Dalam Rihlah-nya, (Tuhfah an-Nuzhar fi Gharaibil Amshar wa Ajaibil Asfar, Rihlah Ibnu Bathuthah, Pustaka Al-Kautsar, Cet I, Maret 2012, hal 220-223). Ibnu Bathuthah bercerita:
“….Pada suatu ketika, Raja Irak yang bernama Sultan Muhammad Khadabandah berjalan ditemani oleh seorang faqih yang bernama Jamaludin bin Muthahhar. Kala itu, raja masih belum memeluk Islam. Setelah ia masuk Islam, maka seluruh bangsa Tartar yang berada dalam kekuasaannya juga masuk Islam.
Setelah itu, mereka semua bertambah rasa hormat kepada Faqih Jamaludin. Raja menganut Madzhab Rafidhah. Faqih mengajarkan madzhab ini kepada raja dan mengistimewakannya di atas madzhab lain. Ia menjelaskan sejarah para sahabat Nabi dan para khalifah. Ia menjelaskan bahwa Abu Bakar dan Umar adalah menteri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ali adalah putra paman sekaligus menantu beliau. Faqih itu menjelaskan tema-tema semacam itu. Ia tahu, raja di hadapannya adalah pewaris kerajaan sang kakek dan kerabatnya. Dia tahu, raja baru saja memeluk Islam dan belum tahu banyak tentang sendi-sendi agama.
Raja menyeru agar rakyatnya mengikuti madzhab Rafidhah. Untuk itu, ia mengirim utusan kepada rakyat Irak, Persia, Azerbaijan, Isfahan, Kirman, dan Khurasan. Ia juga mengirim utusan ke berbagai negeri. Dan negeri pertama yang disinggahi utusan raja adalah Baghdad, Syiraz, dan Isfahan. Penduduk Baghdad menolak kedatangan penduduk Bab Al-Azj.
Penduduk Baghdad menganut madzhab Ahlussunnah, mayoritas adalah pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. “Kami tidak mau melaksanakan perintah raja.” Pada hari Jum’at, mereka datang ke masjid dengan membawa senjata, sementara di sana telah datang utusan raja. Saat khatib naik ke atas mimbar, 12.000 orang bersenjata mengelilingi khatib. Mereka adalah penjaga kota Baghdad. Mereka bersumpah akan membunuh khatib dan utusan raja, jika khutbah disampaikan dengan cara yang berbeda dari biasanya, dengan menambah atau mengurangi. Setelah itu, mereka akan menyerahkan diri.
Raja memerintahkan agar nama Abu Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat lainnya tidak disebutkan dalam khutbah-khutbah. Yang boleh disebutkan hanyalah nama Ali dan para sahabat pendukungnya seperti Ammar bin Yasir. Karena takut dengan ancaman penduduk Baghdad, khatib menyampaikan khutbah dengan cara yang biasa dilakukan di masjid itu. Penduduk Syiraz dan Isfahan meniru apa yang dilakukan penduduk Baghdad.
“….Pada suatu ketika, Raja Irak yang bernama Sultan Muhammad Khadabandah berjalan ditemani oleh seorang faqih yang bernama Jamaludin bin Muthahhar. Kala itu, raja masih belum memeluk Islam. Setelah ia masuk Islam, maka seluruh bangsa Tartar yang berada dalam kekuasaannya juga masuk Islam.
Setelah itu, mereka semua bertambah rasa hormat kepada Faqih Jamaludin. Raja menganut Madzhab Rafidhah. Faqih mengajarkan madzhab ini kepada raja dan mengistimewakannya di atas madzhab lain. Ia menjelaskan sejarah para sahabat Nabi dan para khalifah. Ia menjelaskan bahwa Abu Bakar dan Umar adalah menteri Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ali adalah putra paman sekaligus menantu beliau. Faqih itu menjelaskan tema-tema semacam itu. Ia tahu, raja di hadapannya adalah pewaris kerajaan sang kakek dan kerabatnya. Dia tahu, raja baru saja memeluk Islam dan belum tahu banyak tentang sendi-sendi agama.
Raja menyeru agar rakyatnya mengikuti madzhab Rafidhah. Untuk itu, ia mengirim utusan kepada rakyat Irak, Persia, Azerbaijan, Isfahan, Kirman, dan Khurasan. Ia juga mengirim utusan ke berbagai negeri. Dan negeri pertama yang disinggahi utusan raja adalah Baghdad, Syiraz, dan Isfahan. Penduduk Baghdad menolak kedatangan penduduk Bab Al-Azj.
Penduduk Baghdad menganut madzhab Ahlussunnah, mayoritas adalah pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. “Kami tidak mau melaksanakan perintah raja.” Pada hari Jum’at, mereka datang ke masjid dengan membawa senjata, sementara di sana telah datang utusan raja. Saat khatib naik ke atas mimbar, 12.000 orang bersenjata mengelilingi khatib. Mereka adalah penjaga kota Baghdad. Mereka bersumpah akan membunuh khatib dan utusan raja, jika khutbah disampaikan dengan cara yang berbeda dari biasanya, dengan menambah atau mengurangi. Setelah itu, mereka akan menyerahkan diri.
Raja memerintahkan agar nama Abu Bakar, Umar, Utsman dan para sahabat lainnya tidak disebutkan dalam khutbah-khutbah. Yang boleh disebutkan hanyalah nama Ali dan para sahabat pendukungnya seperti Ammar bin Yasir. Karena takut dengan ancaman penduduk Baghdad, khatib menyampaikan khutbah dengan cara yang biasa dilakukan di masjid itu. Penduduk Syiraz dan Isfahan meniru apa yang dilakukan penduduk Baghdad.
Para utusan raja melaporkan kenyataan ini kepada raja. Mendengar laporan itu, raja memerintahkan agar para qadhi di tiga kota itu dibawa menghadap. Syaikh Majdudin adalah qadhi yang pertama menghadap raja. Ketika itu, raja sedang duduk di sebuah tempat bernama Qarabagh, sebuah tempat berlibur raja di musim panas.
Saat Syaikh datang, para pengawal raja melepaskan anjing-anjing besar berkalung rantai besi. Anjing-anjing itu disiapkan untuk menerkam manusia yang sengaja dijadikan mangsa. Jika mangsa datang, anjing-anjing itu dilepaskan, dan orang itu melarikan diri ke sana ke mari. Setelah berhasil menangkap mangsanya, anjing-anjing itu mencabik-cabik badannya dan melahapnya dengan rakus.
Anjing-anjing itu dilepas di hadapan Syaikh Majdudin. Mereka mengerlingkan mata dan menampakkan taring-taringnya di hadapan Syaikh. Namun, anjing-anjing itu tidak menyerang Syaikh. Peristiwa ini didengar oleh raja. Ia keluar istana, berjalan tanpa alas kaki. Ia bersimpuh di hadapan Syaikh dan mencium kedua kakinya. Ia mencium tangan Syaikh, lalu melepas pakaian kebesarannya.
Menurut tradisi, apa yang dia lakukan itu menjadi bukti akan kemuliaan orang yang berada di hadapannya. Jika raja melepaskan pakaian kebesaran di hadapan seseorang, maka itu berarti bahwa raja memuliakan orang itu, termasuk anak-cucu dan seluruh keturunannya. Penghormatan itu terus dilakukan selama pakaian kebesaran raja, atau bagian tertentu dari pakaian itu, masih ada. Bagian paling istimewa dari pakaian kebesaran raja adalah celana.
Raja menggandeng tangan Syaikh Majdudin, mengantarnya masuk ke dalam istana. Ia memerintah seluruh istrinya untuk memberikan hormat kepada Syaikh dan bertabarruk dengannya. Raja kemudian meninggalkan madzhab Rafidhah. Ia menulis rakyat untuk menganut madzhab Ahlussunnah wal Jamaah.
Raja memberikan hadiah yang banyak kepada Syaikh Majdudin, mengantarnya kembali ke Syiraz dengan penuh penghormatan.(islampos)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.