“Anda adalah teroris!” teriak seorang di sudut sana. “Pokoknya anda adalah teroris,! nggak mau tau!.” Yang saya bilang teroris ia harus menjadi teroris. Karena saya berkuasa. Lihat saja! Jutaan mata tertuju pada saya, hebat bukan. Saya berhak berbicara apapun. Anda hanya diam di sana. Pokoknya, kalau saya bilang anda teroris anda harus setuju.
Jika ada yang nggak setuju, anda adalah musuh kami. Kok bisa? Kata Noam Chomksy, Guru besar dari MIT itu mengutip pernyataan G.W. Bush dalam ‘Maling Teriak Maling, Amerika sang Teroris’, “Setiap bangsa di semua kawasan kini harus memutuskan: Apakah Anda bersama kami, atau anda bersama teroris. Sejak hari ini, bangsa manapun yang masih menampung atau mendukung teroisme akan diperlakukan oleh Amerika serikat sebagai rezim musuh
Jadi sekarang pilihannya, anda mau ikut kami atau tidak! Anda mau menjadi kader kami atau tidak. Anda ingin jadi penikmat kami atau tidak. Itu semua pilihan anda! Kalau nggak mau, maka anda kami cap bibit-bibit ‘teroris muda’. Sedangkan kami, di sini sedang melakukan kaderisasi. Kami sebar dengan gencar, masuk lorong-lorong kota. Sudut-sudut desa. Kami sebar dengan jangkauan kami.
Semua mata teruju kepada kami, hingga tiap rumah kami memasukinya. Pagi, siang malam. Begitu hebatnya kami. Kami mendidik kader-kader kami. Kami sebar opini-opini itu. Lihat saja, sekutu kami tersebar di belahan bumi ini. BBC, AFP, Times, dll mungkin bisa jadi kolega kami di luar sana. Di dalam sini masih banyak sekali kolega kami. Lihat saja di layar tabung di dalam rumah-rumah kalian.
Jadi, anda memilih mana? Teroris atau menjadi bagian dari kami. Mungkin anda tak sadar, anda menjadi kader setia kami. Anda perhatikan kami setiap harinya. Opini-opini kami, tersebar begitu meluas. Anda tak perlu datang ke surau-surau di sana. Cukup anda diam di dalam rumah saja. Menekan tombol remote itu. Cukup ikuti, anda menjadikan kader kami.
Jika anda ingin menjadi kader inti kami, pun itu mudah. Anda dukung kami, bahwa kami selalu benar. Saat di Filipina kami menulis ‘AS Mulai perangi Teroris Filipina”. Sekutu-sekutu kami menulis ‘gerombolan’. Atau ‘gerilyawan’. Atau ‘pemberontak’. Tapi, semuanya di belakang kami sisipi tulisan ‘Islam’.
Semua harus sepakat dengan definisi teroris kami. Sejak 11 tahun lalu, sesepuh kami mengumandangkan ‘Perang terhadap Terorisme’. Sejak saat itu, kami harus mengikuti arahan Bos besar di sana. Sebab, sekarang eranya era sana!. Kalau nggak, sudah taulah kalian. Kami bisa di stop kiriman uang segar!
Dulu, kami sempat sukses menjadikan kisah ‘pesantren sarang teroris’. Sekarang, kami harus bertambah. Teroris harus masuk ke sekolah-sekolah. Organisasi di ‘dekat’ Mesjid adalah sarana rekrutmen teroris. Cuman, doakan kami. Kami masih mencari celah, suapaya bisa tanpa sisipan ‘Islam’. Cukup tunggal saja ia sendiri.
Semua kawan-kawan kami mungkin sepakat. Sebab kami mainstream. Kami masih malu-malu. Walau pernah kami sorot buku Ibnu Katsir sebagai barang bukti. Begitu menyenangkan. Selangkah lagi, kami sedang berusaha supa Kitab Suci-nya menjadi barang bukti. Bukti yang begitu manis.
Kami ,memang punya segalanya. Kami semua selalu bersepakat tentang definisi teroris. Lihat saja. Tak pernah kami menulis ‘teroris RMS,’ teroris Papua,’. Sebab menurut definisi kami. Teroris harus mengarah ke sana. Ke sisipan –sisipan itu. Kepada orang yang belajar kitab sucinya dengan baik. Kepada siswa berseragam manis yang berprestasi itu. Pokoknya, saat dia terlihat ‘Islami’ dia harus jadi ‘teroris’
Nggak boleh mereka mengaji ayat-ayat sambil melingkar. Yang boleh hanya kami. Kami saja yang harus melakukan kaderisasi. Kami berikan doktrin kepada calon kader kami bahwa jangan mendekat organisasi ekskul Mesjid, Sebab mereka bisa menjadi baik, benar , dan ramah. Mereka menjadi bermanfaat, mereka masuk PTN favorit, mereka berbuat baik pada sesama.
Itu semua tidak boleh!. Kami tak rela kader-kader kami direbut. Kami doktrin mereka lewat mesin-mesin kami. Pokoknya yang mendekat kepada ‘Islam’ kami berusaha lawan. Kami rekrut pemuda-pemuda dengan budaya-budaya titipan dari Bos kami di sana. Senang sekali, banyak yang terekrut oleh kami.
Kami ajari dengan program bahwa kebebasan adalah segalanya. Bebas! Nggak perlu belajar agama dengan baik, karena mereka itu ‘Teroris’. Semua harus versi kami. Tak pernah kami berteriak ‘teroris zionis Israel’. Atau ‘Teroris dll’ kecuali ia harus berhubungan dengan ‘Islam’. Coba saja cek ‘The Crisis Islam-nya Bernard Lewis , atau Francis Fukuyama dalam Newsweek (2002). ‘Taking The Hard Road-nya Time (2002) malah bilang “Indonesia menghadapi pilihan sulit mengulung kaum ‘ekstrimis’ atau mengundang kemarahan Amerika.”.
Kalau menyerang Negara dengan Full senjata. Itu adalah hak bos kami. Ia bukan teroris. Tapi kalau anda ada yang ‘terduga’. Ia harus dihabisi. Tak tahulah, padahal baru terduga. Kalau mengacak-acak negeri orang atas mencari senjata pemusnah masal, itu tak masalah. Tapi kalau anda masuk Mesjid. Sstt. Hati-hati! Anda bisa-bisa jadi ‘Fundamentalis’ ‘radikalis’ ‘teroris’. Walau, kami sendiri terpaksa harus mengikuti atasan kami.
Untungnya ini zaman sekarang. Sebab, julukan tersebut tersemat pada Bung Tomo, Imam Bonjol, Cut nyak Dien, Jendral Soedirman, dll. Pastinya, cap gerombolan dan gerliyawan tersemat pada mereka oleh para orang-orang Bule itu. Orang yang berjuang membela kemerdekaan itu, tak perlu diajari arti dari nasionalisme, pancasila dan sebagainya sudah berjuang, malah tersemat jargon-jargon demikian,
Jadi, sejarah berulang. Cuman beda masa saja. Sejarah selalu berulang. Bertubi-tubi kami bersama seluruh sekutu berusaha memadamkan ‘’. Huntington dalam Clash of Civilization menjelaskan berhadapan-nya kita dengan meeka. Benar juga kata Prof. Al Attas “This confrontation is by nature a Historcally permanent one”. Pokonya kami yang selalu benar.
Hanya kami yang boleh mengkader dengan tayangan-tayangan kami. Hanya kami yang boleh menentukan anda bersama kami atau tidak. Hanya kami yang berhak memberikan pandangan. Kalau kata Goenawan Mohamad dalam Caping-nya (TEMPO, 27 Januari 2002) bilang ‘Fundamentalisme memang aneh dan keras dan menakutkan: Ia mendasarkan diri pada perbedaan, tetapi pada gilirannya membunuh perbedaan.”
Bisa jadi kami sendiri yang tak sadar. Kami paksakan mereka menjadi kader kami. Kami propagandakan mereka untuk mendekati simpul-simpul kebaikan. Pokoknya, ga boleh kalau yang tak sependapat dengan kami itu yang benar! Walau kami masih mencari celah, supaya kitab suci dan agamanya dengan leluasa kami sebut ‘Teroris’. Bahkan Tuhan-pun kami Teror! Tak boleh ikut campur.. SARA!! Sejatinya, kami baru sadar, ternyata bisa jadi kami yang menjadi Fundamentalis, Radikal, bahkan Teroris itu sendiri… Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.