Richard Falk, investigator khusus HAM PBB di wilayah Palestina Pendudukan menyatakan program nuklir militer Israel mengancam keamanan seluruh kawasan Timur Tengah. Investigator HAM PBB itu menyebut Israel sebagai satu-satunya rezim yang memiliki senjata nuklir di Timur Tengah. Menurut Falk, eksistensi Israel sendiri sebagai ancaman, apalagi dengan program nuklir militernya. Bagi Falk, program nuklir militer Israel sangat berbahaya, karena Tel Aviv kapanpun bisa menggunakan senjata nuklirnya untuk menyerang pihak lain.
Sejak awal pendiriannya, proyek nuklir Israel bertujuan militer. Pada tahun 1952, rezim Zionis mendirikan Komisi Energi Nuklir. Lima tahun kemudian komisi tersebut mencapai kesepakatan dengan Prancis mengenai pembangunan reaktor riset Dimona, Negev. Reaktor riset berkekuatan 24 megawat air berat itu dioperasikan pada tahun 1964. Di reaktor ini pula Prancis melakukan pengolahan bahan bakar nuklir, sekaligus menyiapkan plutonium untuk memenuhi kepentingan militer Israel.
Sejak itu Israel semakin agresif meningkatkan kemampuan nuklir militernya. Pada tahun 1964, CIA melaporkan bahwa Israel berhasil memproduksi bom atom plutonium.
Hingga dekade 1990-an, rezim Zionis meningkatkan jumlah hulu ledak nuklirnya dari 75 hingga 130 buah. Pada tahun 2006, dengan dukungan AS dan negara Barat lainnya, Israel terang-terangan mengumumkan program nuklir militernya. Bulletin of The Atomic Scientist mengumumkan bahwa jumlah hulu ledak nuklir Israel menempati urutan kelima di dunia.
Rezim Zionis meningkatkan kekuatan nuklir militernya dengan bantuan negara-negara Barat terutama AS. Meskipun negeri Paman Sam itu didera krisis ekonomi, Washington justru berniat meningkatkan bantuan militernya bagi Tel Aviv. Baru-baru ini, Presiden Amerika, Barack Obama dalam rancangan anggaran belanja negara yang dikirimnya ke Kongres menambah usulan bantuan militer bagi Israel hingga $3,4 miliar.
Dukungan besar-besar negara-negara Barat terhadap Israel menyebabkan Tel Aviv semakin arogan mengembangkan program nuklir militernya yang membahayakan perdamaian kawasan. Saat ini, Israel memiliki setidaknya 300 hulu ledak nuklir, tapi selalu "kebal" sanksi dan hukuman dari organisasi internasional semacam PBB.
Padahal, selama ini Israel-lah yang jelas-jelas memiliki senjata nuklir di kawasan Timur Tengah yang mengancam perdamaian dan keamanan regional. Tapi, sanksi internasional justru dijatuhkan kepada negara lain semacam Iran yang mengembangkan program energi nuklir untuk tujuan damai yang berada di bawah Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan bekerja sama dengan Badan Energi Atom Internasional (IAEA).Sejak awal pendiriannya, proyek nuklir Israel bertujuan militer. Pada tahun 1952, rezim Zionis mendirikan Komisi Energi Nuklir. Lima tahun kemudian komisi tersebut mencapai kesepakatan dengan Prancis mengenai pembangunan reaktor riset Dimona, Negev. Reaktor riset berkekuatan 24 megawat air berat itu dioperasikan pada tahun 1964. Di reaktor ini pula Prancis melakukan pengolahan bahan bakar nuklir, sekaligus menyiapkan plutonium untuk memenuhi kepentingan militer Israel.
Sejak itu Israel semakin agresif meningkatkan kemampuan nuklir militernya. Pada tahun 1964, CIA melaporkan bahwa Israel berhasil memproduksi bom atom plutonium.
Hingga dekade 1990-an, rezim Zionis meningkatkan jumlah hulu ledak nuklirnya dari 75 hingga 130 buah. Pada tahun 2006, dengan dukungan AS dan negara Barat lainnya, Israel terang-terangan mengumumkan program nuklir militernya. Bulletin of The Atomic Scientist mengumumkan bahwa jumlah hulu ledak nuklir Israel menempati urutan kelima di dunia.
Rezim Zionis meningkatkan kekuatan nuklir militernya dengan bantuan negara-negara Barat terutama AS. Meskipun negeri Paman Sam itu didera krisis ekonomi, Washington justru berniat meningkatkan bantuan militernya bagi Tel Aviv. Baru-baru ini, Presiden Amerika, Barack Obama dalam rancangan anggaran belanja negara yang dikirimnya ke Kongres menambah usulan bantuan militer bagi Israel hingga $3,4 miliar.
Dukungan besar-besar negara-negara Barat terhadap Israel menyebabkan Tel Aviv semakin arogan mengembangkan program nuklir militernya yang membahayakan perdamaian kawasan. Saat ini, Israel memiliki setidaknya 300 hulu ledak nuklir, tapi selalu "kebal" sanksi dan hukuman dari organisasi internasional semacam PBB.
Ketika organisasi internasional semacam Dewan Keamanan PBB gencar mempersoalkan program nuklir sipil Iran, yang hingga kini tidak terbukti menyimpang ke arah program senjata nuklir. Tapi, sikap yang sama tidak berlaku bagi Tel Aviv, yang tidak pernah mengakui NPT dan menutup pintu bagi investigator IAEA untuk menyelidiki instalasi nuklir militernya.
Berbagai pelanggaran Israel terhadap ketentuan internasional, terutama terkait program nuklir militernya mengancam keamanan dan perdamaian kawasan dan dunia. Untuk itu, sejumlah negara regional dan dunia mendesak sikap tegas PBB terhadap Israel, terutama institusi terkait seperti IAEA terhadap program nuklir militer Israel. Tapi, karena dukungan segelintir negara Barat terutama AS di Dewan Keamanan PBB, hingga kini tidak ada keputusan serius untuk menindak kejahatan Israel yang semakin merajalela.
Dukungan Washington dan sekutunya terhadap Tel Aviv, membuat Israel semakin agresif meningkatkan produksi senjata nuklir dan menggunakannya untuk mengobarkan perang di kawasan. Berbagai laporan menunjukkan bahwa rezim Zionis menggunakan senjata nuklir dalam sejumlah perang seperti perang delapan hari di Jalur Gaza, pada November 2012 lalu. Sejatinya, sikap pasif PBB dan publik dunia hanya akan membuat rezim Zionis semakin arogan untuk melanjutkan kebijakan haus perangnya di kawasan.(sm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.