Jumat, 13 April 2012

TENTANG SAPI KURBAN IDUL ADHA, PEMANASAN GLOBAL DAN MAKANAN GENETIK




Kontrol Makanan, adalah salah satu tujuan zionisme dalam melapangkan Tata Dunia Baru, yaitu dengan menguasai lini distribusi makanan, mengarahkan umat manusia merubah pola makan ke arah yang lebih sehat seperti vegetarian dan mengkonsumsi makanan-makanan transgenik. Mengapa? Karena sapi dan industri peternakan lainnya telah berperan besar dalam melepaskan emisi GRK khususnya metana dan CO2 dan berkontribusi dominan terhadap pemanasan global.

Perintah berkurban terdapat dalam surat Al Kautsar ayat 2 "Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu; dan berkurbanlah"

Meskipun mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, tabiut tabi’in, dan fuqaha (ahli fiqh) menyatakan bahwa hukum kurban adalah sunnah muakkadah (utama) tidak diwajibkan namun umat Islam di seluruh dunia telah menjalankan ritual pengurbanan ini selama ribuan tahun dan selama itu pula hakikat berbagi terhadap sesama telah mengikat sekitar 1,7 miliar umat Islam sebagai pemeluk keyakinan terbesar di dunia saat ini dalam tali silaturrahmi yang sangat kuat.



Bila demikian, apakah hubungan berkurban dengan rancangan standarisasi makanan yang mengacu pada pemanasan global?

Dr. Nathan Petellier, seorang ahli ekonomi ekologi dari Kanada mengatakan bahwa sektor peternakan global telah menjadi salah satu kontributor emisi terbesar, yang bahkan melampaui emisi yang dikeluarkan oleh kendaraan di seluruh dunia. Riset-riset dampak lingkungan yang difokuskan pada efek gas rumah kaca telah bergerak dalam lini paling mendasar umat manusia, yaitu makanan.

Hewan ternak telah dikenal sebagai salah satu penyumbang emisi GRK terbesar.“Bayangan Panjang Peternakan (Livestock’s Long Shadow)” yang merupakan laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) tahun 2006 yang telah dikutip secara luas, memperkirakan emisi sebesar 7.516 juta metrik ton ekuivalen CO2 (CO2e) per tahun, atau 18 persen emisi GRK dunia setiap tahun, dihasilkan oleh hewan ternak sapi, kerbau, domba, kambing, unta, kuda, babi, dan unggas. Jelas sudah peternakan telah mendapatkan perhatian besar kaum environmentalis dalam penanganan permasalahan perubahan iklim. Dalam bentuk kajian lain peternakan dan hasil sampingnya bertanggung jawab atas setidaknya 32.564 juta metrik ton CO2e per tahun, atau 51 persen dari seluruh emisi GRK dunia setiap tahun.

Profesor Barry Brook, ketua riset internasional tentang ekologi dan konservasi global menyatakan, metana adalah suatu gas rumah kaca yang menarik, banyak orang mungkin tidak pernah mendengarnya, tetapi itu sebenarnya adalah gas rumah kaca kedua yang paling berbahaya dalam kontribusi total manusia terhadap perubahan iklim. Dan hewan ternak seperti sapi menghasilkan metana, bahkan ketika mereka bersendawa. Di Australia industri peternakan sapi dan domba menghasilkan metana 3 juta ton pertahun atau sama dengan 216 juta ton karbon dioksida. Ini hampir empat kali lebih besar daripada yang dihasilkan oleh kendaraan. Faktor inilah yang tidak banyak diperhitungkan oleh para
pengamat. Kebanyakan orang hanya melihat bahwa efek rumah kaca seperti transportasi, pabrik dan dampak industri-lah yang memberi kontribusi terbesar terhadap pemanasan global. Padahal sesungguhnya peternakan telah mendominasi efek GRK.

Berdasarkan kajian ini setidaknya PBB dan Uni Eropa telah mengajukan rancangan mengenai perubahan pola makanan seluruh umat manusia yang ada di muka bumi. Meskipun mereka belum mengeluarkan rekomendasi untuk hal tersebut, sebagian elit politik khususnya di Eropa telah mengeluarkan pernyataan pribadi agar manusia tidak lagi mengkonsumsi hewan ternak khususnya sapi, domba, kambing dan babi. Harus ada ruang hidup bagi hewan untuk menyeimbangkan lingkungan. Dan manusia seharusnya sudah mulai merubah pola makan menuju pada konsep vegan.



Model ini bukan hanya merujuk pada konsep vegetarian murni namun juga pada bagaimana menciptakan industri makanan vegan baru yang selama ini telah dikuasai oleh Monsanto. Model makanan baru itu sering kita dengar sebagai makanan transgenik. Orang-orang Amrik sono menyebutnya GMO atau Genetically Modified Organism, artinya makanan yang dimodifikasi secara genetik. Hmm, kedengarannya sangat ilmiah...

Yeah, begitulah orang-orang pintar menipu kita, karena kita selalu nampak bodoh di hadapan mereka. GMO atau makanan transgenik yang dikembangkan Monsanto telah menjadi kontroversi dan ditentang oleh peneliti makanan, para ahli gizi dan ahli ekonomi di negara mana saja makanan ini didistribusikan. Yang aneh bagi saya, makanan transgenik selalu saja berhasil diterima oleh negara maju dan negara berkembang dan menjadi industri di sana. Padahal konsep GMO ini sepenuhnya dikuasai oleh satu perusahaan peternakan terbesar di dunia, Monsanto.

Penelitian tentang makanan transgenik di Rusia dan Inggris menjelaskan bahwa ribuan tikus yang digunakan dalam percobaan terhadap makanan tersebut mati setelah memakan berbagai jenis makanan transgenik. Produk GMO juga ditentang di Jepang, China dan India. Permasalahannya setelah Eropa dan Amerika, Monsanto mengincar dua pasar terbesar untuk industri makanan genetik di Asia, yaitu India dan Indonesia. Professor Aisyah Girindra dari MUI seperti dijelaskan The Jakarta Post, menerangkan bahwa makanan transgenik bila bersumber dari tumbuhan dibolehkan. Padahal sesungguhnya rekayasa genetik yang memungkinkan pencampuran vektor dari gen lain termasuk gen resistensi antibiotik lebih mudah dilakukan pada tumbuhan daripada hewan.



Kembali ke masalah awal, jika PBB (FAO) dan UE melalui G20 lagi-lagi bikin rekomendasi global atas nama lingkungan untuk 'mengharamkan' manusia makan sapi, kambing dan domba... hmm, mungkin baiknya pada hari idul Adha, kita mengurbankan para koruptor saja...

PS. Penipuan-penipuan Pemanasan Global lainnya bisa dibaca dalam buku Indonesia Incorporated :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.