Kunjungan Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad, ke Kaior Mesir untuk pertama kalinya menuai kontrofersi. Syaikh al-Azhar, Ahmad al-Tayyib, secara terbuka mengkritik Ahmadinejad, Rabu (06/02) soal dukungan Iran terhadap kekisruhan Bahrain dan pembiaran penistaan sahabat Nabi saw di Iran. Tidak hanya itu, seseorang hampir memukul Ahmadinejad dengan sepatu saat menghadiri acara pertemuan OKI di Kairo. Pria yang diduga warga Suriah itu geram atas dukungan Iran terhadap rezim Bashar al-Asad yang membantai warga Sunni Suriah. Salah satu alasan dukungan Iran terhadap Suriah karena Suriah mendukung Iran selama perang tahun 1980-1988 (Perang Iraq-Iran) (hidayatullah.com 28/08/2012).
Bahrain, Iraq, dan Suriah tampaknya merupakan segitiga wilayah yang sedang dipersiapkan Iran untuk membangun imperium Syiah di Timur Tengah. Vali Nasr, dalam “Shia Revival (edisi Indonesia “Kebangkitan Syiah: Islam, Konflik dan Masa Depan”) mengatakan ada tiga pilar kebangkitan Syiah. Pertama, perebutan Iraq, Kedua, pencitraan Iran sebagai pemimpin Arab melawan Barat, dan Ketiga, dominasi Syiah dari Negara Lebanon hingga Negara Pakistan (Vali Nasr, Kebangkitan Syiah: Islam, Konflik dan Masa Depan, hal.159).
Karena itu, meski rezin Suriah, Bashar al-Asad, nyata-nyata secara keji membantai rakyatnya yang Sunni, Iran tetap mendukungnya. Tidak ada kamus HAM, ukhuwah, atau kemanusiaan lagi. Bahrain, sedang diguncang demonstrasi rakyatnya yang mayoritas Syiah. Rakyat berambisi menggulingkan pemimpin Negara untuk diganti dengan pemimpin beraliran Syiah. Di belakang demonstrasi, Iran secara politis mendukung revolusi.
Nampak sekali, ambisi untuk mengekspor revolusi Syiah ke beberapa Negara Muslim telah diwariskan turun-temurun oleh Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Iran tahun 1979. Hingga pemimpin Iran sekarang ini, wasiat Khomeini masih dipegang. Terbukti, Ahmadinejad tetap bersikukuh terhadap dukungannya atas Suriah, pemerintahan Syiah Iraq, Hizbullah dan kekisruhan di Baharain. Iraq, Suriah, Hizbullah di Lebanon dan Baharain menjadi ancaman sangat serius terhadap Sunni Arab pada tahun-tahun berikutnya.
Dalam bukunya “al-Hukumah al-Islamiyah”, Khomeini secara emosional menghakimi kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah sebagai sistem thoghut, rusak, kufur dan tidak diridlai Allah swt. Sistem itu menurutnya harus diganti. Ia mengatakan, “Kenyataanya tidak ada pilihan lain selain menghancurkan sistem pemerintahan yang rusak dan menghapus pemerintahan yang penuh dengan pengkhianatan, kerusakan dan kedzaliman. Ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi olehs setiap Muslim yang ada di Negara Islam sehingga dapat tercapailah kejayaan Revolusi Politik Islam” (Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam,hal.46).
Di kalangan kaum Syiah, tulisan Khomeini ini merupakan fatwa untuk melakukan revolusi di negaranya masing-masing. Khomeini sendiri merupakan tokoh Syiah paling kharismatik. Sehingga fatwa ini pernah membakar pemuda Syiah di Indonesia pada tahun delapan puluhan. Pada 24 Desember tahun 1984 aktivis Syiah bernama Jawad alias Ibrahim terlibat aksi peledakan gedung seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang dan peledakan candi Borobudur pada 21 Januari 1985. Dalam pengakuannya, ia nekat melakukannya karena cita-citanya ingin menjadi Imam di Indonesia, sebagaiman Khomeini di Iran.
Pada tahun 1981, Iran menggelar Konferensi Internasional untuk Imam Jum’at dan Jama’ah mengundang pemimpin Negara-negara Muslim di duia serta para muftinya. Syaikh Muhammad Abdu Qodir Azad,Ketua Majelis Ulama’ Pakistn, yang ikut konferensi menyaksikan pidato Khomeini berapi-api memprovokasi kaum Muslim untuk melakukan revolusi seperti yang ia lakukan di Iran.
Bahrain, Iraq, dan Suriah tampaknya merupakan segitiga wilayah yang sedang dipersiapkan Iran untuk membangun imperium Syiah di Timur Tengah. Vali Nasr, dalam “Shia Revival (edisi Indonesia “Kebangkitan Syiah: Islam, Konflik dan Masa Depan”) mengatakan ada tiga pilar kebangkitan Syiah. Pertama, perebutan Iraq, Kedua, pencitraan Iran sebagai pemimpin Arab melawan Barat, dan Ketiga, dominasi Syiah dari Negara Lebanon hingga Negara Pakistan (Vali Nasr, Kebangkitan Syiah: Islam, Konflik dan Masa Depan, hal.159).
Karena itu, meski rezin Suriah, Bashar al-Asad, nyata-nyata secara keji membantai rakyatnya yang Sunni, Iran tetap mendukungnya. Tidak ada kamus HAM, ukhuwah, atau kemanusiaan lagi. Bahrain, sedang diguncang demonstrasi rakyatnya yang mayoritas Syiah. Rakyat berambisi menggulingkan pemimpin Negara untuk diganti dengan pemimpin beraliran Syiah. Di belakang demonstrasi, Iran secara politis mendukung revolusi.
Nampak sekali, ambisi untuk mengekspor revolusi Syiah ke beberapa Negara Muslim telah diwariskan turun-temurun oleh Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Iran tahun 1979. Hingga pemimpin Iran sekarang ini, wasiat Khomeini masih dipegang. Terbukti, Ahmadinejad tetap bersikukuh terhadap dukungannya atas Suriah, pemerintahan Syiah Iraq, Hizbullah dan kekisruhan di Baharain. Iraq, Suriah, Hizbullah di Lebanon dan Baharain menjadi ancaman sangat serius terhadap Sunni Arab pada tahun-tahun berikutnya.
Dalam bukunya “al-Hukumah al-Islamiyah”, Khomeini secara emosional menghakimi kekhalifahan Umayyah dan Abbasiyah sebagai sistem thoghut, rusak, kufur dan tidak diridlai Allah swt. Sistem itu menurutnya harus diganti. Ia mengatakan, “Kenyataanya tidak ada pilihan lain selain menghancurkan sistem pemerintahan yang rusak dan menghapus pemerintahan yang penuh dengan pengkhianatan, kerusakan dan kedzaliman. Ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi olehs setiap Muslim yang ada di Negara Islam sehingga dapat tercapailah kejayaan Revolusi Politik Islam” (Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam,hal.46).
Di kalangan kaum Syiah, tulisan Khomeini ini merupakan fatwa untuk melakukan revolusi di negaranya masing-masing. Khomeini sendiri merupakan tokoh Syiah paling kharismatik. Sehingga fatwa ini pernah membakar pemuda Syiah di Indonesia pada tahun delapan puluhan. Pada 24 Desember tahun 1984 aktivis Syiah bernama Jawad alias Ibrahim terlibat aksi peledakan gedung seminari Alkitab Asia Tenggara di Malang dan peledakan candi Borobudur pada 21 Januari 1985. Dalam pengakuannya, ia nekat melakukannya karena cita-citanya ingin menjadi Imam di Indonesia, sebagaiman Khomeini di Iran.
Pada tahun 1981, Iran menggelar Konferensi Internasional untuk Imam Jum’at dan Jama’ah mengundang pemimpin Negara-negara Muslim di duia serta para muftinya. Syaikh Muhammad Abdu Qodir Azad,Ketua Majelis Ulama’ Pakistn, yang ikut konferensi menyaksikan pidato Khomeini berapi-api memprovokasi kaum Muslim untuk melakukan revolusi seperti yang ia lakukan di Iran.
Khomeini mengatakan: “Karena itu wahai para ulama! Berangkatlah dari muktamar ini untuk mengadakan revolusi Iran di Negara-negara masing-masing, agar anda semuanya dapat menang dalam usaha yang besar ini. Kalau anda bermalas-malas, maka pada hari kiamat nanti di hari semua manusia dikumpulkan, Allah akan meminta pertanggungjawaban dari masing-masing Anda karena tidak melakukan sesuatu tentang hak Allah dan hak bangsa-bangsa Anda. Lalu ketika itu nanti jawaban apakah yang akan Anda berikan?” (Muhammad Abdul Qodir Azad, Bahaya Faham Syiah Khomeini, hal.14).
Pidato provokatif itu disaksikan oleh puluhan ulama dan pemimpin Negara-negara Muslim dan berlanjut dengan konferensi-konferensi berikutnya yang diadakan oleh Khomeini. Di antaranya, konferensi Haji di India pada 1981, Konferensi Islam di Banglades pada 1982 dan di Negara-negara Eropa. Padahal pada saat itu sedang berkecamuk perang panas antara Irak dan Iran.
Namun, semua pemimpin Negara Muslim kecewa berat bahkan mengecam. Pada saat konferensi Islam di Iran bertepatan dengan peringatan revolusi, Khomeini pernah berpendapat bahwa semua kepala Negara yang terdapat di Negara Islam adalah bukan kecuali presiden Suriah Hafidz al-Asad. Hafidz yang juga ayah Bashar al-Asad, merupakan presiden Suriah yang beraliran Syiah Nusairiah. Jadi memang sejak lama Iran sangat intim dengan Suriah. Karena faktor ideologis. Ahamdinejad pun menerangkan bahwa Iran mendukung Suriah karena Suriah dulu menyokong Iran saat perang delapan tahun (1980-1988) dengan Irak. Irak saat itu di bawah pimpinan Saddam Husein yang Sunni.
Prinsip dasar revolusi Syiah berakar dari akidah Imamah. Revolusi Khomeini berlangsung atas dasar ajaran aliran Syiah. Khomeini berusaha agar kepemimpinannya tidak hanya meliputi wilayah Iran, bahkan seluruh dunia harus tunduk di bawah pemerintahan dan kekuasaannya. Dalam konsep wilayatul faqih, Khomeini menjelaskan bahwa hanya Faqih (ulama/ahli hukum) Syiah sajalah yang boleh memimpin dan memerintah umat. Karena, menurut keterangan Khomeini, fuqaha Syiah saja yang beriman pada akidah Imamah dan imam Mahdi akhir zaman (Syaikh Muhammad Mandzur Nu’mani, al-Tsaurah al-Iraniyah fi Mizan al-Islam, hal 31).
Dengan demikian, cita-cita revolusi itu bentuk dari pengamalan ideologis kaum Syiah. Maka, cukup bisa dimengerti kemudian Ahmadinejad, bersikukuh membela rezim Suriah, meski dunia Islam mengecam pembantaian rezim terhadap rakyatnya. Dalam sejarahnya, cita-cita revolusi selalu menelan korban. Di internal Negara Iran, seorang perdana Menteri era Reza Pahlevi, Sadeq Gotbzadeh dihukum mati, dan Ayatullah Syariat Madari, rival politik Khomeini dikucilkan hingga meninggal sebagai tahanan rumah. Ekspor revolusi ke Negara tetangga menciptakan perang panjang Iraq – Iran selama delapan tahun. Untuk menegakkan pemerintahan Syiah di Iraq, dibantu serangan AS ke Saddam Husein, dan kini Suriah berdarah-darah karena rakyatnya yang Sunni tidak tahan dengan rezim Bashar. Fenomena Syiah revival (kebangkitan Syiah) di Timur Tengah selalu memakan korban dan berdarah-darah.
Karena itulah, sangat logis kemudian Syaikh al-Azhar, Ahmad al-Tayyib, mengecam keras terhadap Ahmadinejad ketika datang ke Kairo. Bagi al-Azhar, Iran masih sangat setia memegang wasiat Khomeini. Padahal wasiat-wasiat itu menyakiti umat Islam dan cita-cita revolusi Syiah, membahayakan masing-masing Negara Muslim.(bumisyam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.