Saat itu tanggal 25 September 1997, seperti biasa, Khalid Misy’al berangkat menuju kantornya di Syamiyah Pusat, Amman. Seperti rutinnya, pengamanan untuk salah satu aktivis Hamas ini tidak istimewa, hanya dua pengawal yang menemani.
Namun, tidak seperti hari-hari sebelumnya, Khalid melihat ada yang tidak beres di perjalanan menuju kantornya waktu itu.
Ia amati ada sebuah mobil yang terus mengikutinya, sejak ia meninggalkan rumah. Biasanya, kalau ada hal-hal yang mencurigakan Khalid akan memberitahu pengawalnya, namun kali ini tidak.
Sebelum mobil sampai di kantor, mobil yang sejak lama menguntit segera mendahului. Lalu keluarlah dua laki-laki berwajah asing dengan kacamata hitam. Mereka mendekati mobil dimana Khalid masih berada di dalamnya.
Kewaspadaan laki-laki yang pernah mendalami fisika di Universitas Kuwait ini semakin tinggi tatkala melihat wajah mereka berdua tampak gelisah.
Ia memilih keluar dengan perlahan-lahan ke arah belakang mobil untuk menghindari mereka. Benar apa yang telah diperkirakan sebelumnya, dua orang itu tiba-tiba melakukan penyerangan dan sempat menyuntikkan racun berbahaya ke telinganya.
Mereka kabur dengan anggapan bahwa operasi telah sukses, tanpa menyadari bahwa Abu Saif, pengawal Khalid yang menaiki mobil lain mengejar mereka. Namun, kedua pria asing itu berhasil memasuki mobil yang telah menunggunya di lokasi yang berjarak 300 meter dari tempat kejadian perkara (TKP), di dekat restoran At Tsarawat.
Abu Saif, tidak melepaskan sasarannya begitu saja. “Naluri perburuan” pengawal yang satu ini sangat baik. Ia berhasil mencegat mobil yang melintas pertama kali, dan meminta sopirnya membantu melakukan pengejaran. Ia terus mengikuti mobil musuh hingga di jalan-jalan pemukiman.
Rupanya, yang diikuti tidak menyadari hal itu. Di jalan Madinah Munawwarah, kedua orang yang diburu itu keluar menuju mobil lainnya yang telah menunggu mereka. Saat itulah Abu Saif muncul, dan pergulatan terjadi.
Agen Mossad lainnya yang berada di mobil sontak kabur bersama mobil mereka, ditengarai mereka mencari perlindungan di Kedutaan Israel yang hanya berjarak 1 kilometer dari TKP.
Kini hanya tinggal dua agen. Mereka menghadapai Abu Saif tanpa menggunakan senjata api, namun salah satu dari mereka menggunakan pisau, dan berhasil melukainya.
Orang-orang yang ada di sekitar tempat itu berkumpul, setelah melihat ada keributan. Abu Saif mengatakan bahwa ia sedang berkelahi dengan anggota Mossad yang hendak membunuh Khalid.
Mereka kemudian ikut membantu. Akhirnya, nasib kedua agen mirip pelaku kriminal jalanan yang tertangkap massa. Bertepatan pula, seorang perwira Tentara Pembebasan Palestina (PLA) ada di lokasi. Dialah yang membawa kedua pelaku ke kantor polisi di Wadi Seir. Abu Saif menjelaskan apa yang telah terjadi kepada aparat.
Kemudian ia segera menghubungi Khalid bahwa kedua agen Mossad itu telah tertangkap. Saat itu, Khalid mengamankan diri di kantor Biro Politik. Tak lama kemudian pihak Hamas menyiarkan peristiwa itu ke Agence France Press (AFP).
Pihak intelijen Yordania awalnya menyangkal berita, bahkan Menteri Informasi menyebutkan bahwa kejadian itu adalah keributan kecil antara Khalid dan beberapa turis Kanada.
Menteri Informasi Yordania menyebut agen Mossad itu sebagai turis dari Kanada, karena, memang, seperti diceritakan oleh mantan Direktur Mossad Danny Yatom, beberapa agen mossad yang ditugasi untuk membunuh Misy’al itu menggunakan paspor palsu Kanada.
Dan, parahnya lagi, meski menggunakan paspor (palsu) Kanada, tapi mereka tidak mahir berbahasa Inggris. Kata Yatom, ini sebuah kebodohan yang paling tolol. (baca: Mossad Gagal Habisi Pemimpin Hamas Khalid Misy’al/salam-online/26 Muharram 1434/10 Desember 2012).
Namun, otoritas Yordania akhirnya mengakui bahwa yang tertangkap adalah agen Mossad. Khalid Misy’al pun memperoleh perawatan khusus atas instruksi langsung dari Raja Husein.
Israel Menanggung Malu Misi Pembunuhan yang berantakan itu. Netanyahu sendiri menginginkan operasi itu tenang, tanpa ada ledakan peluru maupun bom karena terikat perjanjian Wadi Arab tahun 1994.
Karena sudah terbuka kedoknya, Israel terpaksa mengirimkan obat penawar racun. Khalid mampu melewati masa kritisnya setelah tiga hari tidak sadarkan diri.Raja Husein memainkan perannya. Ia terus menekan Israel hingga terjadi pengepungan terhadap Kedutaan Israel oleh Militer Yordania. Sebab, dianggap menyembunyikan agen lainnya.
Netanyahu bersama penjahat perang Ariel Sharon pun mengunjungi Yordania dengan maksud meminta maaf. Namun, Raja Husein enggan menemui mereka. Ia hanya mengutus Putra Mahkota Hasan untuk menerima mereka.
Tekanan terus berlanjut, hingga sampai pada tuntutan pembebasan pendiri dan pemimpin Hamas Syaikh Ahmad Yasin dari penjara Israel yang hendak menahannya seumur hidup, yang kemudian ditukar dengan kedua agen yang telah tertangkap tadi.
Saat Raja Husein mengunjungi Khalid yang masih terbaring di rumah sakit Husein Medical City, Khalid bertanya mengenai Syaikh Ahmad Yasin. Raja Husein mengatakan bahwa Syaikh Yasin akan datang pada malam itu juga.
Benar, setengah jam kemudian, tepatnya pada pukul 02:00 Khalid melihat sebuah helikopter dengan Syaikh Ahmad Yasin di atas kursi roda di dalamnya. Beliau tinggal di Yordania selama sepekan hingga proses pertukaran dengan dua anggota Mossad yang tertangkap dilakukan.
Setelah itu, Syaikh Yasin diterbangkan ke Gaza. Operasi pembunuhan yang dianggap bisa melemahkan Hamas ini telah berbalik menjadi serangan tanpa ampun terhadap Israel.
Pasca peristiwa itu, nama Hamas semakin berkibar, sebagaimana digambarkan Paul McGeough, seorang jurnalis Australia dalam bukunya, ”Kill Khalid”. Sedangkan mental Israel sendiri jatuh, bagaikan negara yang “kalah perang”.
Pada Selasa, 24 Februari 1998, akibat kegagalan operasi Mossad itu, Danny Yatom menghadap PM Netanyahu, untuk menyampaikan pengunduran dirinya dari jabatan sebagai Direktur Mossad. (hidayatullah.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.