BOLEH jadi, jika tidak terjun ke politik, Erdogan akan menjadi pemain bola profesional yang akan bermain di klub-klub raksasa dunia seperti Real Madrid atau Barcelona.
“Kami adalah pelayan kalian. Maka, jika ada yang kalian kehendaki demi kebaikan rakyat dan negara kita, jangan sungkan-sungkan untuk kalian sampaikan,” ujar Erdogan suatu ketika saat menyambangi rakyatnya di Desa Onya, sebuah desa terpencil yang masuk kawasan Propinsi Ordu, wilayah pesisir Laut Hitam. Warga yang kebanyakan petani miskin itu histeris gembira dan berhamburan ke arah Erdogan. Mereka berebut menyalami dan memeluknya.
Karakter yang melekat dari sosok pria kelahiran Istanbul, 26 Februari 1954 ini adalah sederhana dan bersahaja. Ayah Erdogan, yang bekerja sebagai penjaga pantai di Angkatan Laut adalah seorang aktivis Islam yang relijius.
Syeikh “Beckenbauer” dari Istanbul
Sejak muda, Erdogan dikenal pandai bermain sepak bola. Ia bahkan pernah bergabung dengan klub sepak bola semi profesional. Ketika kesempatan untuk bergabung dengan liga professional terbuka, ayahnya melarangnya, dengan alasan banyak tugas yang lebih penting dalam hidup daripada sekadar bercengkrama dengan “si kulit bundar.”
Tak heran jika ia dijuluki sebagai Syeikh “Beckenbauer”. Gelar Syeikh berasal dari gurunya yang sering memberi kepercayaan kepadanya untuk mengajar atau menjadi imam. Adapun gelar “Beckenbauer” merujuk pada Franz Beckenbauer, legenda sepak bola asal Jerman.
Mencatat Sejarah Turki Modern
Setelah tamat dari sekolah menengah Islam, Erdogan melanjutkan kuliah di Universitas Marmara, Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Pada 4 Juli 1978, ia menikah dengan seorang Muslimah bernama Emine Gulbaran, aktivis muda politik kelahiran 1955 di Siirt.
Pada 27 Maret 1994, Erdogan terpilih menjadi walikota sekaligus Presiden Dewan Metropolitan Istanbul Raya, setelah partainya, Partai Refah (Partai Kesejahteraan) menang pada pemilu lokal. Saat menjabat walikota, Erdogan melarang segala praktek prostitusi dan minuman keras. Tapi itu tak menyurutkan popularitas Erdogan. Dalam sebuah jajak pendapat, ia terpilih sebagai walikota terfavorit dari 200 walikota di Turki.
Namun, kemudian Partai Refah dibubarkan oleh Dewan Nasional karena dianggap berseberangan dengan ideologi negara sekular yang dianut Turki. Pada Agustus 2001, Erdogan mendeklarasikan partai baru bernama Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkinma Partisi) atau biasa disingkat AKP.
Pada pemilu 2000, AKP meraup 46, 7 persen suara, sebuah angka fantastis yang belum pernah diraih oleh partai manapun dalam sejarah Republik Turki modern. Angka ini sukses mendudukkan para kader AKP di atas 340 kursi dari total 550 kursi parlemen.
Dalam kemenangan itulah, Erdogan dan partainya mengajukan proposal RUU Paket Demokrasi, yang antara lain berisi: undang-undang yang membolehkan jilbab di sekolah, kampus, dan kantor-kantor pemerintah. Ini adalah sebuah perubahan fenomenal mengingat sejak berdirinya Republik Turki, jilbab dilarang di tempat-tempat publik. Karena pelarangan jilbab itulah, Erdogan terpaksa menyekolahkan putri-putrinya ke Amerika dan Eropa.
Kini, jilbab tak lagi menjadi pemandangan aneh di Turki. Jika kita berkunjung ke Istanbul, misalnya, mayoritas kaum Muslimah yang tampak di jalan pun berjilbab. Apalagi mereka mendapat contoh dari istri Presiden Turki Abdullah Gul dan istri Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan, yang juga berjilbab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.