"Semoga Allah membalas kebaikanmu hai anak muda. Sungguh engkau lebih pantas menjadi khalifah daripada Umar.."
Tidak ada khalifah yang demikian mencintai kesederhanaan selain Umar bin Khattab. Ialah tempat di mana kaum papa dan jelata menyandingkan harap dan kehidupannya. Tubuhnya tegap. Pelbagai peperangan telah ia lewati. Bahkan, disebut-sebut bahwa Umarlah salah satu ahli strategi terbaik.
Namun, ketika menghadapi rakyat dan soal ilmu agama, Umar tidak akan berhenti mencucurkan air matanya. Umar adalah khalifah, pemimpin yang justru memiliki kesederhanaan daripada rakyat yang dipimpinnya sendiri. Terkadang Umar tidur di atas jerami di rumahnya atau di atas gundukan pasir di bawah pohon kurma. Tak ada kata gengsi atau malu karena amanah yang dia emban.
Ia makan apa saja yang ada, sekadar dapat menopang hidupnya. Makanannya tidak lebih dari seiris daging kering atau sekerat roti yang diolesi minyak campur garam. Pernah suatu saat, Umar menangis, lantaran takut rakyatnya ada yang kelaparan. Ia berujar, “Aku tidak akan puas makan dan minum selama masih ada rakyatku yang kelaparan.”
Sejak didaulat menjadi Khalifah, matanya seperti tak henti menyucurkan bening airnya. Memikirkan, jika ada jalan rusak dan kambing terperosok karenanya, apa yang akan ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah, kelak?
Umar hanya merasa bahagia apabila ada rakyatnya yang tidak segan berbicara dan mengutarakan isi hatinya. Seperti saat ia melihat seorang wanita tua yang berjalan terbungkuk-bungkuk lantaran membawa beban berat di punggungnya. Khalifah Umar mendekati, lantas membawakan bebannya. Beliau tersenyum saat didengarnya perempuan tua itu mengucapkan terima kasih seraya berkata, "Semoga Allah membalas kebaikanmu hai anak muda. Sungguh engkau lebih pantas menjadi khalifah daripada Umar.."
Itulah Amirul mu'minin Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu anhu yang memiliki tubuh tinggi besar. Beliau adalah pemimpin dengan wilayah yang sangat luas. Penakluk imperium Romawi dan Persia. Sosok yang sangat disegani oleh raja-raja dunia.
Tapi lihatlah kesederhanannya, ia mengenakan jubah yang tambalannya tidak kurang dari 21 buah. Dengan tangan kirinya memegang tinta dan tangan kanannya memegang kertas dan pena, diketuk-ketuk pintu rumah warganya.
Ia meminta kepada para istri yang suaminya sedang berada di garis depan medan jihad, atau berada di perbatasan negeri, agar mereka mendiktekan kepadanya isi surat dan pesan kepada suami-suami mereka, ketika petugas kurir sudah siap berangkat mengantarkan surat-surat itu.
Sang Khalifah pun mengetuk pintu-pintu mereka untuk suatu keperluan lainnya, "Sebutlah kebutuhan-kebutuhan Anda. Siapa yang akan membeli sesuatu ke pasar katakan kepadaku atau kirimkanlah pembantu dan saya akan pergi ke pasar bersamanya, sebab saya khawatir mereka tertipu sewaktu berbelanja."
Setiba di pasar, ia sendiri yang berbelanja dan membeli semua kebutuhan yang sudah dipesan, lalu memasukkan kedalam keranjang dengan tangannya sendiri. Ialah Khalifah Umar yang hampir setiap saat ‘blusukan’ ke sudut-sudut kota, hingga penjuru negeri, memperhatikan kondisi rakyatnya.
Tatkala Khalifah Umar kembali ke Madinah dari Negeri Syam, ia keluar sendirian untuk melihat kondisi warga negeri. Ia melewati seorang wanita tua di rumahnya yang sederhana, lalu ia menghampiri.
"Siapa lagi ini? Apa saja yang diperbuat Umar?" tanya perempuan itu.
"Ia baru datang dari Syam dalam keadaan selamat" jawab Umar.
"Tidak begitu," jawab si wanita tua ketus.
"Memangnya kenapa?" tanya Umar kaget.
"Demi Allah, ia belum memberikan apapun kepadaku sejak dia diangkat menjadi Amirul Mukminin," sahut wanita itu.
"Tapi Umar tidak tahu kondisimu karena engkau tinggal di sini, tempat yang dia tidak mengetahuinya," Umar menjelaskan.
“Subhanallah… Demi Allah, aku tidak menyangka ada seorang yang diangkat untuk mengurus persoalan kaum Muslimin tapi tidak tahu apa yang terjadi pada rakyatnya," sergah wanita tua itu.
Sontak Umar pun menangis dan berkata dalam hati, "Celaka Umar, semua orang lebih pintar dari-mu, hingga orang tua renta ini. Ya Umar.." Khalifah Umar berkata, "Wahai ibu, berapa engkau akan menjual kezaliman Umar padamu kepadaku, aku ingin melepaskannya dari neraka,"
"Engkau jangan bercanda, semoga Allah merahmatimu," sahut wanita tua.
"Aku tidak bercanda," tegas Umar.Tidak ada khalifah yang demikian mencintai kesederhanaan selain Umar bin Khattab. Ialah tempat di mana kaum papa dan jelata menyandingkan harap dan kehidupannya. Tubuhnya tegap. Pelbagai peperangan telah ia lewati. Bahkan, disebut-sebut bahwa Umarlah salah satu ahli strategi terbaik.
Namun, ketika menghadapi rakyat dan soal ilmu agama, Umar tidak akan berhenti mencucurkan air matanya. Umar adalah khalifah, pemimpin yang justru memiliki kesederhanaan daripada rakyat yang dipimpinnya sendiri. Terkadang Umar tidur di atas jerami di rumahnya atau di atas gundukan pasir di bawah pohon kurma. Tak ada kata gengsi atau malu karena amanah yang dia emban.
Ia makan apa saja yang ada, sekadar dapat menopang hidupnya. Makanannya tidak lebih dari seiris daging kering atau sekerat roti yang diolesi minyak campur garam. Pernah suatu saat, Umar menangis, lantaran takut rakyatnya ada yang kelaparan. Ia berujar, “Aku tidak akan puas makan dan minum selama masih ada rakyatku yang kelaparan.”
Sejak didaulat menjadi Khalifah, matanya seperti tak henti menyucurkan bening airnya. Memikirkan, jika ada jalan rusak dan kambing terperosok karenanya, apa yang akan ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah, kelak?
Umar hanya merasa bahagia apabila ada rakyatnya yang tidak segan berbicara dan mengutarakan isi hatinya. Seperti saat ia melihat seorang wanita tua yang berjalan terbungkuk-bungkuk lantaran membawa beban berat di punggungnya. Khalifah Umar mendekati, lantas membawakan bebannya. Beliau tersenyum saat didengarnya perempuan tua itu mengucapkan terima kasih seraya berkata, "Semoga Allah membalas kebaikanmu hai anak muda. Sungguh engkau lebih pantas menjadi khalifah daripada Umar.."
Itulah Amirul mu'minin Umar Ibnul Khaththab radhiyallahu anhu yang memiliki tubuh tinggi besar. Beliau adalah pemimpin dengan wilayah yang sangat luas. Penakluk imperium Romawi dan Persia. Sosok yang sangat disegani oleh raja-raja dunia.
Tapi lihatlah kesederhanannya, ia mengenakan jubah yang tambalannya tidak kurang dari 21 buah. Dengan tangan kirinya memegang tinta dan tangan kanannya memegang kertas dan pena, diketuk-ketuk pintu rumah warganya.
Ia meminta kepada para istri yang suaminya sedang berada di garis depan medan jihad, atau berada di perbatasan negeri, agar mereka mendiktekan kepadanya isi surat dan pesan kepada suami-suami mereka, ketika petugas kurir sudah siap berangkat mengantarkan surat-surat itu.
Sang Khalifah pun mengetuk pintu-pintu mereka untuk suatu keperluan lainnya, "Sebutlah kebutuhan-kebutuhan Anda. Siapa yang akan membeli sesuatu ke pasar katakan kepadaku atau kirimkanlah pembantu dan saya akan pergi ke pasar bersamanya, sebab saya khawatir mereka tertipu sewaktu berbelanja."
Setiba di pasar, ia sendiri yang berbelanja dan membeli semua kebutuhan yang sudah dipesan, lalu memasukkan kedalam keranjang dengan tangannya sendiri. Ialah Khalifah Umar yang hampir setiap saat ‘blusukan’ ke sudut-sudut kota, hingga penjuru negeri, memperhatikan kondisi rakyatnya.
Tatkala Khalifah Umar kembali ke Madinah dari Negeri Syam, ia keluar sendirian untuk melihat kondisi warga negeri. Ia melewati seorang wanita tua di rumahnya yang sederhana, lalu ia menghampiri.
"Siapa lagi ini? Apa saja yang diperbuat Umar?" tanya perempuan itu.
"Ia baru datang dari Syam dalam keadaan selamat" jawab Umar.
"Tidak begitu," jawab si wanita tua ketus.
"Memangnya kenapa?" tanya Umar kaget.
"Demi Allah, ia belum memberikan apapun kepadaku sejak dia diangkat menjadi Amirul Mukminin," sahut wanita itu.
"Tapi Umar tidak tahu kondisimu karena engkau tinggal di sini, tempat yang dia tidak mengetahuinya," Umar menjelaskan.
“Subhanallah… Demi Allah, aku tidak menyangka ada seorang yang diangkat untuk mengurus persoalan kaum Muslimin tapi tidak tahu apa yang terjadi pada rakyatnya," sergah wanita tua itu.
Sontak Umar pun menangis dan berkata dalam hati, "Celaka Umar, semua orang lebih pintar dari-mu, hingga orang tua renta ini. Ya Umar.." Khalifah Umar berkata, "Wahai ibu, berapa engkau akan menjual kezaliman Umar padamu kepadaku, aku ingin melepaskannya dari neraka,"
"Engkau jangan bercanda, semoga Allah merahmatimu," sahut wanita tua.
Akhirnya terjadi kesepakatan dimana Umar "membeli" kezaliman itu dari wanita tua dengan harga 20 dinar emas. Ketika transaksi itu tengah berlangsung tiba-tiba Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas`ud muncul. Mereka memberi salam,
"Asaalamu`alaika ya amiral mu’minin”. Mendengar salam itu sepontan wanita tua itu meletakkan tangannya di kepala sambil berkata, "Aduh… celaka aku, aku telah memaki amirul mu’minin di depannya."
"Tidak mengapa ibu, semoga Allah merahmatimu" kata Umar menenangkannya.
Khalifah Umar meminta sepotong kain untuk menulis kesepakatan ini, tapi tidak ada, sehingga ia merobek sedikit bajunya, lalu ia menuliskan:
"Bismillahirrahmanirrahim, ini adalah harga pembelian Umar dari Fulanah atas kezaliman padanya semenjak diangkat menjadi khalifah hingga hari ini seharga 20 dinar ". Lalu Umar berkata kepada wanita tua itu," Ketika pengadilan di Mahsyar nanti tiba, jangan lupa bahwa Umar telah lepas dari beban ini, disaksikan oleh Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud”. Oleh Umar tulisan itu diberikan kepada putranya sambil berpesan: "Jika ayah mati nanti, selipkan sobekan kain ini di kafanku, untuk aku bawa menghadap Rabb-ku nanti "
Kebijakan Umar ibn Khattab sepuluh tahun lamanya, pria ini diamanahi sebagai pengelola urusan umat. Mulai tahun ke-13 Hijriyah hingga 24 H, selepas Khalifah Abu Bakar wafat, Umar didaulat menjadi Khalifah. Umar melanjutkan pelbagai program yang telah dilakukan pada zaman pemerintahan sebelumnya.
Dari sinilah Umar melanjutkan jihad untuk membebaskan negeri dari kezaliman, menyebarkan dakwah tauhid ke seluruh penjuru bumi. Pasukan melesat bak busur panah. Kepiawaian Umar dalam militer, tergambar dalam strategi-strategi Umar untuk membebaskan negeri-negeri yang berada di dekatnya.
Salah satunya adalah pembagian pasukan dalam batalion dan grup-grup kecil. Ibnu Jarir menyatakan bahwa Umar mengirim surat kepada Sa’ad bin Abi Waqqas sesaat sebelum terjadinya pertempuran yang isinya berbunyi, “Jika engkau sudah menerima suratku ini maka pecahlah pasukanmu menjadi satuan-saatuan yang lebih kecil. Jelaskan kepada mereka tentang tindakan itu, angkatlah pemimpin untuk tiap-tiap pasukan, berilah perintah pemimpin-pemimpin itu di depan semua pasukan, hormati mereka di depan anak buah mereka, dan serahkan panji-panji pasukan pada prajurit yang paling cepat memacu kudanya.”
Dengan pedoman inilah, Khalid bin Walid membagi pasukan Islam dalam puluhan batalion, yang setiap batalion berjumlah 1000 orang. Umar memulai pembebasan negeri dari Damaskus, Suriah. Pertarungan begitu sengit antara pasukan Islam dan Romawi. Pasukan Islam berhasil menaklukkan kota ini di bawah pimpinan Abu Ubaidah Amir bin Jarrah, Khalid bin Walid, Amr bin al Ash, Syurahbil bin Hasanah, dan Yazid bin abi Sufyan ra. Panglima Perang saat itu ialah Abu Ubaidah bin al jarrah melanjutkan penaklukannya ke Hamah, Qinisrun, Laziqiyah dan Aleppo.
Syurahbil dan ‘Amru bin al Ash bersama pasukannya meneruskan penaklukan Baysan dan Jerussalem di Palestina. Kota suci dan kiblat pertama bagi umat Islam itu dikepung oleh pasukan Muslim selama empat bulan. Akhirnya kota itu dapat ditaklukkan dengan syarat harus Khalifah Umar bin al Khattab sendiri yang menerima “kunci kota” itu dari Uskup Agung Sefronius.
Saat menuju ke Yerusalem, Umar hanya berjalan berdua bersama pelayannya dengan menaiki seekor keledai secara bergantian. Ketika tiba di sana, pelayannya yang sedang mendapat jatah menaiki keledai. Maka, orang yang di atas itu disangka Umar, dan Umar disangka pelayannya. Melihat hal ini, warga Yerusalem takjub dan banyak dari mereka berbondong-bondong masuk Islam. Penyerahan kota Yerusalem kepada Umar, tertuang hingga sekarang dalam dokumen ‘Pakta Umar’.
Di wilayah Utara, pasukan Islam maju menuju Mesir. Satu persatu wilayah Mesir berhasil dibebaskan dari kezaliman Romawi. Tak jarang penduduk setempat membantu pasukan Islam agar dapat memenangkan perlawanan. Di wilayah Timur, menuju Asia, pasukan Islam melesat menuju Persia. Khalifah Umar ibnul Khattab mengirim pasukan di bawah pimpinan Saad bin Abi Waqash untuk menundukkan kota itu. Kemenangan yang diraih di daerah itu membuka jalan bagi gerakan maju tentara Muslim ke dataran Eufrat dan Tigris
Setelah dikepung selama 2 bulan, Yazdagrid III, raja Persia melarikan diri. Pasukan Islam kemudian mengepung Nahawan dan menundukkan Ahwaz tahun 22 H. Pada tahun itulah, seluruh wilayah Persia, Imperium besar yang ditakuti oleh masyarakat jahiliyah Arab takluk di bawah kepemimpinan Islam. Pun dengan Romawi di Mesir, Palestina, dan Suriah. Mulai zaman Umar ini, Islam terus menyebar luas ke seluruh penjuru dunia. [alhikmah.co]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.