Tiap kali kekerasan terjadi, ramai-ramai kita mengutuknya. Kita sebagai kesatuan kolektif merasa tidak tersangkut dengan itu semua dan lantas merasa bersih. Maka, begitu pelaku kekerasan terungkap dan tertangkap, kelegaan itu bertambah besar, terlebih saat pelaku sama sekali tak ada sangkutannya dengan kita. Seakan-akan kita semua oke, kasip dari kemungkinan sebagai bagian dari prilaku kekerasan.
Itulah versi lain dari "mekanisme kambing hitam".
Kita terbiasa menyebut istilah "kambing hitam" kepada objek yang dianggap sebagai asal muasal masalah, entah itu kekerasan, entah itu huru-hara, entah apa pun itu. Seringkali "kambing hitam" kita rujuk sebagai objek yang sebenarnya bukan pelaku sesungguhnya, hanya pengalihan, sekadar orang yang dipersalahkan.
Tapi "mekanisme kambing hitam" tak sesederhana itu. Untuk mengetahui genesis mekanisme kambing hitam, Anda bisa membacanya dengan lebih lengkap di wikipedia pada halaman ini. Saya akan meringkasnya berdasarkan apa yang ditulis oleh Andreas Anangguru Yewangoe dalam buku Agama dan Kerukunan (hal. 29-30):
"Dalam tradisi Israel (Perjanjian Lama), pada hari raya Grafirat, dua ekor domba disiapkan. Yang seekor disembelih dan dipersembahkan sebagai kurban pengampunan dosa, dan yang lainnya dibiarkan hidup. Keatasnya diletakkan dosa-dosa umat Israel, lalu bintang itu diusir ke padang gurun. Dengan demikian dosa-dosa bangsa Israel ikut dibawa ke sana, dan umat dipulihkan kembali. Segala kegiatan sehari-hari berjalan lagi seperti biasa, karena krisis sudah lewat."
Istilah "kambing hitam" alias "scape-goat" bermula dari situ. Dari apa yang mulanya lahir dalam ritus, "mekanisme kambing hitam" secara jenial ditafsir-kembangkan oleh Rene Girard sebagai salah satu cara untuk memahami reproduksi kekerasan yang berlangsung terus-menerus, dari hari ke hari, dari abad ke abad, dan bagaimana kekerasan itu bersamayam sebagai sebuah potensi yang hanya menunggu waktu saja untuk mencuat dan meledak.
Kekerasan, seperti pernah ditunjukkan oleh Erich Fromm dengan dualisme etos dalam diri manusia yaitu "eros" dan "pathos", adalah sesuatu yang imanen dalam sejarah manusia. Ketika itu, kekerasan terjadi antar satu orang dengan yang lain. "Homo homini lupus", manusia menjadi serigala bagi yang lain, kata Thomas Hobbes. Dalam situasi tertentu, kekerasan tidak lagi berlangsung antara orang per orang, tapi kelompok dengan kelompok, semua melawan semua -- "bellum omnium contra omnes", pinjam istilah Hobbes yang lain.
Agama-agama kuno mencoba mengatasi kesulitan ini dengan upacara korban, yakni dengan melemparkan penyebab penderitaan itu pada suatu sosok, yang disebut "kambing hitam".
Sosok yang menjadi "kambing hitam" ini bukan cuma diperlakukan sebagai muasal penyebab penderitaan kekerasan, tapi juga pada semua jenis penderitaan, kesusahan, cobaan, tulah, melapateka dan bala yang menimpa sebuah kota.
Naskah Oedipus Rex yang ditulis Sophocles dimulai oleh pertanyaan: siapa penyebab dewa-dewa menurunkan wabah penyakit? Dalam versi mitologi, kesalahan ditimpakan pada Oedipus yang dituduh membunuh Laius dan memperkosa ibunya, Yocasta.
Rene Girrard pernah menuliskan secara khusus sosok Ayub sebagai ilustrasi sosok kambing hitam --selain sosok Oedipus-- dalam bukunya, Job, the Victim of His People. Saya kutipkan apa yang ditulis Girard di buku itu berdasar versi terjemahan penerbit BPK Gunung Mulia:
"Proses pemilihan seorang korban pengganti menyisihkan antagonisme setiap orang dalam satu gerakan dengan memusatkan perhatian pada musuh bersama, dan kemudian menyingkirkan sang korban. Hal itu menghidupkan kembali perdamaian, seolah-olah hal itu amat menakjubkan dan efek yang ditimbulkannya diperbesar oleh kenyataan bahwa kesatuan yang diperoleh kembali dengan tiba-tiba tampak sebagai hasil dari intervensi kuasa supranatural....
Korban diubah menjadi obat yang amat mengagumkan, berbahaya, namun dalam dosis yang pas, ia mampu menyembuhkan semua penyakit. Bila Ayub bersedia memainkan peranannya dengan patuh niscaya ia akan segera diubah menjadi seseorang yang besar, bahkan mungkin sebagai yang sedikit bersifat illahi."
Dengan itulah, kata Girard, situasi yang tadinya satu lawan satu (homo homini lupus) atau semua lawan semua (bellum omnium contra omnes) berganti menjadi "satu lawan semua".
Tapi dengan itulah masyarakat, kita semua, merasa tersembuhkan karena kekerasan, kehancuran dan penderitaan itu sudah dibebankan penyebabnya pada orang lain, Si Kambing Hitam, bukan pada potensi kekerasan yang sebenarnya ada pada setiap orang.
Dalam kata-kata Sindhunata, yang terpacak di salah satu halaman bukunya yang berjudul Kambing Hitam: Teori Rene Girard (hal. 205):
"...rivalitas diredakan, konflik dan kekerasan dihilangkan, dan masyarakat kembali ke dalam ketenangannya. Kambing hitam yang tadinya dianggap jahat dan penyebab kekerasan, kini disakralkan dan dianggap sebagai pembawa perdamaian. Ia tampak sekaligus sebagai yang terkutuk dan pembawa keselamatan. Dengan demikian, agresi internal dikosongkan seraya dipindahkan ke luar, dan masyarakat dipulihkan dari kehancuran diri."
Kematian, pengusiran atau pengasingan sosok atau objek yang jadi kambing hitam kerap mendatangkan efek menenangkan yang misterius. Ketika tubuh korban tercabik-cabik atau ketika punggung korban yang terusir makin menjauh di ujung cakrawala pandangan umat yang mengusirnya, ada ketenangan yang menjalar, ada rasa aman yang mewedar. Proses spontan yang berlangsung selama berabad-abad itu mengajar manusia purba bahwa cara paling efektif untuk mencegah kekerasan yang tak terkendali adalah dengan menyalurkan ketegangan kolektif pada individu atau sekelompok orang tertentu.
(Carl Schimtt, penulis buku Politische Theologie, yang juga menguraikan bagaimana agama dan ritus-ritusnya menjadi "selimut kekerasan", menyebutkan bahwa kata "decision" berasal dari kata "decidere" yang berarti: memenggal leher korban. "Memutuskan" berarti memenggal leher korban. Baca Filsafat Fragmentaris karya F. Budi Hardiman, halaman 169)
Tapi karena kekerasan sudah telanjur imanen dalam sejarah peradaban, kekerasan akhirnya tidak lantas punah saat satu korban sudah dihabisi (macam Yesus oleh orang Yahudi atau orang Yahudi oleh Nazi), diasingkan (macam Ayub) atau diusir (macam orang tua dan anak kembar buncing atau kembar laki-perempuan dalam tradisi lama Bali). Ia terus berulang dan tereproduksi melalui -- dalam kata-kata Girard-- "proses mimetik".
Girard tentu saja tidak selalu benar. Seperti yang pernah dikritik oleh Leo D Lefebure dalam halaman 32-36 bukunya Christian Living: Revelation, the Religions, and Violence, Girard kadang terlalu menyederhanakan proses kompleks dalam sejarah peradaban. Ia juga mengabaikan begitu saja korban-korban kambing hitam yang tidak berdarah, seperti korban sayur-sayuran, tanaman, atau hasil bumi yang hanya dibiarkan teronggok dan membusuk.
Tapi Girard menurut saya menawarkan salah satu cara baca yang nyaris jadi prosedur dalam cara kita menyikapi kekerasan.
Mengasingkan dan mengutuk para pelaku kekerasan, dengan demikian, menjadi "mekanisme kambing hitam" yang lain: itulah saat di mana kita semua memindahkan potensi kekerasan yang imanen dalam diri kita sendiri sepenuhnya ke jidat orang lain, bahkan walau pun orang lain itu nyata-nyata adalah seorang teroris. Alih-alih mengakui bahwa pada setiap masing-masing diri kita mengidap potensi kekerasan, betapa pun ringannya, kita justru mengelak, menangkis dan tidak mengakui potensi itu.
Pelaku kekerasan, termasuk para teroris itu, jauh lebih baik untuk diakui sebagai bagian inheren dari kebudayaan, peradaban dan diri kita sendiri. Dengan meminjam pikiran Emmanuel Levinas, menerima dan mengakui itu semua membuat kita menjadi terbuka dan menyambut "yang lain", "sang liyan", "the others".
Dengan itulah, kekerasan justru bisa diperiksa dengan lebih cermat dan adil, sebab memeriksa sesuatu yang tidak kita akui, mencermati apa yang kita tolak dan berjarak dari diri kita sendiri, lebih mungkin menjadi suatu kerja yang meleset ketimbang akurat, lebih mungkin menjadi satu kerja yang gagal daripada berhasil.
Itulah sebabnya Karlina Leksono, dalam pidato kebudayaannya beberapa tahun silam, pernah menyebut bahwa gerakan tanpa-kekerasan (non-violance) dalam dirinya sendiri memendam contradictio in-terminis.
Tanpa-kekerasan (non-violence) murni hanya tercapai melalui ketidakberhubungan terhadap yang lain, dan ketidakberhubungan itu sendiri adalah kekerasan sekalipun dalam bentuknya yang paling ringan. Kebisuan seseorang, semata-mata gerak isyarat kolektif, atau harapan utopis akan kondisi tanpa kekerasan merupakan kekerasan pula.
Ini seperti gema kata-kata Derrida yang disuar-pendarkan dalam esainya yang provokatif berjudul Violance and Metaphysics (diterbitkan dalam antologi esai berjudul Writing and Differance). Karena seseorang tidak mungkin menghindarkan diri dari berbicara, dan tak ada penolakan atau pencelaan terhadap kekerasan yang tanpa tindakan atau gerak isyarat tertentu, ujar Derrida, ...maka penolakan terhadap kekerasan hanyalah dengan kekerasan lagi, betapa pun ringannya.
Tampaknya, memang "selalu ada kambing (hitam) di antara kita". Atau, jangan-jangan, lebih tepat kalimatnya di balik jadi: "Selalu ada kita di antara kambing (hitam)"?
Itulah versi lain dari "mekanisme kambing hitam".
Kita terbiasa menyebut istilah "kambing hitam" kepada objek yang dianggap sebagai asal muasal masalah, entah itu kekerasan, entah itu huru-hara, entah apa pun itu. Seringkali "kambing hitam" kita rujuk sebagai objek yang sebenarnya bukan pelaku sesungguhnya, hanya pengalihan, sekadar orang yang dipersalahkan.
Tapi "mekanisme kambing hitam" tak sesederhana itu. Untuk mengetahui genesis mekanisme kambing hitam, Anda bisa membacanya dengan lebih lengkap di wikipedia pada halaman ini. Saya akan meringkasnya berdasarkan apa yang ditulis oleh Andreas Anangguru Yewangoe dalam buku Agama dan Kerukunan (hal. 29-30):
"Dalam tradisi Israel (Perjanjian Lama), pada hari raya Grafirat, dua ekor domba disiapkan. Yang seekor disembelih dan dipersembahkan sebagai kurban pengampunan dosa, dan yang lainnya dibiarkan hidup. Keatasnya diletakkan dosa-dosa umat Israel, lalu bintang itu diusir ke padang gurun. Dengan demikian dosa-dosa bangsa Israel ikut dibawa ke sana, dan umat dipulihkan kembali. Segala kegiatan sehari-hari berjalan lagi seperti biasa, karena krisis sudah lewat."
Istilah "kambing hitam" alias "scape-goat" bermula dari situ. Dari apa yang mulanya lahir dalam ritus, "mekanisme kambing hitam" secara jenial ditafsir-kembangkan oleh Rene Girard sebagai salah satu cara untuk memahami reproduksi kekerasan yang berlangsung terus-menerus, dari hari ke hari, dari abad ke abad, dan bagaimana kekerasan itu bersamayam sebagai sebuah potensi yang hanya menunggu waktu saja untuk mencuat dan meledak.
Kekerasan, seperti pernah ditunjukkan oleh Erich Fromm dengan dualisme etos dalam diri manusia yaitu "eros" dan "pathos", adalah sesuatu yang imanen dalam sejarah manusia. Ketika itu, kekerasan terjadi antar satu orang dengan yang lain. "Homo homini lupus", manusia menjadi serigala bagi yang lain, kata Thomas Hobbes. Dalam situasi tertentu, kekerasan tidak lagi berlangsung antara orang per orang, tapi kelompok dengan kelompok, semua melawan semua -- "bellum omnium contra omnes", pinjam istilah Hobbes yang lain.
Agama-agama kuno mencoba mengatasi kesulitan ini dengan upacara korban, yakni dengan melemparkan penyebab penderitaan itu pada suatu sosok, yang disebut "kambing hitam".
Sosok yang menjadi "kambing hitam" ini bukan cuma diperlakukan sebagai muasal penyebab penderitaan kekerasan, tapi juga pada semua jenis penderitaan, kesusahan, cobaan, tulah, melapateka dan bala yang menimpa sebuah kota.
Naskah Oedipus Rex yang ditulis Sophocles dimulai oleh pertanyaan: siapa penyebab dewa-dewa menurunkan wabah penyakit? Dalam versi mitologi, kesalahan ditimpakan pada Oedipus yang dituduh membunuh Laius dan memperkosa ibunya, Yocasta.
Rene Girrard pernah menuliskan secara khusus sosok Ayub sebagai ilustrasi sosok kambing hitam --selain sosok Oedipus-- dalam bukunya, Job, the Victim of His People. Saya kutipkan apa yang ditulis Girard di buku itu berdasar versi terjemahan penerbit BPK Gunung Mulia:
"Proses pemilihan seorang korban pengganti menyisihkan antagonisme setiap orang dalam satu gerakan dengan memusatkan perhatian pada musuh bersama, dan kemudian menyingkirkan sang korban. Hal itu menghidupkan kembali perdamaian, seolah-olah hal itu amat menakjubkan dan efek yang ditimbulkannya diperbesar oleh kenyataan bahwa kesatuan yang diperoleh kembali dengan tiba-tiba tampak sebagai hasil dari intervensi kuasa supranatural....
Korban diubah menjadi obat yang amat mengagumkan, berbahaya, namun dalam dosis yang pas, ia mampu menyembuhkan semua penyakit. Bila Ayub bersedia memainkan peranannya dengan patuh niscaya ia akan segera diubah menjadi seseorang yang besar, bahkan mungkin sebagai yang sedikit bersifat illahi."
Dengan itulah, kata Girard, situasi yang tadinya satu lawan satu (homo homini lupus) atau semua lawan semua (bellum omnium contra omnes) berganti menjadi "satu lawan semua".
Tapi dengan itulah masyarakat, kita semua, merasa tersembuhkan karena kekerasan, kehancuran dan penderitaan itu sudah dibebankan penyebabnya pada orang lain, Si Kambing Hitam, bukan pada potensi kekerasan yang sebenarnya ada pada setiap orang.
Dalam kata-kata Sindhunata, yang terpacak di salah satu halaman bukunya yang berjudul Kambing Hitam: Teori Rene Girard (hal. 205):
"...rivalitas diredakan, konflik dan kekerasan dihilangkan, dan masyarakat kembali ke dalam ketenangannya. Kambing hitam yang tadinya dianggap jahat dan penyebab kekerasan, kini disakralkan dan dianggap sebagai pembawa perdamaian. Ia tampak sekaligus sebagai yang terkutuk dan pembawa keselamatan. Dengan demikian, agresi internal dikosongkan seraya dipindahkan ke luar, dan masyarakat dipulihkan dari kehancuran diri."
Kematian, pengusiran atau pengasingan sosok atau objek yang jadi kambing hitam kerap mendatangkan efek menenangkan yang misterius. Ketika tubuh korban tercabik-cabik atau ketika punggung korban yang terusir makin menjauh di ujung cakrawala pandangan umat yang mengusirnya, ada ketenangan yang menjalar, ada rasa aman yang mewedar. Proses spontan yang berlangsung selama berabad-abad itu mengajar manusia purba bahwa cara paling efektif untuk mencegah kekerasan yang tak terkendali adalah dengan menyalurkan ketegangan kolektif pada individu atau sekelompok orang tertentu.
(Carl Schimtt, penulis buku Politische Theologie, yang juga menguraikan bagaimana agama dan ritus-ritusnya menjadi "selimut kekerasan", menyebutkan bahwa kata "decision" berasal dari kata "decidere" yang berarti: memenggal leher korban. "Memutuskan" berarti memenggal leher korban. Baca Filsafat Fragmentaris karya F. Budi Hardiman, halaman 169)
Tapi karena kekerasan sudah telanjur imanen dalam sejarah peradaban, kekerasan akhirnya tidak lantas punah saat satu korban sudah dihabisi (macam Yesus oleh orang Yahudi atau orang Yahudi oleh Nazi), diasingkan (macam Ayub) atau diusir (macam orang tua dan anak kembar buncing atau kembar laki-perempuan dalam tradisi lama Bali). Ia terus berulang dan tereproduksi melalui -- dalam kata-kata Girard-- "proses mimetik".
Girard tentu saja tidak selalu benar. Seperti yang pernah dikritik oleh Leo D Lefebure dalam halaman 32-36 bukunya Christian Living: Revelation, the Religions, and Violence, Girard kadang terlalu menyederhanakan proses kompleks dalam sejarah peradaban. Ia juga mengabaikan begitu saja korban-korban kambing hitam yang tidak berdarah, seperti korban sayur-sayuran, tanaman, atau hasil bumi yang hanya dibiarkan teronggok dan membusuk.
Tapi Girard menurut saya menawarkan salah satu cara baca yang nyaris jadi prosedur dalam cara kita menyikapi kekerasan.
Mengasingkan dan mengutuk para pelaku kekerasan, dengan demikian, menjadi "mekanisme kambing hitam" yang lain: itulah saat di mana kita semua memindahkan potensi kekerasan yang imanen dalam diri kita sendiri sepenuhnya ke jidat orang lain, bahkan walau pun orang lain itu nyata-nyata adalah seorang teroris. Alih-alih mengakui bahwa pada setiap masing-masing diri kita mengidap potensi kekerasan, betapa pun ringannya, kita justru mengelak, menangkis dan tidak mengakui potensi itu.
Pelaku kekerasan, termasuk para teroris itu, jauh lebih baik untuk diakui sebagai bagian inheren dari kebudayaan, peradaban dan diri kita sendiri. Dengan meminjam pikiran Emmanuel Levinas, menerima dan mengakui itu semua membuat kita menjadi terbuka dan menyambut "yang lain", "sang liyan", "the others".
Dengan itulah, kekerasan justru bisa diperiksa dengan lebih cermat dan adil, sebab memeriksa sesuatu yang tidak kita akui, mencermati apa yang kita tolak dan berjarak dari diri kita sendiri, lebih mungkin menjadi suatu kerja yang meleset ketimbang akurat, lebih mungkin menjadi satu kerja yang gagal daripada berhasil.
Itulah sebabnya Karlina Leksono, dalam pidato kebudayaannya beberapa tahun silam, pernah menyebut bahwa gerakan tanpa-kekerasan (non-violance) dalam dirinya sendiri memendam contradictio in-terminis.
Tanpa-kekerasan (non-violence) murni hanya tercapai melalui ketidakberhubungan terhadap yang lain, dan ketidakberhubungan itu sendiri adalah kekerasan sekalipun dalam bentuknya yang paling ringan. Kebisuan seseorang, semata-mata gerak isyarat kolektif, atau harapan utopis akan kondisi tanpa kekerasan merupakan kekerasan pula.
Ini seperti gema kata-kata Derrida yang disuar-pendarkan dalam esainya yang provokatif berjudul Violance and Metaphysics (diterbitkan dalam antologi esai berjudul Writing and Differance). Karena seseorang tidak mungkin menghindarkan diri dari berbicara, dan tak ada penolakan atau pencelaan terhadap kekerasan yang tanpa tindakan atau gerak isyarat tertentu, ujar Derrida, ...maka penolakan terhadap kekerasan hanyalah dengan kekerasan lagi, betapa pun ringannya.
Tampaknya, memang "selalu ada kambing (hitam) di antara kita". Atau, jangan-jangan, lebih tepat kalimatnya di balik jadi: "Selalu ada kita di antara kambing (hitam)"?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.