bulan Ramadhan telah dibuka pintu-pintu surga dan ditutupnya pintu-pintu neraka, toh hasil didikan syetan tetap melekat pada perilaku banyak orang. Jum’at (10/08/2
012) dini hari, di saat memasuki 10 hari terakhir di mana malam Lailatur Qadar menjanjikan banyak kemuliaan dan ampunan, justru banyak orang menghabiskan waktunya dengan sia-sia.
Perilaku hedonis pemuda metropolitan masih terlihat. Sebut saja; balapan motor liar, nongkrong sampai pagi, berpacaran di atas motor di pojok-pojok kota di malam gelap juga masih bisa ditemukan.
Yang menarik, sepanjang jalur mulai dari depan Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang hingga Stasiun Senen terdapat pemandangan berbeda. Mereka itulah yang sering disebut “manusia gerobak”.
Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang menghabiskan hidupnya dengan mencari barang bekas (memulung). Di saat orang tengah terlelap di malam hari, mereka justru baru keluar setelah matahari beristirahat dari tugasnya menyinari bumi.
Seperti Ade Sulaiman (32), seorang kepala rumah tangga telah melakoni ini hidup ini selama 5 tahun lebih. Bersama sang Istri, Ernawati (37) mereka berdua menjalani pertarungan hidup bersama satu gerobak berwarna merah. Sekalipun menarik gerobak, orangtua yang sudah memiliki 4 orang anak ini tidak pernah meninggalkan ibadah puasanya selama Ramadhan.
“Alhamdulillah mas, puasa jalan terus. Meski penghasilan segini aja tapi ibadah puasa jalan terus,” jelas Erna kepada hidayatullah.com.
Berbeda dengan yang lain. Bagi mereka, pekerja memulung di bulan Ramadhan justru sepi. Bahkan harga-harga barang bekas di bandar pemulung turun.Harga kardus contohnya, biasanya Rp. 1600/kg, di bulan ramadhan ini turun menjadi Rp.1000/kg. Gelas plastik yang biasanya Rp.7000/kg di bulan Ramadhan menjadi Rp.4000/kg.
Tapi bagi Ade, hidup di atas gerobak tak bisa selamanya jadi andalan. Karenanya, ia mulai memberanikan diri mengambil kontrakan rumah petakan dibilangan Manggarai. Sejak mereka melabuh cinta di Depok sekitar 7 tahun yang lalu, ade sadar, anak-anak harus tetap mendapatkan hidup yang lebih baik. Sang istripun mulai menawarkan jasa cuci baju di sekitar Manggarai.
“Ya sejak istri juga bantu-bantu nyuci, lumayan ada pemasukan tambahan buat keluarga,” jelas Ade kepada hidayatullah.com di atas trotoar jalan Matraman, tepat di depan toko pusat Gramedia.
Bagi Ade, bekerja memulung tidaklah seperti pegawa negeri sipil (PNS) yang telah jelas penghasilannya dalam sebulan. Bekerja di jalanan tergantung kemauan. Jika mau keluar untuk bekerja ya mendapat penghasilan, jika tidak ya siap-siap saja tak mendapat rezeki.
Menurutnya, jika sedang ramai, dalam satu hari Ade bisa mendapatkan Rp. 200.000. Namun jika sepi barang bekas. Ade mengaku pernah merasakan selama satu minggu cuma dapat Rp. 40.000. Namun dari ketekunan dan kemauan pasangan Ade dan Erna untuk tetap ingin memperbaiki kehidupannya, maka salah satu usahanya tersebut, mereka berdua telah menyekolahkan anak sulungnya di sebuah Taman Kanak-Kanak.
“Hidup saya sudah seperti ini, anak-anak harus lebih baik dari orangtuanya kelak,” jelas Ade mengenang ketika dia harus berhenti sekolah saat masih di bangku sekolah dasar karena ketidakmampuan orangtuanya membiayai.
Bayar Zakat
Di belakang gerobak, terlihat kedua anaknya sedang pulas tertidur. Sementara satunya lagi di depan gerobak bermain-main dengan sang Ayah. Sedang anak yang terbungsu berada di pangkuan sang ibu karena badannya agak panas. Terlihat ada bisul di punggungnya sebesar kepalan tangan yang belum sembuh.
Ade mengaku dirinya masih minim dalam agama. Menurutnya, tak ada makna istimewa tentang perayaan Idul Fitri di hati mereka. Sebab baginya, berpuasa sebulan penuh saja sudah lebih dari cukup.
Ketika ditanya mengenai baju baru di hari raya untuk anak-anak, Ade pun tersenyum.
“Alhamdulillah anak-anak selalu nurut sama orangtuanya, daripada membeli baju baru, lebih baik uangnya saya pakai bayar zakat aja mas, masih banyak orang yang hidupnya lebih susah dari saya,” jelasnya kepada hidayatullah.com.
Dengan penampilannya yang masih lusuh, Ade dan Erna kemudian berlalu untuk terus melanjutkan perjalanan malamnya, berharap ada barang bekas yang bisa dibawa pulang.
Hari ini, bertambah lagi pelajaran kita tentang arti dan makna hidup dari seorang pemulung. Ia menolak membatalkan puasa di tengah kesulitan hidup dan ia yang seharusnya berhak mendapatkan zakat, justru memilih berkorban untuk Muslim lain yang lebih membutuhkan dengan tetap membayar zakat.
Ya Rabbi, semoga Engkau terus menyertainya dan tak ada lagi nikmatMu yang kami dustakan dalam hidup kami.*/Hidayatullah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.