1. Kisah Batu Khandak.
Berkata Amru bin ‘Auf: Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggariskan kepada kami khandak (parit yang dalam) pada waktu perang Ahzâb. Lalu ditemukan sebuah batu besar putih yang bulat. Batu tersebut tidak bisa dihancurkan bahkan membuat alat-alat kami patah. Maka kami menyebutkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Lalu Rasulullâh n menggambil linggis dari Salmân Al Fârisi dan beliau memukul batu tersebut dengan sekali pukul. Maka, batu tersebut terbelah dan mengeluarkan cahaya yang menyinari kota Madinah, bagaikan sinar lampu di malam hari yang gelap gulita. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dan kaum Muslimin pun ikut bertakbîr. Kemudian dipukul lagi untuk yang kedua kali, maka batu tersebut terbelah dan mengeluarkan cahaya yang menyinari kota Madinah. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dan kaum Muslimin pun ikut bertakbîr. Maka Rasulullâh memukul lagi untuk yang ketiga kali, maka batu tersebut terbelah hancur dan mengeluarkan cahaya yang menyinari kota Madinah. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir dan kaum Muslimin pun ikut bertakbir
Para sahabat tidak menganggap sakti batu itu, atau menjadikannya sebagai ajimat, penangkal dan sebagainya.
2. Kisah Batu Yang Memberi Salam Kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Semasa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di Mekah sebelum diangkat menjadi nabi; ada batu yang memberi salam kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau masih mengetahui batu tersebut, tetapi beliau maupun para sahabat tidak pernah memungutnya atau membawanya pulang untuk dijadikan penangkal atau alat terapi jika beliau sakit.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:
عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِنِّيْ َلأَعْرِفُ حَجَرًا بِمَكَّةَ كَانَ يُسَلِّمُ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ أُبْعَثَ إِنِّيْ َلأَعْرِفُهُ الآنَ”. رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari sahabat Jabîr bin Samrah, ia berkata bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Sesungguhnya aku mengetahui sebuah batu di Mekah memberi salam kepadaku sebelum aku diangkat menjadi nabi. Sesungguhnya aku mengetahuinya sampai sekarang” [HR. Muslim]
3. Batu Hajar Aswad.
Seluruh umat Islam sepakat bahwa Hajar Aswad adalah batu yang paling mulia dari segala batu. Tapi tidak ada seorangpun dari para sahabat yang menganggap sakti, apalagi minta kesembuhan kepadanya. Oleh sebab itu Amirul Mukminin Umar bin Khatâb Radhiyallahu anhu saat menciumnya di hadapan para kaum Muslimin, beliau berkata:
“إِنِّيْ أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لاَ تَضُرُّ وَلاَ تَنْفَعُ وَلَوْلاَ أَنِّيْ رَأَيْتُ النَّبِيْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُقَبِّلُكِ مَا قَبَّلْتُكِ”. رَوَاهُ الْبُخَارِيْ
“Sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah batu yang tidak memiliki mudharat dan tidak pula memberikan manfaat. Jika seandainya aku tidak melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, tentu aku tidak akan menciummu”[HR Bukhari]
Hukum mencium Hajar Aswad hanya sekedar mengikuti sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang disebutkan oleh sahabat Umar Radhiyallahu anhu. Tidak sebagaimana yang diyakini oleh kebanyakan orang-orang yang berebutan untuk menciumnya, bahwa Hajar Aswad dapat menyembuhkan penyakit, memurahkan rezki, dan dugaan-dugaan khurafat lainnya.
4. Ka’bah Dan Maqâm Ibrâhîm.
Banyak anggapan dari sebagian orang-orang yang pergi haji dan umrah, bahwa Ka’bah dan Maqâm Ibrâhîm memililki berbagai kesaktian, sehingga mereka mengusab-usab bangunan Ka’bah dan Maqâm Ibrâhîm dengan tangan dan kain mereka. Padahal tidak ada anjuran dalam agama tentang perbuatan tersebut. Apalagi meyakini dapat memberikan berbagai keistimewaan kepada manusia.
Syaikh al-’Utsaimin rahimahullah berkata: “Amat disayangkan, sebagian orang menjadikan segala ibadahnya hanya untuk bertabarruk (mencari berkah) semata. Seperti apa yang terlihat bahwa sebagian manusia mengusap rukun (tiang) yamani lalu mengusapkan ke muka atau dada. Artinya mereka menjadikan mengusap rukun yamani sebagai tabarruk bukan untuk berta’abud (beribadah). Ini adalah sebuah kebodohan” [4]. Lalu beliau menukil ungkapan Amîrul Mukminîn Umar bin Khatab yang kita sebutkan di atas.
Tidak dipungkiri bahwa Ka’bah atau Masjidil haram memiliki berkah. Tetapi mengambil berkah bukan dengan mengusap-ngusap dinding masjid atau Ka’bah. Tetapi beribadah pada tempat tersebut sesuai dengan ketentuan agama, seperti shalat, i’tikaf, tawaf, atau berhaji dan umrah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.