“Aku tidak pernah melihat seorang pun yang seperti Thaawus ibn Kaisan” (‘Amr ibn Dinar)
Dengan lima puluh bintang (sahabat Nabi SAW) dari bintang-bintang hidayah ia mengambil sinarnya lantas cahaya meliputinya dan terpancarlah cahaya atasnya...cahaya di hatinya...cahaya di lisannya...dan cahaya yang berjalan di hadapannya.
Ia lulus di bawah asuhan lima puluh tokoh ‘Perguruan Muhammad.’ Ternyata ia adalah satu potret dari sahabat Rasulullah SAW dalam kekokohan iman, ketulusan tuturkatanya, kecongkokan terhadap fana dunia dan rela berkorban hingga mati demi mendapatkan keridlaan Allah serta kelantangan menyuarakan kalimat kebenaran sekali pun mahal harganya.
‘Perguruan Muhammad’ telah mengajarinya bahwa agama adalah nasehat; nasehat bagi Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, para imam kaum Muslimin dan orang awamnya.
Pengalaman hidup telah menunjukinya bahwa kebaikan seluruhnya bermula dari Waliyul amri dan berakhir padanya. Apabila pemimpin baik, rakyat menjadi baik, dan bila rusak rakyat ikut rusak.
Dialah ‘Dzakwaan ibn Kaisan’ yang berjuluk ‘Thaawus’*. Ini adalah julukan yang dilekatkan padanya karena ia adalah Thaawus al-‘Ulama’ (burung merak para ulama) dan pemimpin bagi mereka semasanya.
Thaawus ibn Kaisan adalah penduduk Yaman. Tampuk kekuasaan wilayah Yaman ketika itu dipegang oleh Muhammad ibn Yusuf ats-Tsaqafi saudara al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqafi (seorang tirani). Al-Hajjaj telah mengangkatnya sebagai gubernur Yaman setelah kekuasaannya sudah menjadi besar dan kekuatannya bertambah. Bahkan wibawanya semakin bertambah setelah berhasil mengalahkan Abdullah ibn az-Zubair.
Pada diri Muhammad bin ats-Tsaqafi menurun karakter buruk kakaknya, al-Hajjaj, sayangnya tak sebuah kebaikan pun yang ia turunkan dari kakaknya itu.
Pada suatu pagi yang dingin di musim dingin, Thaawus ibn Kaisan bersama Wahb ibn Munabbih** datang menemui Muhammad ibn Yusuf.
Setelah keduanya mengambil tempat duduk di sisinya. Mulailah Thaawus menasehatinya, memberikan Targhiib (motivasi) dan Tarhiib (ancaman). Sedangkan sejumlah orang duduk di hadapannya. Sang penguasa ini berkata kepada salah seorang penjaganya, “Wahai Ghulam(panggilan untuk budak/anak kecil), hadirkan Thailasan*** dan lemparkan ke pundak Abu Abdirrahman (Thaawus).”
Penjaga tersebut kemudian mengambil sebuah Thailasan mahal lalu melemparkannya ke pundak Thaawus.
Mulut Thaawus terus saja berucap memberikan wejangan. Ia mulai menggerak-gerakkan pundaknya dengan pelan hingga Thailasan itu terjatuh. Ia lalu bangkit berdiri dan beranjak pergi.
Dari merah padam raut wajahnya, kelihatan sekali Muhammad ibn Yusuf marah dan menahan emos namun tak berani mengucapkan sepatah kata apapun.
Ketika Thaawus dan sahabatnya berada di luar majlis, berkatalah Wahb kepadanya, “Demi Allah, kita tidak perlu membangkitkan emosi Muhammad bin al-Hajjaj. Apa salahnya kamu ambil saja Thailasan itu, lalu kamu jual dan harganya kamu sedekahkan kepada orang-orang faqir dan miskin.?”
Thaawus berkata, “Seharusnya seperti yang kamu katakan itu. Tapi aku khawatir kelak ada ulama setelahku yang beralasan, ‘Mari kita ambil saja seperti alasan Thawus mengambinyal’ lalu kemudian mereka tidak melakukan terhadap barang yang mereka ambil itu seperti yang kamu katakan tadi (tidak menyedekahkannya).!”
Seakan-akan Muhammad ibn Yusuf ingin balas dendam kepada Thaawus, ia kemudian membuat jebakan untuknya dengan cara menyediakan sebuah kantong kain berisi tujuh ratus dinar emas. Ia lalu memilih salah seorang bawahannya yang cerdik seraya berkata kepadanya, “Bawalah kantong kain ini kepada Thaawus ibn Kaisan dan perdayailah ia agar mau mengambilnya. Bila ia mengambilnya darimu, maka aku akan memberikan hadiah yang banyak untukmu, memberi pakaian dan mengangkatmu sebagai orang dekatku.”
Orang tersebut keluar membawa kantong kain itu lalu mendatangiThaawus di sebuah desa dekat dengan Shan’a yang bernama al-Janad’ dimana ia tinggal di sana.
Sesampainya ia di sisinya, ia mengucapkan salam dan berlemah lembut kepada Thawus. Ia berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdirrahman, ini nafkah yang dikirim Amiruntukmu.”
“Aku tidak membutuhkannya!” kata Thaawus.
Dengan berbagai cara ia merayunya agar mau menerimanya, namun ia tetap menolak. Ia pun berusaha menundukkannya dengan berbagai hujjah (argumen), namun ia menolak.
Tidak ada jalan lain baginya kecuali memanfaatkan kelengahan Thaawus. Di saat Thaawus lengah, ia melemparkan kantong kain tersebut ke lubang jendela yang terdapat dalam dinding rumahnya. Ia lalu pulang kembali kepada Amir seraya melaporkan, “Thaawus telah mengambil kantong tersebut, Wahai Amir.”
Muhammad ibn Yusuf gembira atas hal itu dan memdiamkannya untuk beberapa waktu. Setelah berlalu beberapa hari, ia mengutus dua orang pembantunya dan bersamanya orang yang telah membawa kantong kain kepada Thaawus. Ia menyuruh keduanya untuk berkata kepadanya, “Sesungguhnya utusan Amir telah salah dalam memberikan harta kepadamu, sebenarnya itu untuk orang lain. Kami datang untuk mengambilnya kembali darimu dan membawanya kepada pemiliknya.”
Thaawus menjawab, “Aku tidak pernah mengambil sedikitpun harta Amir tersebut hingga harus mengembalikannya kepadanya.”
“Tidak, engkau memang telah mengambilnya,” keduanya berkata.
Ia (Thaawus) menoleh kepada orang yang telah membawa kantong kain itu kepadanya sambil berkata, “Apakah aku telah mengambil sesuatu darimu?”
Orang tersebut ketakutan dan bingung, lalu berkata, “Tidak, akan tetapi aku telah meletakkan harta tersebut di lubang jendela dalam rumahmu pada saat engkau lengah.”
“Kalau begitu, silahkan saja lihat ke lubang tersebut!” kata Thaawus.
Keduanya melihat ke dalam lubang yang ditunjuk Thaawus dan menemukan kantong kain tersebut dalam keadaan semula bahkan telah diselubungi jaring-jaring rumah laba-laba. Keduanya lalu mengambilnya dan kembali membawanya kepada Amir.
Seakan-akan Allah ingin membalas Muhammad ibn Yusuf atas perbuatannya ini dan menjadikan pembalasannya dilihat dan disaksikan oleh orang banyak. Bagaimana itu terjadi?
Thaawus ibn Kaisan menceritakan,
“Saat aku berada di Mekkah menunaikan haji. Al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqafi mengutus seseorang kepadaku. Ketika aku masuk menemuinya, ia menyalamiku dan mendekatkan tempat dudukku darinya. Ia melemparkan bantal kepadaku dan memintaku untuk bersandar padanya. Lalu ia menanyaiku masalah-masalah yang pelik baginya dalam manasik haji dan masalah lainnya.
Di saat kami seperti itu, al-Hajjaj mendengar seseorang yang bertalbiyah di sekitar Ka’bah, ia mengeraskan talbiyahnya, dan intonsinya tinggi sehingga menggetarkan hati. Al-Hajjaj berkata, “Bawalah orang yang bertalbiyah ini kepadaku.”
Ia pun didatangkan kepadanya dan ditanya, “Dari mana kamu?”
“Dari kaum muslimin” jawabnya.
“Aku tidak menanyaimu tentang hal ini, akan tetapi aku bertanya tentang negerimu”, kata al-Hajjaj.
Ia menjawab, “Dari penduduk Yaman.”
“Bagaimana kamu meninggalkan pemimpinmu (maksudnya saudaranya, Muhammad bin Yusuf),?” tanya al-Hajjaj.
Ia menjawab, “Aku tinggalkan dia dalam keadaan besar, gemuk, banyak pakain, banyak berkendaraan dan banyak bepergian.”
“Bukan tentang ini aku bertanya kepadamu,” kata al-Hajjaj.
“Kalau demikian tentang apa engkau bertanya kepadaku,?” katanya.
Al-Hajjaj menjawab, “Aku bertanya tentang sepak terjangnya di antara kalian.”
Ia menjawab, “Aku tinggalkan dia sebagai orang yang banyak berbuat zhalim dan sangat zhalim, taat kepada makhluk dan berbuat maksiat kepada Khaliq.”
Wajah al-Hajjaj berubah merah karena malu terhadap orang-orang yang hadir di majlisnya. Ia berkata kepada orang tersebut, “Apa yang menyebabkanmu mengatakan tentangnya apa yang telah kamu katakan tadi, sedangkan kamu tahu kedudukannya dariku?.”
Ia menjawab, “Apakah kamu melihatnya dengan kedudukannya darimu lebih mulia daripada aku dengan kedudukanku dari Allah SWT?! Aku adalah delegasi rumah-Nya (Ka’bah), yang membenarkan Nabi-Nya dan Qadhi (pelaksana) agama-Nya.”
Al-Hajjaj terdiam dan tidak mengucapkan jawaban sepatah kata pun.”
Thaawus melanjutkan, “Tidak lama kemudian orang tersebut bangkit dan pergi tanpa meminta izin atau dipersilahkan pergi. Aku lalu berdiri mengikutinya di belakang. Aku berkata dalam diriku, “Sesungguhnya ia orang shalih, ikuti dan temuilah ia sebelum kumpulan orang melenyapkannya dari pendangan matamu.” Aku lalu mengikutinya. Aku menemukannya telah berada di Ka’bah dan bergelayut di kainnya. Ia menempelkan pipinya pada dindingnya seraya mulai berkata, “Ya Allah kepada-Mu aku berlindung, dengan pengawasan-Mu aku membentengi diri. Ya Allah jadikanlah aku tenteram kepada kedermawanan-Mu, ridha dengan jaminan-Mu, terhindar dari kekikiran orang-orang yang bakhil, merasa cukup terhadap apa yang dimiliki yang egois. Ya Allah aku memohon kepada-Mu pertolongan-Mu dalam waktu dekat, kebaikan-Mu yang lama dan kebiasaan-Mu yang baik wahai Rabbul’aalamin.”
Kemudian gelombang manusia pergi bersamannya hingga menyembunyikannya dari penglihatanku. Maka, aku merasa yakin bahwa tidak ada jalan untuk berjumpa dengannya setelah itu.
Hingga di saat sore hari Arafah aku melihatnya telah bertolak bersama manusia. Aku mendekatinya, dan ternyata ia berkata, “Ya Allah, bila Engkau belum menerima hajiku, kelelahan dan keletihanku, maka janganlah Engkau menghalangiku dari pahala atas musibahku, yaitu dengan cara Engkau tidak mengabulkanku.”
Ia pergi dalam kerumunan manusia hingga kegelapan menutupinya dariku.
Setelah berputus asa untuk berjumpa dengannya, aku berkata, “Ya Allah terimalah doaku dan doanya...kabulkanlahlah harapanku dan harapannya, mantapkanlah kakiku dan kakinya pada hari tergelincirnya kaki-kaki manusia. Kumpulkan aku bersamanya di telaga Kautsar wahai Dzat Yang Paling Mulia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.