Berbicara mengenai tokoh kedokteran muslim, kebanyakan umat Islam langsung mengingat nama Ibnu Sina –penemu ilmu tentang parasit-. Seolah-olah umat Islam hanya memiliki Ibnu Sina sebagai tokoh ilmu kedokteran yang menonjol. Padahal banyak sekali tokoh-tokoh kedokteran Islam yang karya-karyanya masih bermanfaat hingga hari ini, ada Abu Bakar ar-Razi yang didaulat menjadi ilmuan paling besar dalam bidang kedokteran, Ali bin Isa al-Kahal seorang dokter spesialis mata terhebat pada abad pertengahan, ath-Thufail orang pertama yang menemukan Ancylostoma atau dinamakan usus melingkar (as-Sirjani, 2009: 272-274), hingga Imam Ibnul Qayim dengan karyanya yang fenomenal Thibbun Nabawi. Jadi, Ibnu Sina tidak sendirian dalam bidang ini. Belum lagi sosok Ibnu Sina yang dianggap kontroversial, baik dari segi pemikiran keagamaan ataupun metode pengobatannya.
Tokoh kedokteran yang akan kita bahas pada kesempatan kali ini adalah seorang pioner dalam ilmu bedah modern. Ia adalah Abu Qasim al-Zahrawi. Al-Zahrawi merevolusi ilmu bedah klasik dan meletakkan kaidah-kaidah bedah yang menjadi pijakan ilmu bedah modern saat ini.
Al-Zahrawi menemukan metode dan alat-alat bedah baru yang memudahkan para pasien. Ia juga memiliki 30 jilid ensiklopedi bedah yang dijadikan rujukan utama ilmu bedah di Eropa selama beberapa abad dan menjadi pijakan ilmu kedokteran modern.
Siapakah al-Zaharawi?
Ia adalah Abul Qasim Khalaf bin al-Abbas- al-Zahrawi, orang-orang Barat mengenalnya dengan Abulcasis. Dilahirkan pada tahun 936 dan wafat tahun 1013 M di Kota al-Zahra, al-Zahrawi mengabdi pada kekhalifahan Bani Umayyah II di Cordoba, Andalusia. Awalnya ia dikenal sebagai seorang fisikawan, sampai akhirnya ia memperkenalkan teori-teori dan alat-alat bedah dalam ilmu kedokteran, barulah orang-orang mengenalnya sebagai dokter ahli bedah (al-Hassani, 2005: 167).
Pencapaiannya
Pencapaian al-Zahrawi dalam ilmu bedah sangat banyak dan luar biasa, sampai-sampai ia dianggap sebagai orang pertama yang menjadikan ilmu bedah sebagai spesialisasi tersendiri dalam ilmu kedokteran. Al-Zahrawi adalah di antara orang pertama yang menemukan alat-alat bedah dan menemukan teori mengikat organ tubuh saat pembedahan yang tujuannya untuk mencegah pendarahan. Selain itu, ia juga membuat benang untuk menjahit bekas bedah dan orang pertama yang menggunakan suntik.
Karyanya yang paling fenomenal adalah At-Tashrif Liman Ajiza ‘an Ta’lif, sebuah ensiklopedi kedokteran yang disusun dalam 30 jilid buku. Buku yang selesai penulisannya pada tahun 1000 ini berisikan tentang berbagai topik medis termasuk tentang kesehatan gigi dan melahirkan. At-Tashrif disusun selama 50 tahun karir kedokteran al-Zaharawi, baik pelatihan, mengajar, dan praktek.
Menariknya, buku ini juga memuat tentang pentingnya hubungan positif antara dokter dan pasien. Ia juga menulis tentang kasih sayangnya terhadap murid-muridnya yang ia disebut sebagai “anak-anak saya”. Ia menekankan pentingnya merawat pasien tanpa memandang status sosial mereka dan mendorong pengamatan secara persuasif terhadap kasus-kasus individu untuk membuat diagnosis yang paling akurat dan perawatan yang sebaik mungkin.
Cukuplah menunjukkan keistimewaan At-Tashrif dengan diterjemahkannya buku ini ke dalam bahasa latin oleh seorang Italia yang bernama Gerard pada abad ke-12. Selama 5 abad berikutnya buku tersebut menjadi rujukan utama untuk perkembangan medis di Eropa khususnya ilmu bedah.
Penguasaan Ilmu Bedah
Menurut al-Zahrawi seseorang tidak akan menguasai ilmu bedah sampai ia menguasai ilmu kedokteran umum, anatomi, dan tulisan-tulisan filsuf yang belajar ilmu kedokteran. Ia memelopori banyak prosedur dan peralatan yang digunakan di ruang operasi saat ini. Dialah orang pertama yang menggunakan catgut sebagai benang untuk jahitan rongga dalam. Catgut adalah benang yang terbuat dari lapisan usus hewan yang merupakan satu-satunya bahan yang sangat baik digunakan untuk menjahit bagian dalam karena bisa diserap oleh tubuh, dan mencegah untuk dilakukan operasi kedua untuk menghilangkan jahitan tersebut.
Ia menemukan banyak alat yang diperlukan untuk operasi modern. Dia adalah orang pertama yang menggunakan foreceps saat melahirkan, yang mana sangat membantu dalam mengurangi angka kematian bayi dan ibu saat proses melahirkan. Dia melakukan tonsilektomi (Wikipedia: operasi pengangkatan tonsil/mandel/amandel) dengan penjepit lidah, kait, dan gunting yang sama dengan dokter di era modern saat ini.
Untuk mengurangi ketakutan dan kekhawatiran pasiennya saat akan dioperasi, al-Zahrawi menggunakan sebuah pisau tertentu yang membuat sang pasien nyaman secara psikis. Adapun cara untuk menghilangkan sakit secara fisik, ia menganastesi (bius) pasiennya baik di tubuh yang akan dioperasi juga bius oral (minum penenang). Mansektomi (pengangkatan payudara) pada penderita kanker payudara yang dilakukan oleh al-Zahrawi juga sama dengan yang dilakukan oleh dokter saat ini
Meskipun memiliki pengetahuan dan kemampuan yang mumpuni dalam ilmu bedah, al-Zahrawi selalu menolak untuk melakukan operasi berisiko atau tidak ia diketahui yang akan menjadi stres fisik dan emosional bagi pasien. Ia percaya akan pentingnya kehidupan manusia dan berusaha untuk memperpanjangnya selama mungkin.
Penutup
Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban walaupun orang-orang yang tidak senang dengan Islam selalu meneriakkan bahwa suatu negara, kelompok masyarakat atau individu yang berpegang teguh terhadap Islam, maka kemajuannya akan terkekang. Namun sejarah Islam mencatat hal yang berbeda dari yang mereka utarakan, terbukti dengan kehadiran seorang Abul Qasim al-Zahrawi, seorang pioner dalam ilmu bedah.
Orang-orang Eropa boleh berbangga dengan majunya ilmu kedokteran yang mereka miliki sekarang ini, tapi umat Islam adalah pelopornya. Cukuplah apa yang dikatakan oleh seorang pakar dalam anatomi Eropa, Hallery, sebagai buktinya. Hallery mengatakan, “Seluruh pakar bedah Eropa sesudah abad ke-16 menimba ilmu dan berpatokan pada pembahasan buku al-Zahrawi.” (as-Sirjani, 2009: 274).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.