Selasa, 09 Juli 2013

Benci Kapitalisme, Charles Orr Memilih Islam


Charles Orr muak hidup di tengah masyarakat Inggris yang penuh kepalsuan. Sehari-hari, mereka seperti diperbudak kapitalisme yang penuh manipulasi.

Ia pun berpikir, ada sesuatu yang salah. Namun, dia tidak tahu pasti apa itu. Ada yang hilang dalam dirinya.


Dia tidak sadar akan hal itu. Karenanya, pria yang berprofesi sebagai arsitek ini berusaha mencari apa sebenarnya yang hilang dalam dirinya. Mengapa terasa ada lubang di dalam hatinya.

Hingga suatu hari, di awal usianya yang ke-40 tahun, Allah Subhanahu Wa Ta’ala membantunya untuk memahami apa sebenarnya yang dia cari, apa yang dia butuhkan.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menuntunnya untuk berkenalan dengan komunitas Muslim yang dipimpin Syekh Abdal Qadir as-Sufi al-Murabit. Syekh Abdal Qadir, semula bernama Ian Dallas, lahir di Ayr, Skotlandia, pada 1930.

Ia memeluk Islam pada awal 1960-an dengan mengucap syahadat di Masjid Al-Qarawiyyin, Fes, Maroko. Sejak itu, dia memprakarsai pengembangan komunitas-komunitas Muslim di jantung peradaban Barat, khususnya di Eropa.

“Saya melihat komunitas tersebut memiliki pandangan yang sama sekali berbeda dengan kebanyakan orang yang berada dalam kekuasaan kapitalisme sebagaimana yang saya temui dalam hidup saya,” ujar Charles Orr yang lahir di Belfast, Irlandia, pada 1940 ini.

Mereka memiliki cara pandang yang rasional tentang bagaimana sebuah ekonomi harus dijalankan. Bagaimana seharusnya seorang manusia memberikan nilai dalam kehidupannya. Bukan lagi soal bagaimana cara menjadi kaya atau terkenal. Tidak semata-mata tentang dunia, tapi lebih jauh di luar itu.

“Mereka memberikan alternatif pandangan dalam hidup saya dan entah bagaimana saya menyetujuinya. Saya merasa ini kebenaran yang saya cari,” ujar pria yang menyelesaikan pascasarjananya di bidang arsitektur di University of Wales, London, itu. Tertarik akan hal itu, Charles menetap selama tiga bulan bersama komunitas itu.

Syekh Abdal Qadir memperkenalkan padanya sejumlah gagasan. Hal pertama adalah terkait kembalinya dirham perak dan dinar emas serta tatanan muamalah.

Syeikh Abdal Qadir senantiasa menekankan bahwa pembentukan kedaulatan umat Islam bergantung pada penolakan sistem-sistem dan lembaga-lembaga keuangan riba saat ini.

Selanjutnya, mata uang Islam, yaitu dinar dan dirham, harus diperlakukan kembali guna melawan dominasi mata uang dolar. Mereka mempromosikan jejaring perdagangan Islam, mengembalikan pasar-pasar, dan memulihkan zakat secara benar.

Gagasan itu membuat anak pertama dari tiga bersaudara ini sadar bahwa Islam ternyata memiliki kekayaan ilmu yang luar biasa besar. Islam tidak semata seperti yang digambarkan secara picik oleh media-media Barat.

Islam menawarkan konsep ekonomi yang lebih baik. Bukan ekonomi kapitalis yang hanya menguntungkan orang-orang tertentu. “Di sana saya sadar, saya harus keluar dari kepalsuan ini dan bergabung dengan Islam,” kata Charles.

Lalu setelah tiga bulan mengikuti aktivitas dalam komunitas Syekh Abdal Qadir, Charles memutuskan untuk menjadi Muslim dan meninggalkan agama lamanya, Kristen. Seiring dengan itu, Charles pun mengubah namanya menjadi Abdalhalim Orr.

Mengikuti sang guru
Saat ini, Abdalhalim menetap di Cape Town, Afrika Selatan, mengikuti sang guru yang membangun komunitas Muslim di negara tersebut. Sejak 2001, Syekh Abdal Qadir memang bermukim di kota tersebut dan memprakarsai berdirinya Dallas College.

“Sudah delapan tahun saya tinggal di sana, mengikuti guru saya. Saya akan berada di sana selama guru saya ada di sana,” katanya. Di sana Abdalhalim juga terus meningkatkan pemahamannya tentang Islam.

Menjadi Muslim di Afrika, kata Abdal, tidaklah mudah. Di benua ‘hitam’ ini sulit menemukan makanan halal.

Sertifikat halal kerap diperjualbelikan kepada restoran ataupun tempat makan yang dimiliki oleh orang non-Muslim. Akhirnya, ia memilih untuk memasak makanannya sendiri.

“Saya ingin memastikan bahwa makanan yang saya makan itu halal. Saya akan menyembelih sendiri daging yang akan saya makan dengan mengucap nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”

Dia pun melihat dunia Islam yang berbeda di Afrika. “Mereka bilang mereka Islam, tapi mereka tidak benar-benar hidup dalam Islam,” kata dia.

Mereka, misalnya, menyalahi arti zakat yang sesungguhnya. ‘Di sana zakat dikumpulkan oleh organisasi tertentu, tidak ada bedanya dengan lembaga amal.

Uang zakat tersebut kemudian digunakan untuk membiayai proyek tertentu. Padahal, menurut Abdal, zakat seharusnya dikumpulkan oleh amil zakat dan hasil yang terkumpul diberikan kepada mereka yang membutuhkan.

Meski banyak hal yang tidak sesuai dengan Islam yang dia pahami, Abdalhalim berusaha untuk tetap berada di jalan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. “Saya terus belajar untuk menjadi Muslim yang lebih baik.”

Sosialisasikan Dinar, Dirham, dan Imarat
Sebagai murid Syekh Abdal Qadir, Abdalhalim berusaha memberikan kontribusi terhadap apa yang dicita-citakan komunitasnya. Dia juga giat menyosialisasikan dirham dan dinar sebagai sebuah bentuk perlawanan terhadap konsep ekonomi moneter yang ada saat ini.

“Pada akhirnya kita berharap, konsep ekonomi yang sesuai syariah bisa dijalankan dengan benar di dunia ini, mengalahkan segala bentuk ekonomi riba yang dijalankan para kapitalis,” katanya.

Dinar dan dirham diharapkan dapat menggantikan uang kertas yang menjadi produk kapitalis.

Tak hanya itu, Abdalhalim pun berusaha memberikan kontribusi melalui bidang yang digelutinya, yaitu arsitektur.

“Bagi saya, arsitektur yang ada saat ini adalah juga bagian dari kapitalisme,” katanya. Banyak bangunan yang dibangun hanya karena alasan bisnis dan komersial. Tak ada nilai sosial di dalamnya.

Sementara arsitektur dalam Islam, tidak semata-mata soal bentuk bangunan, tapi bagaimana bangunan tersebut bisa memberikan manfaat bagi orang sekitarnya. “Hal inilah yang selalu saya tekankan dalam setiap desain bangunan yang saya buat,” katanya.

Salah satu proyeknya adalah membuat imarat. Imarat adalah seni bangunan yang sangat mengaplikasikan ajaran Islam. Imarat memiliki dua fungsi, sebagai tempat melaksanakan kegiatan komersial dan kegiatan sosial.

Pada imarat terdapat setengah lapangan yang bisa digunakan oleh para pedagang untuk berjualan. Sedangkan, setengah lapangan lainnya digunakan sebagai fasilitas sosial, sekolah, klinik, dan masjid.

Hasil yang diperoleh dari kegiatan komersial akan dizakatkan kepada fasilitas sosial. Imarat juga dimaksudkan untuk mengembangkan kehidupan urban di sekelilingnya. Dengan adanya imarat, diharapkan sebuah lokasi bisa berkembang dengan baik secara ekonomi maupun sosial.

“Sederhananya, dalam Islam dijelaskan bahwa keberadaan masjid tidak hanya sebagai tempat beribadah, tapi juga sebagai pusat kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat. Ini pulalah yang menjadi fungsi imarat,” papar Abdal.

Dia menambahkan, Indonesia berpeluang besar untuk mengembangkan imarat ini. Indonesia memiliki jumlah penduduk Muslim yang banyak. Indonesia pun memiliki banyak pegiat UKM. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun bagus.

Imarat, dinar, dan dirham diyakininya merupakan konsep hidup Islami yang sesungguhnya. “Ketika kita bersyahadat, kita akan langsung tahu bahwa inilah yang diinginkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala” katanya.

Bukan hanya sebuah penghambaan yang sifatnya pribadi, melainkan penghambaan yang diimplementasikan dengan memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat.

“La illahaillah berarti beribadah secara pribadi antara Muslim dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tapi Muhammadar Rasulullah adalah bentuk perintah untuk menjalin hubungan yang baik antara sesama manusia sebagaimana tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,” katanya.

Dengan memegang konsep tersebut, Abdal yakin seorang Muslim bisa mencitrakan Islam dengan baik ke mana pun dia pergi.(KisahMuallaf) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.