Selasa, 02 April 2013

7 Indikator Bangsa Diambang Kehancuran



Standar baik buruk sebuah umat dan bangsa atau kebaikan mereka tentu dengan tolok ukur syariat Islam yang berangkat dari nilai keimanan dan ketakwaan kepada Allah. Menurut Al-Quran iman dan takwa adalah faktor pembuka keberkahan dari langit dan bumi. Namun ini dalam konteks keumatan dan kebangsaan. Allah menjamin keberkahan itu akan diperoleh jika “suatu bangsa dan umat” mau komitmen dengan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan.
 “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah-berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, Maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96)

Dalam Al-Quran banyak kisah-kisah umat terdahulu yang dihancurkan oleh Allah karena jauhnya mereka dari nilai-nilai iman dan takwa. Di lain sisi juga banyak kisah bangsa dan umat yang mendapatkan limpahan berkah karena mereka bersyukur, beriman dan bertakwa. Kisah umat Nabi Daud dan Sulaiman misalnya berkisah tentang kekuasaan dan kekayaan yang dikendalikan oleh orang-orang yang shalih bersyukur. Wal hasil, bukan saja manusia, keberkahan juga dirasakan oleh bangsa binatang sekalipun.

Demikian juga kisah tentang “baldatun thayibah” (negeri yang tentram) di bangsa Saba’  karena mereka bersyukur atas nikmat Allah. Pada saat mereka ingkar dan berpaling, Allah menggantikan segala kenikmatan itu menjadi bencana dan malapetaka.

Jika nilai keimanan, takwa, dan syukur menjadi syarat dibukanya pintu berkah, adakah indiktor yang menandakan bahwa sebuah masyarakat yang diberkahi itu diridlai dan baik menurut kaca mata syariat? Satu indikator di antara indikator ini bukan satu-satunya pertanda kebaikan dan keberkahan sebuah bangsa.

1. Kekuasaan Dikendalikan Orang Fasik

Sebab pemimpin adalah produk dari masyarakat itu sendiri. Mereka lahir dari masyarakat yang membesarkannya. Pemimpin sebuah bangsa adalah orang pilihan mereka. Jika pemimpin itu dari sisi moralitas dan inteljensianya di bawah rata-rata itu cerminan dari masyarakat yang memilih mereka jadi pemimpin.

Allah mengisyaratkan hal ini dalam Al-Quran:

“Dan Demikianlah kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Al An’am: 129)

Nabi juga menegaskan, “Sebagaimana kondisi kalian, (Allah) memberikan pemimpin yang menguasai kalian.” (HR. Dailami)

Jika pemimpin sebuah bangsa orang yang shalih benar-benar yang akidah, moralitas, visi dan misinya sesuai dengan syariat Islam maka itu pertanda itu masyarakat yang baik menurut standar Islam. Sebab ia akan membawa kebaikan bagi masyarakatnya. Ia akan menggunakan kekuasaannya untuk menegakkan syariat Allah, menegakkan amar makmur dan nahi mungkar dan menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Sebaliknya, jika orang yang jahat atau buruk menjadi penguasa maka itu pertanda masyarakat akan mendapatkan imbas dan sasaran serta obyek dari kejahatan dan nafsu serakahnya. Sebab kepentingan yang diburu adalah kepentingan pribadi dan kelompoknya.

2. Kekayaan Didominasi Orang Yang Jahat dan Fasik

Yang dimaksud orang shalih adalah orang yang baik-baik secara moralitas dan bukan orang yang jahat. Prediket orang salih tentu bukan monopoli kiai, ustad, ajengan, ulama. Orang salih bisa jadi adalah orang biasa-biasa saja secara agama.

Kekayaan adalah tulang punggung sebuah kehidupan, termasuk kehidupan sebuah bangsa. Kekayaan sering digunakan sebagai standar kemakmuran sebuah bangsa. Kuantitas dan kemelimpahan kekayaan sebuah bukan standar satu-satunya keberkahan. Namun yang menjadi indikator adalah sumber kekayaan dan alokasinya.

Kekayaan dikuasi dan didominasi oleh orang-orang yang shalih menjadi pertanda dan indikator baiknya sebuah masyarakat. Sebab mereka pasti akan menggunakan untuk anggaran-anggaran belanja kebaikan bagi masyarakatnya. Serta menggunakan dana itu untuk perbaikan masyarakatnya.

Sebaliknya, jika kekayaan dikuasai oleh orang-orang fasik, anggaran belanja akan digunakan untuk hura-hura, kemaksiatan, kesenangan semata. Bahkan bisa jadi kekayaannya digunakan untuk industri kemaksiatan yang menyebabkan kerusakan di masyarakat.

Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik harta adalah harta orang salih.”

3. Ketimpangan Sosial dan Tidak Meratanya Distribusi Kekayaan

Standar kebaikan sebuah bangsa bukan terletak pada kemelimpahan materi semata. Namun kebaikan sebuah masyarakat apabila distribusi kekayaan dan sumber daya alamnya merata. Dengan kata lain terwujud keadilan social dan tidak ada kesenjangan mengangah antar si kaya dan si miskin. Masyarakat yang baik bukan berarti bersih dari orang miskin. Masyarakat yang baik adalah yang kebutuhan pangannya tercukupi secara umum, baik oleh kemurahan si kaya atau negara yang mengelolah sumber daya alamnya. Itu berarti si kaya menunaikan kewajiban sosialnya berupa zakat infak dan sedekah.

Sebaliknya, tanda masyarakat yang buruk adalah tidak adanya keadilan sosial, ketimpangan dan kesenjangan sosial yang tinggi. Kemiskinan dan kesenjangan menandakan kerakusan dan ketamakan si kaya dan para pejabatnya dalam mengelola SDA dan distribusinya. Akibatnya, kekayaan hanya berkeliling hanya di segelintir orang saya.

Allah berfirman, “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.”

4. Tingginya Tingkat Kriminalitas

Masyarakat yang baik bukan berarti tanpa ada kasus kriminalitas. Namun sebuah masyarakat disebut rusak apabila angka kriminalitasnya tinggi. Entah itu kasus pidana, pemerkosaan, pencurian, korupsi, dan kejahatan-kejahatan lainnya. Rendahnya angka kriminalitas dan kejahatan mencerminkan masyarakat yang sadar hukum dan moralitas yang tinggi serta supremasi hukum dan wibawa penegak hukum di mata masyarakat. Di jaman Nabi tetap ada kasus perzinaan dan pencurian namun itu hanya satu kasus yang muncul dipermukaan. Namun Nabi menegakkan hukum secara adil tanpa pandang bulu.

Sebaliknya, tingginya angka kriminalitas di sebuah masyarakat mencerminkan rendahnya moralitas masyarakat tersebut atau tidak adanya supremasi hukum sehingga yang berlaku hanya hukum rimba atau karena konten hukum yang tidak efektif dan memberikan dampak perubahan di masyarakat. Rendahnya reputasi institusi hukum, tidak berwibawanya penegak hukum, penegakan hukum yang tidak adil, orang kuat yang melanggar hukum diganjar sanksi ringan sementara si lemah diganjar hukum berat, serta konten hukum yang tidak adil hanya akan menciptakan lingkaran dendam di kalangan masyarakat.

Rasulullah bersabda, “Hancurlah umat-umat sebelum kalian, jika orang lemah mencuri mereka menegakkan hukum kepadanya dan apabila orang terpandang mencuri, mereka membiarkannya.” (HR. Muslim)

5. Tingginya Angka Perceraian

Perceraian dalam Islam memang dibolehkan namun ia menjadi solusi terakhir bagi biduk rumah tangga yang sedang goyah. Karenanya jika perceraian menjadi fenomena lazim di sebuah masyarakat mereka tetap akan dibenci oleh Allah.

Rasulullah bersabda, “Hal yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak (perceraian)”

Tingginya angka dan kasus perceraian di masyarakat menjadi indikator bahwa keluarga-keluarga mereka mengalami masalah keharmonisan. Keluarga adalah unsur terpenting bagi bangsa dan umat. Jika keluarganya sukses, pemerintahan akan sukses.

6. Bangsa Yang Menggantungkan kepada Hutang

Hutang adalah indikator kelemahan ekonomi sebuah bangsa sekaligus politiknya. Bangsa yang berhutang akan lebih banyak patuh dan tunduk kepada negara kuat yang menghutanginya. Karena itu, Rasulullah memerintahkan umat agak berlindung di antaranya dari lilitan hutang.

7. Merebaknya Musibah dan Bencana

Banyaknya musibah dan bencana alam memang tidak selalu menjadi indikator bangsa itu runtuh secara moral. Namun jika indikator-indikator sudah ada di masyarakat; kemusyrikan dan kemungkaran meraja lela sementara orang-orang salih tidak berdaya dan hanya diam tidak menunaikan amar makruf nahi mungkar, maka kemungkinan besar bencana dan musibah itu karena bentuk kemarahan Allah kepada umat tersebut.

“Dan takutlah kepada fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kalian.” (Al-Anfal: 25)

Indikator dan fenomena di atas semata sebagai pengingat bagi kita untuk terus melakukan perubahan di masyarakat dengan mengefektifkan peran masing-masing. Wallahu a’lam. (A. Tarmudli/spiritislam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.