ANTHONY Vatswaf Galvin Green lahir Dar es Salam, Tanzania. Ibunya seorang Katolik yang taat dan ayahnya seorang agnostik, dan sejak kecil Anthony dididik sebagai seorang Katolik yang taat. Ayahnya seorang administrator kolonilal kerajaan Inggris. Kini, kerajaan yang terbentang begitu luasnya lebih dari sepertiga permukaan bumi itu telah hancur. Satu-satunya yang tersisa adalah beberapa pulau di Falklands. Begitu banyak hal yang berubah, termasuk Antony, bahkan namanya kini berubah menjadi Abdur Raheem Green—setelah ia masuk Islam tentunya.
Oleh ibunya, Anthony kecil adiknya, Duncan disekolahkan di asrama biara. Setiap hari ia hidup bersama para biarawan di Ampleforth College, di Yorkshire, Inggris Utara. Sang ibu menganggap dengan bersekolah di asrama akan membuat Anthony menjadi penganut Katolik yang taat.
“Seharusnya ibu juga menikah dengan seorang Katholik, tapi karena ibu menikah dengan ayah yang agnostik, ia merasa menjadi seorang penganut Katolik yang buruk. Maka, ia ingin menjadikanku seorang Katolik yang taat,” terang Anthony.
Saat Anthony berumur sembilan tahun, sang ibu mengajarinya sebuah doa yang biasa diucapkan oleh umat Katholik. Doa itu dimulai dengan kalimat “Salam maria, ibu Tuhan”. Namun, kalimat itu membuat Anthony heran. Bahkan dalam usianya yang baru sembilan tahun, kalimat itu seperti pukulan pertama, mendengar ibu berkata salam maria ibu Allah
“Aku kemudian bertanya pada diri sendiri bagaimana Tuhan bisa memiliki ibu?” katanya. Ia berpikir Tuhan seharusnya tanpa awal dan tanpa akhir. Bagaimana bisa Tuhan memiliki seorang ibu? Anthony kecil kemudian mengambil kesimpulan “jika Maria adalah ibu Tuhan, maka pasti Maria menjadi Tuhan lebih baik daripada Yesus.”
Belum lagi soal pelajaran di sekolahnya yang semakin membuatnya galau. Di sekolah, dalam satu kali setahun selalu ada pengakuan dosa kepada pastor. “Kamu harus mengakui semua dosa, jika tidak maka pengakuan dosa-dosamu tidak akan diampuni,” demikian kata sang pastur yang terus diingat oleh Anthony.
Anthony merasakan keimanannya semakin bermasalah. Pikirannya mulai liar, ia bahkan memiliki ide “Tuhan menjadi manusia”.
Pikirannya mulai terbuka. Ia sering bertanya mengapa harus sekolah di asrama, jauh dari siapapun dan dimanapun. Saat berusia sebelas tahun, sang ayah dipindah tugaskan ke Mesir. Ayahnya menjadi General Manager Barclays Bank di Kairo. Hampir selama sepuluh tahun, ia selalu menghabiskan waktu liburan di Mesir. Sekolah di London, dan liburan di Mesir.
Ia mulai jatuh cinta pada Mesir. Saat kembali ke sekolah seusai liburan, ia bertanya untuk apa kembali ke asrama Yorkshire Moor, ia merasa tak menyukai tempat itu. “Saya mulai bertanya pada diri sendiri mengapa saya ada, apa tujuan hidup saya, hidup ini untuk apa?”
Ia lantas mulai mencari jawaban, memulai pecarian. Pencarian itu barangkali bisa ditemukan melalui agama lain yang mungkin bisa memberikan pemahaman tentang tujuan hidup.
Sepuluh tahun waktu yang di ia habiskan di Mesir. Ada satu masa saat ia berumur 19 tahun berbincang tentang Islam dengan seseorang. Ia memang meragukan Katholik sebagai agamanya. Tapi saat itu siapapun yang mempertanyakan agamanya itu, ia akan tetap membela keimanannya. Ia merasakan ini sebagai sebuah paradoks yang aneh.
“Aku berbincang dnegan orang itu selama 40 menit. Pemuda itu memintaku menjawab beberapa pertanyaan darinya,” katanya.
Si pemuda menanyakan “Apakah kau mempercayai Yesus?”, Anthoni menjawab “Ya”. Pemuda itu kemudian bertanya lagi, “Apakah kamu percaya Yesus mati disalib?”, Anthoni kembali menjawab “Ya.”
Si pemuda kembali bertanya “Jadi kamu percaya Tuhan mati?”.Oleh ibunya, Anthony kecil adiknya, Duncan disekolahkan di asrama biara. Setiap hari ia hidup bersama para biarawan di Ampleforth College, di Yorkshire, Inggris Utara. Sang ibu menganggap dengan bersekolah di asrama akan membuat Anthony menjadi penganut Katolik yang taat.
“Seharusnya ibu juga menikah dengan seorang Katholik, tapi karena ibu menikah dengan ayah yang agnostik, ia merasa menjadi seorang penganut Katolik yang buruk. Maka, ia ingin menjadikanku seorang Katolik yang taat,” terang Anthony.
Saat Anthony berumur sembilan tahun, sang ibu mengajarinya sebuah doa yang biasa diucapkan oleh umat Katholik. Doa itu dimulai dengan kalimat “Salam maria, ibu Tuhan”. Namun, kalimat itu membuat Anthony heran. Bahkan dalam usianya yang baru sembilan tahun, kalimat itu seperti pukulan pertama, mendengar ibu berkata salam maria ibu Allah
“Aku kemudian bertanya pada diri sendiri bagaimana Tuhan bisa memiliki ibu?” katanya. Ia berpikir Tuhan seharusnya tanpa awal dan tanpa akhir. Bagaimana bisa Tuhan memiliki seorang ibu? Anthony kecil kemudian mengambil kesimpulan “jika Maria adalah ibu Tuhan, maka pasti Maria menjadi Tuhan lebih baik daripada Yesus.”
Belum lagi soal pelajaran di sekolahnya yang semakin membuatnya galau. Di sekolah, dalam satu kali setahun selalu ada pengakuan dosa kepada pastor. “Kamu harus mengakui semua dosa, jika tidak maka pengakuan dosa-dosamu tidak akan diampuni,” demikian kata sang pastur yang terus diingat oleh Anthony.
Anthony merasakan keimanannya semakin bermasalah. Pikirannya mulai liar, ia bahkan memiliki ide “Tuhan menjadi manusia”.
Pikirannya mulai terbuka. Ia sering bertanya mengapa harus sekolah di asrama, jauh dari siapapun dan dimanapun. Saat berusia sebelas tahun, sang ayah dipindah tugaskan ke Mesir. Ayahnya menjadi General Manager Barclays Bank di Kairo. Hampir selama sepuluh tahun, ia selalu menghabiskan waktu liburan di Mesir. Sekolah di London, dan liburan di Mesir.
Ia mulai jatuh cinta pada Mesir. Saat kembali ke sekolah seusai liburan, ia bertanya untuk apa kembali ke asrama Yorkshire Moor, ia merasa tak menyukai tempat itu. “Saya mulai bertanya pada diri sendiri mengapa saya ada, apa tujuan hidup saya, hidup ini untuk apa?”
Ia lantas mulai mencari jawaban, memulai pecarian. Pencarian itu barangkali bisa ditemukan melalui agama lain yang mungkin bisa memberikan pemahaman tentang tujuan hidup.
Sepuluh tahun waktu yang di ia habiskan di Mesir. Ada satu masa saat ia berumur 19 tahun berbincang tentang Islam dengan seseorang. Ia memang meragukan Katholik sebagai agamanya. Tapi saat itu siapapun yang mempertanyakan agamanya itu, ia akan tetap membela keimanannya. Ia merasakan ini sebagai sebuah paradoks yang aneh.
“Aku berbincang dnegan orang itu selama 40 menit. Pemuda itu memintaku menjawab beberapa pertanyaan darinya,” katanya.
Si pemuda menanyakan “Apakah kau mempercayai Yesus?”, Anthoni menjawab “Ya”. Pemuda itu kemudian bertanya lagi, “Apakah kamu percaya Yesus mati disalib?”, Anthoni kembali menjawab “Ya.”
Seketika Anthony terperangah, menyadari sebuah ironi. Sambil mengakui kebodohan dirinya, ia menjawab, “Tentu saja saya tidak percaya Tuhan mati. Manusia tidak bisa membunuh Tuhan,” tandas Anthony.
Pertemuan dengan pemuda Mesir itu menjadi titik balik dalam kehidupan Anthony. Sebelumnya ia tak pernah bermimpi bahkan memikirkan tentang Islam. Anthony berpikir bahwa karena taka da agama, maka ia harus jadi orang kaya. Ia berpikir bagaimana menghasilkan uang tapi hanya sedikit usaha. “Siapa yang ingin mengabiskan banyak waktu untuk bekerja?” pikirnya. Ia mengingat orang Inggris yang memiliki banyak uang tapi mereka bekerja terlalu keras, bahkan sampai terjadi revolusi industri. Orang Amerikapun harus berjuang keras untuk menjadi kaya. Orang Jepang pun dikenal sebagai penggila kerja.
“Kemudian saya berpikir tentang orang Arab. Mereka duduk di atas unta dan berteriak ‘Allahu Akbar’, tapi mereka kaya,” ujarnya.
Anthoni merasakan ketertarikan luar biasa untuk membeli Alquran. Ia mengambil terjemahannya. “Aku tak ingin mencari kebenaran. Aku hanya ingin tahu apa isi kitab suci ini,” katanya.
Anthony adalah pembaca yang cukup cepat. Ia membaca Alquran saat berada di kereta api. Seketika itu pula ia menyimpulkan dan berkata pada diri sendiri, “Jika saya pernah membaca buku yang berasal dari Tuhan, maka ini dia bukunya.”
Ia menyakini Alquran itu berasal dari Allah. Ketika menyadari itu ia mulai bergerak lebih jauh, tak hanya membaca Alquran saja, tapi untuk mengamalkannya juga. “Sama saja seperti kita melihat apel yang terlihat harum, kita tak akan pernah tahu rasanya kalau tidak mencicipinya,” katanya.
Tertarik dengan pengamalan Alqurlan ia pun mulai mencoba untuk shalat meski saat itu ia belum resmi mengucap syahadat. Tak tahu bagaimana cara shalat, ia mengingat-ingat bagaimana seseorang yang pernah ia temui di Mesir melakukan shalat. “Saya mengingat seorang lelaki shalat dengan cara yang lebih indah dibandingan saya ketika saya masih menjadi Katholik,” ingatnya.
Suatu hari Anthony pergi ke toko buku yang kebetulan berada di dalam masjid. Toko itu memiliki koleksi buku tentang Muhammad dan tata cara shalat. Seorang pria menanyakan apakah ia seorang Muslim. Anthony lantas menjawab, “Apakah saya Muslim, apa yang ia maksud dengan itu? Saya bilang ‘Ya saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusannya’.”
“Ah, bila demikian, Anda Muslim. Ini waktunya shalat, mari kita shalat,” ajak lelaki itu.
Anthony kebetulan datang ke toko buku itu saat hari Jumat. Ia yang tak paham gerakan shalat hanya berusaha shalat dengan gerakan yang ia tahu saja. Masih salah disana-sini. “Setelah itu orang-orang mengelilingi saya dan mengajarkan saya cara shalat yang benar. Itu rasanya fantastis!”
Namun butuh dua tahun sebelum akhirnya ia resmi bersyahadat dan menjadi Muslim. Anthony mengaku menyesal telah menyia-nyiakan waktu dua tahun sebelum menjalani Islam dengan baik. “Aku tahu kebenaran tapi tak segera menjalankannya. Itu adalah kondisi yang buruk. Jika kita tidak tahu, maka tidak dikenai dosa. Tapi masalahnya saya tahu apa yang benar,” katanya. Kini Anthony telah berganti nama menjadi Abdur Raheem Green. Seorang Muslim. [islampos]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.