“Ada orang yang bertanya kepada Syuraih, ‘Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini?.’ Dia menjawab, ‘Dengan bermudzakarah bersama para ulama; Aku mengambil dari mereka dan mereka mengambil dariku” (Sufyan al-Ausi)
Amirul mu’minin, Umar bin Al-Khaththab membeli seekor kuda dari seorang laki-laki Badui, dan membayar kontan harganya, kemudian menaiki kudanya dan pergi. Akan tetapi belum jauh mengendarai kuda, beliau menemukan luka pada kuda itu yang membuatnya terganggu ketika berpacu, maka beliau segera kembali ke tempat dimana beliau berangkat, lalu berkata kepada orang Badui tersebut, “Ambillah kudamu, karena ia terluka.”
Maka orang itu menjawab, “Aku tidak akan mengambilnya -wahai Amirul mu’minin- karena aku telah menjualnya kepada anda dalam keadaan sehat tanpa cacat sedikitpun.”Lalu Umar berkata, “Tunjuklah seorang hakim yang akan memutus antaramu dan aku.”Lalu orang itu berkata, “Yang akan menghakimi di antara kita adalah Syuraih bin al-Harits al-Kindi.”Lalu Umar berkata, “Baiklah, aku setuju.”
Amirul mu’minin Umar bin al-Khathab dan pemilik kuda pun menyerahkan perkaranya kepada Syuraih. Ketika Syuraih mendengar perkataan orang Badui, dia menengok ke arah Umar bin al-Khaththab dan berkata,“Apakah engkau menerima kuda dalam keadaan tanpa cacat, wahai Amirul mu’minin?.”“Ya.” Jawab ‘Umar Syuraih berkata, “Simpanlah apa yang anda beli- wahai Amirul mu’minin- atau kembalikanlah sebagaimana anda menerima.”
Maka Umar melihat kepada Syuraih dengan pandangan kagum dan berkata, “Beginilah seharusnya putusan itu; ucapan yang pasti dan keputusan yang adil. Pergilah anda ke Kufah, aku telah mengangkatmu sebagai hakim (Qadli) di sana.”
Pada saat diangkat sebagai hakim, Syuraih bin al-Harits bukanlah seorang yang tidak dikenal oleh masyarakat Madinah atau seorang yang kedudukannya tidak terdeteksi oleh ulama dan Ahli Ra’yi dari kalangan para pembesar Sahabat dan Tabi’in.
Orang-orang besar dan generasi dahulu, telah mengetahui kecerdasan dan kecerdikan Syuraih yang sangat tajam, akhlaknya yang mulia dan pengalaman hidupnya yang lama dan mendalam.
Dia adalah seorang berkebangsaan Yaman dan keturunan Kindah, mengalami hidup yang tidak sebentar pada masa Jahiliyah.
Ketika jazirah Arab telah bersinar dengan cahaya hidayah, dan sinar Islam telah menembus bumi Yaman, Syuraih termasuk orang-orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta menyambut dakwah hidayah dan kebenaran. Waktu itu mereka telah mengetahui keutamaannya dan mengakui akhlak dan keistimewaannya.
Mereka sangat menyayangkan dan bercita-cita andaikata dia ditakdirkan untuk datang ke Madinah lebih awal sehingga bertemu Rasulullah sebelum beliau kembali kepada Tuhannya, dan mentransfer ilmu beliau yang jernih bersih secara langsung, bukan melalui perantara dan supaya beruntung mendapatkan predikat “sahabat” setelah mengenyam nikmatnya iman. Dengan begitu, dia akan dapat menghimpun segala kebaikan. Akan tetapi dia sudah ditakdirkan untuk tidak bertemu dengan Rasulullah.
Umar al-Faruq radliyallâhu ‘anhu tidaklah tergesa-gesa, ketika menempatkan seorang Tabi’in pada posisi besar di peradilan, sekalipun pada waktu itu langit-langit Islam masih bersinar-sinar dengan bintang-bintang sahabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Waktu telah membuktikan kebenaran firasat Umar dan ketepatan tindakannya dimana Syuraih menjabat sebagai hakim di tengah kaum muslimin sekitar enam puluh tahun berturut-turut tanpa putus.
Pengakuan terhadap kapasitasnya dalam jabatan ini dilakukan secara silih berganti sejak dari pemerintahan Umar, Utsman, Ali hingga Muawiyah radliyallâhu ‘anhum.
Begitu pula dia diakui oleh para khalifah Bani Umayyah pasca Muawiyah, hingga akhirnya pada zaman pemerintahan al-Hajjaj dia meminta dirinya dibebaskan dari jabatan tersebut.
Dan pada waktu itu dia telah berumur seratus tujuh tahun, dimana hidupnya diisi dengan segala keagungan dan kebesaran.
Sejarah Peradilan Islam telah bergelimang dengan sikap Syuraih yang menawan dan berkibar dengan ketundukan kalangan elit dan awam kaum Muslimin terhadap syari’at Allah yang ditegakkan Syuraih dan penerimaan mereka terhadap hukum-hukum-Nya. Buku-buku induk penuh dengan keunikan, berita, perkataan dan tindakan tokoh langka satu ini.
Di antara contohnya adalah, bahwa suatu hari Ali bin Abi Thalib kehilangan baju besinya yang sangat disukainya dan amat berharga baginya. Tidak lama dari itu, dia menemukannya berada di tangan orang kafir dzimmi. Orang itu sedang menjualnya di pasar Kufah. Ketika beliau melihatnya, beliau mengetahui dan berkata, “Ini adalah baju besiku yang jatuh dari ontaku pada malam anu, i tempat anu.”
Lalu kafir Dzimmi itu berkata, “Ini adalah baju besiku dan sekarang ada di tanganku, wahai Amirul mu’minin.”Lalu Ali berkata,“Itu adalah baju besiku, aku belum pernah menjualnya atau memberikannya kepada siapapun, hingga kemudian bisa jadi milik kamu.”
Lalu orang kafir itu berkata, “Mari kita putuskan melalui seorang Hakim kaum Muslimin. ”Lalu Ali berkata, “Kamu benar, mari kita ke sana. ”Kemudian keduanya pergi menemui Syuraih al-Qadli, dan ketika keduanya telah berada di tempat persidangan, Syuraih berkata kepada Ali, “Ada apa wahai Amirul mu’minin?.”
Lalu Ali menjawab, “Aku telah menemukan baju besiku di bawa orang ini, baju besi itu telah terjatuh dariku pada malam anu dan di tempat anu. Kini ia telah berada di tangannya tanpa melalui jual beli ataupun hibah.”
Lalu Syuraih berkata kepada orang kafir itu, “Dan apa jawabmu, wahai orang laki-laki?.”
Lalu dia menjawab, “Baju besi ini adalah milikku dan ia ada di tanganku tapi aku tidak menuduh Amirul mu’minin berdusta. ”Maka Syuraih menoleh ke arah Ali dan berkata, “Aku tidak meragukan bahwa anda adalah orang yang jujur dalam perkataanmu, wahai Amirul mu’minin, dan bahwa baju besi itu adalah milikmu, akan tetapi anda harus mendatangkan dua orang saksi yang akan bersaksi atas kebenaran apa yang anda klaim tersebut.”
Lalu Ali berkata, “Baiklah! Budakku Qanbar dan anakku al-Hasan akan bersaksi untukku.”
Maka Syuraih berkata,“Akan tetapi kesaksian anak untuk ayahnya tidak boleh, wahai Amirul mu’minin.”
Lalu Ali berkata, “Ya Subhanallah!! Orang dari ahli surga tidak diterima kesaksiannya!! Apakah anda tidak mendengar bahwasanya Rasulullah bersabda, “al-Hasan dan al-Husain adalah dua pemuda ahli surga.”
Lalu Syuraih berkata, “Benar wahai Amirul mu’minin! namun aku tidak menerima kesaksian anak untuk ayahnya.”Setelah itu Ali menoleh ke arah orang kafir itu dan berkata,“Ambillah, karena aku tidak mempunyai saksi selain keduanya.”Maka kafir Dzimmi itu berkata,“Akan tetapi aku bersaksi bahwa baju besi itu adalah milikmu, wahai Amirul mu’minin.”
Kemudian dia meneruskan perkataannya, “Ya Allah! Kok ada Amirul mu’minin menggugatku di hadapan hakim yang diangkatnya sendiri, namun hakimnya malah memenangkan perkaraku terhadapnya!! Aku bersaksi bahwa agama yang menyuruh ini pastilah agama yang haq. Dan aku bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Hamba dan utusan Allah.”
Ketahuilah wahai Qadli, bahwa baju besi ini adalah benar milik Amirul mu’minin. Aku mengikuti tentara yang sedang berangkat ke Shiffin (Suatu daerah di Siria, di sana terjadi peperangan besar antara Ali dan Muawiyah ) lalu menemukan baju besi terjatuh dari onta berwarna abu-abu, lalu memungutnya.”
Maka Ali berkata kepadanya, “Karena engkau telah masuk Islam, maka aku menghibahkannya kepadamu, dan aku memberimu juga seekor kuda.”
Dan belum lama dari kejadian ini, orang kafir itu ternyata ditemukan mati syahid saat ikut berperang melawan orang-orang Khawarij di bawah bendera Ali, pada perang Nahrawan. Orang itu amat bersemangat dalam berperang hingga dia mati syahid.”
Di antara sikap menawan yang ditunjukkan juga oleh Syuraih adalah bahwa pernah suatu hari, putranya berkata kepadanya, “Wahai ayahku, sesungguhnya antara aku dan kaum kita ada perselisihan, maka telitilah perkaranya; jika kebenaran ada di pihakku, aku akan menggugat mereka ke pengadilan dan jika kebenaran ada di pihak mereka, aku akan mengajak mereka berdamai.” Kemudian sang putra menuturkan kisahnya kepada ayahnya.
Amirul mu’minin, Umar bin Al-Khaththab membeli seekor kuda dari seorang laki-laki Badui, dan membayar kontan harganya, kemudian menaiki kudanya dan pergi. Akan tetapi belum jauh mengendarai kuda, beliau menemukan luka pada kuda itu yang membuatnya terganggu ketika berpacu, maka beliau segera kembali ke tempat dimana beliau berangkat, lalu berkata kepada orang Badui tersebut, “Ambillah kudamu, karena ia terluka.”
Maka orang itu menjawab, “Aku tidak akan mengambilnya -wahai Amirul mu’minin- karena aku telah menjualnya kepada anda dalam keadaan sehat tanpa cacat sedikitpun.”Lalu Umar berkata, “Tunjuklah seorang hakim yang akan memutus antaramu dan aku.”Lalu orang itu berkata, “Yang akan menghakimi di antara kita adalah Syuraih bin al-Harits al-Kindi.”Lalu Umar berkata, “Baiklah, aku setuju.”
Amirul mu’minin Umar bin al-Khathab dan pemilik kuda pun menyerahkan perkaranya kepada Syuraih. Ketika Syuraih mendengar perkataan orang Badui, dia menengok ke arah Umar bin al-Khaththab dan berkata,“Apakah engkau menerima kuda dalam keadaan tanpa cacat, wahai Amirul mu’minin?.”“Ya.” Jawab ‘Umar Syuraih berkata, “Simpanlah apa yang anda beli- wahai Amirul mu’minin- atau kembalikanlah sebagaimana anda menerima.”
Maka Umar melihat kepada Syuraih dengan pandangan kagum dan berkata, “Beginilah seharusnya putusan itu; ucapan yang pasti dan keputusan yang adil. Pergilah anda ke Kufah, aku telah mengangkatmu sebagai hakim (Qadli) di sana.”
Pada saat diangkat sebagai hakim, Syuraih bin al-Harits bukanlah seorang yang tidak dikenal oleh masyarakat Madinah atau seorang yang kedudukannya tidak terdeteksi oleh ulama dan Ahli Ra’yi dari kalangan para pembesar Sahabat dan Tabi’in.
Orang-orang besar dan generasi dahulu, telah mengetahui kecerdasan dan kecerdikan Syuraih yang sangat tajam, akhlaknya yang mulia dan pengalaman hidupnya yang lama dan mendalam.
Dia adalah seorang berkebangsaan Yaman dan keturunan Kindah, mengalami hidup yang tidak sebentar pada masa Jahiliyah.
Ketika jazirah Arab telah bersinar dengan cahaya hidayah, dan sinar Islam telah menembus bumi Yaman, Syuraih termasuk orang-orang pertama yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta menyambut dakwah hidayah dan kebenaran. Waktu itu mereka telah mengetahui keutamaannya dan mengakui akhlak dan keistimewaannya.
Mereka sangat menyayangkan dan bercita-cita andaikata dia ditakdirkan untuk datang ke Madinah lebih awal sehingga bertemu Rasulullah sebelum beliau kembali kepada Tuhannya, dan mentransfer ilmu beliau yang jernih bersih secara langsung, bukan melalui perantara dan supaya beruntung mendapatkan predikat “sahabat” setelah mengenyam nikmatnya iman. Dengan begitu, dia akan dapat menghimpun segala kebaikan. Akan tetapi dia sudah ditakdirkan untuk tidak bertemu dengan Rasulullah.
Umar al-Faruq radliyallâhu ‘anhu tidaklah tergesa-gesa, ketika menempatkan seorang Tabi’in pada posisi besar di peradilan, sekalipun pada waktu itu langit-langit Islam masih bersinar-sinar dengan bintang-bintang sahabat Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Waktu telah membuktikan kebenaran firasat Umar dan ketepatan tindakannya dimana Syuraih menjabat sebagai hakim di tengah kaum muslimin sekitar enam puluh tahun berturut-turut tanpa putus.
Pengakuan terhadap kapasitasnya dalam jabatan ini dilakukan secara silih berganti sejak dari pemerintahan Umar, Utsman, Ali hingga Muawiyah radliyallâhu ‘anhum.
Begitu pula dia diakui oleh para khalifah Bani Umayyah pasca Muawiyah, hingga akhirnya pada zaman pemerintahan al-Hajjaj dia meminta dirinya dibebaskan dari jabatan tersebut.
Dan pada waktu itu dia telah berumur seratus tujuh tahun, dimana hidupnya diisi dengan segala keagungan dan kebesaran.
Sejarah Peradilan Islam telah bergelimang dengan sikap Syuraih yang menawan dan berkibar dengan ketundukan kalangan elit dan awam kaum Muslimin terhadap syari’at Allah yang ditegakkan Syuraih dan penerimaan mereka terhadap hukum-hukum-Nya. Buku-buku induk penuh dengan keunikan, berita, perkataan dan tindakan tokoh langka satu ini.
Di antara contohnya adalah, bahwa suatu hari Ali bin Abi Thalib kehilangan baju besinya yang sangat disukainya dan amat berharga baginya. Tidak lama dari itu, dia menemukannya berada di tangan orang kafir dzimmi. Orang itu sedang menjualnya di pasar Kufah. Ketika beliau melihatnya, beliau mengetahui dan berkata, “Ini adalah baju besiku yang jatuh dari ontaku pada malam anu, i tempat anu.”
Lalu kafir Dzimmi itu berkata, “Ini adalah baju besiku dan sekarang ada di tanganku, wahai Amirul mu’minin.”Lalu Ali berkata,“Itu adalah baju besiku, aku belum pernah menjualnya atau memberikannya kepada siapapun, hingga kemudian bisa jadi milik kamu.”
Lalu orang kafir itu berkata, “Mari kita putuskan melalui seorang Hakim kaum Muslimin. ”Lalu Ali berkata, “Kamu benar, mari kita ke sana. ”Kemudian keduanya pergi menemui Syuraih al-Qadli, dan ketika keduanya telah berada di tempat persidangan, Syuraih berkata kepada Ali, “Ada apa wahai Amirul mu’minin?.”
Lalu Ali menjawab, “Aku telah menemukan baju besiku di bawa orang ini, baju besi itu telah terjatuh dariku pada malam anu dan di tempat anu. Kini ia telah berada di tangannya tanpa melalui jual beli ataupun hibah.”
Lalu Syuraih berkata kepada orang kafir itu, “Dan apa jawabmu, wahai orang laki-laki?.”
Lalu dia menjawab, “Baju besi ini adalah milikku dan ia ada di tanganku tapi aku tidak menuduh Amirul mu’minin berdusta. ”Maka Syuraih menoleh ke arah Ali dan berkata, “Aku tidak meragukan bahwa anda adalah orang yang jujur dalam perkataanmu, wahai Amirul mu’minin, dan bahwa baju besi itu adalah milikmu, akan tetapi anda harus mendatangkan dua orang saksi yang akan bersaksi atas kebenaran apa yang anda klaim tersebut.”
Lalu Ali berkata, “Baiklah! Budakku Qanbar dan anakku al-Hasan akan bersaksi untukku.”
Maka Syuraih berkata,“Akan tetapi kesaksian anak untuk ayahnya tidak boleh, wahai Amirul mu’minin.”
Lalu Ali berkata, “Ya Subhanallah!! Orang dari ahli surga tidak diterima kesaksiannya!! Apakah anda tidak mendengar bahwasanya Rasulullah bersabda, “al-Hasan dan al-Husain adalah dua pemuda ahli surga.”
Lalu Syuraih berkata, “Benar wahai Amirul mu’minin! namun aku tidak menerima kesaksian anak untuk ayahnya.”Setelah itu Ali menoleh ke arah orang kafir itu dan berkata,“Ambillah, karena aku tidak mempunyai saksi selain keduanya.”Maka kafir Dzimmi itu berkata,“Akan tetapi aku bersaksi bahwa baju besi itu adalah milikmu, wahai Amirul mu’minin.”
Kemudian dia meneruskan perkataannya, “Ya Allah! Kok ada Amirul mu’minin menggugatku di hadapan hakim yang diangkatnya sendiri, namun hakimnya malah memenangkan perkaraku terhadapnya!! Aku bersaksi bahwa agama yang menyuruh ini pastilah agama yang haq. Dan aku bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Hamba dan utusan Allah.”
Ketahuilah wahai Qadli, bahwa baju besi ini adalah benar milik Amirul mu’minin. Aku mengikuti tentara yang sedang berangkat ke Shiffin (Suatu daerah di Siria, di sana terjadi peperangan besar antara Ali dan Muawiyah ) lalu menemukan baju besi terjatuh dari onta berwarna abu-abu, lalu memungutnya.”
Maka Ali berkata kepadanya, “Karena engkau telah masuk Islam, maka aku menghibahkannya kepadamu, dan aku memberimu juga seekor kuda.”
Dan belum lama dari kejadian ini, orang kafir itu ternyata ditemukan mati syahid saat ikut berperang melawan orang-orang Khawarij di bawah bendera Ali, pada perang Nahrawan. Orang itu amat bersemangat dalam berperang hingga dia mati syahid.”
Di antara sikap menawan yang ditunjukkan juga oleh Syuraih adalah bahwa pernah suatu hari, putranya berkata kepadanya, “Wahai ayahku, sesungguhnya antara aku dan kaum kita ada perselisihan, maka telitilah perkaranya; jika kebenaran ada di pihakku, aku akan menggugat mereka ke pengadilan dan jika kebenaran ada di pihak mereka, aku akan mengajak mereka berdamai.” Kemudian sang putra menuturkan kisahnya kepada ayahnya.
Lalu ayahnya berkata kepadanya, “Kalau begitu, pergilah dan ajukan mereka ke pengadilan.”
Lalu putranya menemui lawannya dan mengajak mereka memperkarakannya ke pengadilan. Mereka pun menyetujuinya.
Dan ketika mereka telah berada di hadapan Syuraih, Syuraih memenangkan perkara mereka terhadap putranya.
Ketika syuraih dan putranya telah pulang ke rumah, sang putra berkata kepada ayahnya, “Engkau telah mempermalukanku, wahai ayahku!” Demi Allah seandainya aku tidak mengkonsultasikannya terlebih dahulu kepadamu, tentu aku tidak akan mengecammu seperti ini.” Maka syuraih berkata, “Wahai anakku, Sungguh engkau memang lebih aku cintai daripada bumi dan seisinya, akan tetapi Allah ‘Azza wa Jalla lebih Mulia dan berharga bagiku daripada dirimu. Bila aku beritahukan kepadamu bahwa kebenaran berada di pihak mereka, aku khawatir engkau akan mengajak mereka berdamai dimana hal ini akan menghilangkan sebagian hak mereka.
Karenanya, aku mengatakan kepadamu seperti itu tadi.”
Pernah terjadi bahwa anak Syuraih menjadi jaminan seseorang, dan Syuraih menerimanya, ternyata orang itu kabur dari pengadilan. Maka Syuraih memenjarakan anaknya sebagai ganti jaminan orang yang kabur itu.
Akhirinya, Syuraih sendiri yang mengirimi makanannya setiap hari ke penjara.
Terkadang, Syuraih meragukan sebagian saksi. Namun dia tidak mendapatkan jalan untuk menolak kesaksiannya, karena syarat keadilan telah mencukupi mereka, maka dia berkata kepada mereka sebelum mereka menyatakan kesaksiannya,
“Dengarkanlah aku -mudah-mudahan Allah memberi petunjuk kepada anda semua- Sesungguhnya yang menghakimi orang ini adalah kalian sendiri. Dan sesungguhnya aku hanya menjaga diri dari api neraka melalui kalian. Karena itu, bila kalian sendiri yang berlindung darinya adalah lebih utama lagi.”
Sekarang memungkinkan bagi kalian untuk tidak memberikan kesaksian dan berlalu.
Jika mereka bersikeras untuk bersaksi, Syuraih menoleh kepada orang yang mereka bersaksi untuknya, seraya berkata,
“Ketahuilah, wahai tuan, sesungguhnya aku mengadili anda melalui kesaksian mereka. Dan sesungguhnya aku melihat anda adalah orang yang dzalim. Akan tetapi aku tidak boleh memberikan putusan berdasarkan sangkaan, tetapi berdasarkan kesaksian para saksi. Dan sesungguhnya keputusanku, tidak menghalalkan sama sekali apa yang diharamkan Allah terhadapmu.”
Dan ungkapan yang sering diulang-ulang oleh Syuraih di ruang sidangnya adalah perkataannya,
“Besok orang dzalim akan mengetahui siapa yang rugi. Sesungguhnya orang yang dzalim sedang menunggu siksa. Sedangkan orang yang teraniaya menunggu keadilan. Dan sesungguhnya aku bersumpah kepada Allah, bahwa tidak ada seorangpun yang meninggalkan sesuatu karena Allah Azza wa Jalla, kemudian dia merasa kehilangannya.”
Syuraih bukan hanya sebagai penasehat karena Allah, Rasul-Nya dan Kitab-Nya saja, akan tetapi dia juga penasehat untuk kalangan awam dan kalangan khusus kaum muslimin semua.
Salah seorang dari mereka meriwayatkan, “Syuraih memperdengarkan kepadaku suatu ucapan saat aku mengadukan sebagian sesuatu yang meresahkanku karena ulah seorang kawanku.
Lantas Syuraih memegang tanganku dan menarikku ke pinggir seraya berkata,
“Wahai anak saudaraku, janganlah kamu mengadu kepada selain Allah Azza wa Jalla. Karena sesungguhnya orang yang kamu mengadu kepadanya, bisa jadi dia adalah kawanmu atau musuhmu. Kalau dia kawan, berarti kamu akan membuatnya bersedih. Dan kalau dia musuh, maka kamu akan ditertawakannya.”
Kemudian dia berkata,
“Lihatlah mataku ini- dan dia menunjuk ke salah satu matanya- Demi Allah, aku tidak bisa melihat seseorang dan jalan karenanya sejak lima belas tahun lalu. Sekalipun demikian, aku tidak ceritakan kepada siapapun mengenainya, kecuali kepadamu sekarang ini. Tidakkah kamu mendengar ucapan seorang hamba yang shaleh (yakni Nabi Ya’qub ‘alaihi salam), ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku.’(Yusuf:86). Maka jadikanlah Allah Azza wa Jalla sebagai tempat mengadu dan melampiaskan kesedihanmu setiap kali musibah menimpamu. Karena Dia adalah Dzat Yang paling Dermawan dan Yang paling dekat untuk diseru.”
Pada suatu hari, dia melihat ada seseorang sedang meminta sesuatu kepada orang lain, lalu dia berkata kepadanya,
“Wahai anak saudaraku, siapa yang memohon hajat kepada manusia, maka dia telah menjerumuskan dirinya ke dalam perbudakan. Jika orang yang diminta itu memberinya, maka dia telah menjadikannya budak karena pemberian itu.
Dan jika orang itu tidak memberinya, maka keduanya akan kembali dengan kehinaa. Yang satu, hina karena bakhil sedangkan yang satu lagi hina karena ditolak.Maka jika kamu meminta, mintalah kepada Allah, dan jika kamu memohon pertolongan, memohonlah pertolongan kepada Allah.
Dan ketahuilah, bahwa tidak ada upaya, kekuatan dan pertolongan kecuali dengan Allah.
Saat suatu ketika, di Kufah telah mewabah penyakit Tha’un, lalu salah seorang sahabat Syuraih kabur dari sana menuju ke Najef untuk menyelamatkan diri dari penyakit tersebut, maka Syuraih mengirim surat kepadanya,
“Amma ba’du, Sesungguhnya daerah yang kamu tinggalkan tidak mendekatkan kematianmu dan tidak juga merampas hari-harimu.Dan sesungguhnya daerah yang kamu pindah ke sana adalah berada dalam genggaman Dzat Yang tidak bisa dikalahkan dengan usaha dan tidak akan luput pelarian itu dari-Nya.
Dan sesungguhnya kami dan kamu juga berada di atas hamparan Raja Yang Satu.Dan sesungguhnya Najef adalah sangat dekat dari Dzat Yang Maha Kuasa.”Di samping hal itu semua, Syuraih juga seorang penyair, mudah dicerna, manis penyampaiannya dan tema-temanya begitu memikat.
Menurut suatu riwayat, dia mempunyai seorang anak berumur sekitar sepuluh tahun, dan anak itu lebih suka meghabiskan waktu untuk bermain dan berhura-hura.Pada suatu hari dia kehilangan anak itu, dan ternyata anak itu tidak masuk sekolah dan menggunakan wakut tersebut untuk melihat anjing-anjing.
Dan ketika anak itu pulang, dia bertanya kepadanya, Apakah kamu sudah shalat?Maka anak itu menjawab, Belum. Lalu Syuraih meminta kertas dan pena, lalu menulis surat kepada guru anak itu dalam untain berikut:
Anak ini meninggalkan shalat karena mencari anjing-anjing Mengincar kejelekan bersama anak-anak nakal
Sungguh dia akan menemuimu besok membawa secarik lembaran
Dituliskan untuknya seperti lembaran pemohon (minta dieksekusi)
Jika dia datang kepadamu, maka obatilah dengan celaan
Atau nasehati dengan nasehat orang bijak lagi cerdik
Jika ingin memukulnya, maka pukullah dengan alat
Jika pukulan telah sampai tiga kali, maka hentikanlah
Ketahuilah bahwa anda tidak akan mendapatkan sepertinya
Apapun yang diperbuatnya, ia adalah jiwa yang paling berharga bagiku
Mudah-mudahan Allah meridhai Umar al-Faruq yang telah menghias wajah peradilan Islam dengan permata yang mulia lagi asli. Mutiara yang putih dan tampak menawan.
Beliau telah memberikan lentera terang kepada kaum muslimin yang hingga sekarang mereka masih mengambil sinar kefiqihannya terhadap syariat Allah.
Berpetunjuk dengan cahaya kefahamannya terhadap Sunnah Rasulullah.
Dan berbangga dengannya terhadap umat-umat lain pada hari kiamat.
Mudah-mudahan Allah merahmati Syuraih aql-Qadhli.
Dia telah menegakkan keadilan di tengah manusia selama enam puluh tahun, tidak pernah berbuat dzalim terhadap siapapun, tidak pernah melenceng dari kebenaran serta tidak pernah membedakan antara raja dan masyarakat biasa.
Sumber :
- Ath-Thabaqat al-Kubra, oleh Ibnu Sa’d, 6/11, 34, 94, 108, 109, 170, 206, 268, dan 7/151, 194, 453 dan 8/ 494,
- Shifat ash-Shafwah, oleh Ibnu Al-Jauzi (cetakan Halb), 3/38.
- Hilyatu al-Auliya, oleh Al-Ashfahani, 4/256-258.
- Tarikh ath-Thabari, oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jilid 4,5,6 (Lihat daftar isi di jilid 10),
- Tarikh Khalifah Ibnu Khayyath, 129, 158, 184, 217, 251, 266, 298, 304.
- Syadzarat adz-Dzahab, 1/85-86.
- Fawat al-Wafayat, 2/167-169.
- Kitab al-Wafayat, oleh Ahmad bin Hasan bin Ali bin Al-Khathib, 80-81.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.