kekaisaran Cina. Namun, yang sebenarnya terjadi adalah penaklukan dilakukan oleh para penerus Qutaibah, Nashr bin Sayyar. Nashr ditunjuk oleh Khalifah Hasyim (724-743) dari Dinasti Umayyah sebagai gubernur pertama Transoxania. Dengan dikuasainya Transoxania, membuat interaksi antara Islam dan Cina semakin terbuka lebar. Hinnga akhirnya, pada 738 hingga 740, tentara Arab berhasil menaklukkan sebagian wilayah besar Philips Atlas of World History yang pernah diserbu oleh Qutaibah. Hingga kemudian, tentara Arab berhasil menduduki Turkistan yang memantapkan supremasi Islam di Asia Tengah hingga kekuasaan Islam tidak bisa diganggu lagi oleh orang-orang Cina selama 1.000 tahun lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.