Selasa, 12 Februari 2013

Kisah Relawan Cilik : Berdakwah Dengan Cara Menginfakkan Hartanya



MENDAFTARKAN DIRI MENJADI RELAWAN
Pada pagi yang cerah, di kota Jeddah, sekitar pertengahan bulan Dzulhijjah 1425H, atau akhir Januari 2005M. Saat itu, saya sedang duduk di kantor Jeddah Da’wah Center (JDC) bersama rekan. Tiba-tiba masuklah seorang anak kecil sambil mengucapkan salam, lalu. menyalami kami berdua. Ia datang ke kantor JDC diantar supirnya yang berasal dari Indonesia, sementara ibu dan neneknya menunggu di mobilnya.

Anak ini masuk ke ruang sekretariat sendiri seraya mengatakan : “Saya ingin menjadi relawan di kantor dakwah ini. Ingin berkhidmat untuk kepentingan agama Islam”.

Saya dibuat kagum dengannya. Saya sambut dengan baik dan saya katakan : “Kira­kira, di bidang apa Anda bisa membantu kami?”
Dia katakan, “Saya mampu menggunakan komputer dan bisa berbahasa lnggris.”

Karena saya tidak bisa berbahasa Inggris; maka saya minta rekan saya untuk berbicara dengannya dengan bahasa Inggris. Setelah terjadi komunikasi antara teman dan anak ini, teman saya pun memberitahu saya : “Bagus sekali anak ini bahasa Inggrisnya”.

Saya katakan, “Saya belum bisa memutuskan apakah Anda bisa diterima atau tidak. Insya Allah akan saya sampaikan kepada direktur yang juga seorang relawan. Beliau sendiri bekerja di kantor Telkom Saudi. Tapi saya optimis, kalau orang seperti Anda akan diterima, insya Allah,” lalu saya minta nomor teleponnya dan saya berikan juga nomor telepon kantor kepadanya. Lalu saya katakan : “Saya sendiri, insya Altah ada acara dakwah untuk jamaah haji Indonesia yang akan pulang ke tanah air. Anda bisa ikut bantu saya dengan membagikan kaset atau buku di air port haji di madinatu( hujjaj (asrama haji) di Jeddah, bagaimana?”

Anak itu menjawab, “Insya Allah. Saya akan minta izin orang tua dulu.”

Sore harinya, orang tua Ahmad (nama anak ini), menelepon ke kantor kami mencari saya dan menanyakan : “Apa betul Anda mengajak anak saya pergi ke air port haji untuk berdakwah?”

Saya katakan, “Betul, kalau dia berminat.”

Orang tuanya mengatakan : “Justru kami sangat senang sekali, jika Anda bisa membawa anak saya ke air port haji untuk ikut membantu dakwah Islam. Saya ingin anak saya ini besarnya kelak bermafaat bagi umat Islam, supaya dia ikut bergembira jika umat Islam bergembira; ikut sedih jika umat Islam sedang mendapatkan bencana dan musibah, serta supaya anak saya tidak membedakan orang menurut suku dan kebangsaannya, karena sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah di antara manusia adalah yang paling bertakwa. Hanya saja, karena anak ini masih kecil, kami tidak pernah membiarkan ia pergi sendiri. Meskipun ke sekolah, selalu kami antar dan kami jemput. Jadi bagaimana sekiranya dari pihak keluarga ikut juga ke air port bersama Anda?”

Saya katakan,”Itu lebih baik..

Akhirnya, kami pun berangkat ke air port haji bersama Ahmad dan keluarganya. Dalam perjalanan ke air port, saya tanya kepada anak ini: “Apa yang memotivasi Anda beramal untuk kepentingan Islam?” Dia menjawab, “Ajru ‘Indallaah” Artinya, aku mengharap ganjaran pahala dari sisi Allah.

Kemudian saya tanya lagi : “Apakah Anda hafal dzikir pagi dan sore hari?”

Dia menjawab,”Saya hafal.”

“Coba saya mau mendengar,” tanya saya lagi.

Lalu dia membaca dzikir pagi dan sore. Banyak sekali yang dia hafal. Sampai kami pulang dari air port.

Pihak kantor pun, setelah diberitahu ada anak kecil yang mendaftar menjadi relawan, menerima dengan senang hati. Dia datang ke kantor tiap hari Jum’at saat sekolah libur.

MUDAH MENERIMA NASIHAT
Yang namanya anak-anak, tentu tidak lepas dari kekeliruan dalam bersikap, dan kita harus memakluminya. Janganlah kita mudah marah kepada anak, karena kita sebagai orang dewasa juga tidak lepas dari kekeliruan. Tinggal bagaimana kita harus memperbaiki kesalahannya dengan cara yang bijaksana.

Suatu hari, pada hari Jum’at, saat kami dan Ahmad berada di kantor, datanglah tamu menemui Ustadz Hamadi al Ashlani, salah seorang pengurus kantor JDC. Tampak perbincangan yang serius di antara mereka berdua. Ahmad yang duduk dekat mereka berdua mendengar mereka berbicara, kemudian ia langsung menyambung dan memotong ucapan mereka. Mungkin dia ingin membuktikan kepada mereka berdua, bahwa ia mengerti topik yang sedang dibicarakan.

Ustadz Hamadi tidak menggubris Ahmad dan tetap berbicara dengan tamunya. Ia tidak marah dan memaklumi, bahwa yang mengganggunya adalah anak-anak. Saya yang berada dekat mereka segera memanggil Ahmad dan mengalihkannya kepada kegiatan lain. Saya minta Ahmad menemani saya ke sebuah toko yang jaraknya kurang lebih 1 kilometer, untuk memberikan buku kepada orang Indonesia yang bekerja di sana. Sebelumnya dia menawarkan agar saya naik mobilnya dan ia pun segera mencari sopir. Saya berkeberatan, karena belum izin orang tuanya. Dia berpendapat tidak apa-apa. Alhamdulillah, ternyata sopir Ahmad sedang mengikuti pengajian yang dibimbing Ustadz Farid bin Muhammad al Bathathi. Akhirnya kami berdua berjalan kaki di bawah terik matahari, pulang pergi menempuh jarak sekitar 2 kilometer. Dalam perjalanan, saya sempat bertanya kepadanya : “Pada masa yang akan datang, Anda ingin menjadi apa?” Ahmad menjawab dengan mantap, tanpa ragu-ragu : “Ingin menjadi pedagang”.

Saya sempat menyesal membawa Ahmad berjalan kaki cukup jauh untuk anak seusia dia di bawah terik matahari. Dalam perjalanan pulang ke kantor, ibunya telepon ke hp Ahmad, yang hanya dipegang jika Ahmad ke luar rumah saja. Setelah selesai, saya katakan akan bicara ke ibunya, lalu saya mohon maaf karena membawa Ahmad jalan kaki. Ibunya mengatakan tidak apa-apa. Ahmad adalah seorang olahragawan dan fisiknya kuat, insya Allah.

Pada hari yang lain, saya sedang dalam perjalanan dengan rekan sekantor. Di antara pembicaraan teman saya ini, bahwa pada hari Jum’at yang lalu -saat itu saya tidak berada di kantor- datanglah tamu dari perusahaan komputer menemui pengurus kantor. Saat pengurus kantor dan tamu sedang berbincang-bincang, Ahmad pun memotong dan ikut melibatkan diri dalam pembicaraan mereka. Ada di antara rekan yang masih muda merasa jengkel kepada Ahmad.

Malamnya, segera saya telepon orang tua Ahmad, dan saya beritahu dua kejadian. Yang satu saya saksikan sendiri, dan yang kedua saya dengar dari teman sekantor, bahwa Ahmad suka memotong dan turut campur dalam pembicaraan orang dewasa. Orang tuanya senang dengan laporan ini, dan berjanji akan menasihati Ahmad. Saya juga mengatakan kepadanya akan menasihati Ahmad, tetapi belum bisa secara langsung.

Sayapun menulis surat kepada Ahmad tentang pentingnya saling memberi nasihat sesama muslim. Di antaranya, saya sebutkan temanmu itu adalah yang bersikap jujur dan tulus kepadamu, bukan yang selalu membenarkanmu. Disamping surat tersebut, saya sertakan pula sebuah hadits dalam Shohih Bukhari yang menunjukkan, bahwa memotong pembicaraan orang lain adalah tidak sesuai dengan adab Islam. Orang tuanya juga menasihati Ahmad. Alhamdulillah, setelah itu, terjadi perubahan yang positif. Ahmad tidak suka memotong pembicaraan orang dewasa. Dia tahu kapan ia harus bicara, dan kapan ia harus diam mendengarkan. Saya sendiri perlu mencontohnya, karena terkadang tanpa terasa suka memotong pembicaraan orang lain.

BERDAKWAH DENGAN CARA MENGINFAKKAN HARTANYA
Pada Jum’at yang lain, pengurus kantor menugaskan Ahmad untuk duduk di ruang istikbal (resepsion) menerima tamu atau pembeli yang datang. Kantor JDC menjual buku-buku dan kaset-kaset dalam berbagai bahasa, seperti : bahasa Indonesia, bahasa Tagalog (Philipina), bahasa Urdu (Pakistan), bahasa Tamil dan Sinhali (Srilangka), bahasa Inggris dan lain-lain. Sebelum mulai melaksanakan tugasnya, ia mengeluarkan dari sakunya uang sebesar 5 real Saudi (sekitar dua belas ribu lima ratus rupiah), lalu ia mengatakan kepada kami”: “Ini uang milik saya, saya bawa dari rumah”.

Saya menjawab,”Kami percaya, bahwa Anda adatah orang yang jujur.”

Setelah itu, saya lihat ia mulai menerima uang dari pembeli sebesar 10 real Saudi, dimasukannya ke dalam sakunya dan dicatatnya uang yang masuk tadi. Sampai datanglah seorang pengunjung asal Pakistan. Ia membeli 2 set buku yang berbahasa Inggris seharga 10 real, dan 3 kaset berbahasa Urdu seharga 9 real. Total semuanya 19 real. Sang pengunjung menyodorkan uang 50 real kepada Ahmad. Karena tidak ada kembalian, Ahmad pun membawa uang tersebut kepada sekretaris kantor di ruang lain untuk menukar uang.

Saya lihat buku berbahasa Inggris yang dibeli tertulis “Untuk Non Muslim”, maka saya tanya kepada pengunjung tersebut : “Anda membeli buku bebahasa Inggris ini untuk siapa? Untuk dibaca sendiri atau untuk orang lain?” Saya khawatir ia salah beli.

Dia menjawab,”Saya akan berikan sebagai hadiah untuk teman saya sekantor, ia kafir bukan muslim. Semoga ia mendapatkan hidayah dan masuk Islam!”

Mendengar jawaban tersebut, segera saya bergegas menuju sekretaris kantor. Saya katakan, “Bagaimana pendapatmu, kalau buku yang dibeli oleh tamu kita ini, kita hadiahkan saja, karena buku tersebut akan dihadiahkan kepada teman sekerjanya yang kafir?”

Sekretaris kantor setuju. Ahmad mendengar pembicaraan kami berdua, karena ia sedang menunggu kembalian uang untuk tamunya. Sekretaris kantor mengatakan, jadi total yang ia beli hanya 9 real dan kembalinya 41 real. Tiba-tiba, secara spontan, Ahmad mengeluarkan uang 5 real miliknya dan ia berikan kepada sekretaris sambil berkata: “Saya ikut menyumbang 5 real untuk beli kaset dakwah yang dibeli orang itu. Jadi biar ia membayar cukup 4 real saja”.

Mendengar itu, saya menjadi terharu dan saya katakan, biar saya yang membayar 5 real, Ahmad cukup 4 real saja. Dia bilang,”Ustadz saja yang 4 real, saya yang 5 real,” kemudian saya paksakan ia menerima kembali 1real. Akhirnya, pengunjung tadi mendapatkan buku-buku dan kaset secara gratis, dikembalikanlah uang 50 real. Dia pulang dengan girang.
.
MEMBERIKAN CERAMAH DI DEPAN JAMAAH HAJI INDONESIA
Suatu hari, saya pernah menawarkan kepada Ahmad untuk memberikan ceramah di hadapan jamaah haji Indonesia di madinatu( hujjaj di air port lama, Jeddah. Dia pun menyanggupi: Lalu saya beritahukan materinya tentang ukhuwah Istamiyah, dan saya berikan point-pointnya, yaitu tentang pentingnya ukhuwah, sarana-sarana untuk memperkokoh ukhuwah serta perusak-perusak ukhuwah.

Kira-kira dua pekan kemudian ia bertanya : “Bagaimana Ustadz, kalau saya sampaikan materi ini dengan membaca teks. Saya belum pernah berceramah sebelum ini”.

Saya katakan, “Tidak apa-apa, walaupun kalau bisa tidak dengan teks itu lebih bagus.”

Akhirnya, pada hari yang sudah dijadwalkan, ia dengan diantar kakek dan ibunya berangkat ke madinatul hujjaj untuk berceramah di hadapan jamaah haji Indonesia. Mereka sampai disana sebelum Maghrib. Saya sempat bertanya kepada Ahmad, berapa juz ia hafal al Qur`an. Ia menjawab, 10 juz. Ketika saya sampaikan ke Ahmad, bahwa setelah ia berpidato ada acara tanya jawab. Semula Ahmad berkeberatan dengan mengatakan:”Saya tidak mempunyai wewenang untuk berfatwa”. Saya tersenyum dan menjelaskan, bahwa pertanyaannya bukan tentang masalah hukum, tetapi yang sifatnya ta’aruf untuk mengenal tebih dekat lagi.

Saya sampaikan pada pembukaan kepada jamaah haji, bahwa hari ini kita kedatangan tamu; seorang anak kecil. Saya ceritakan, bahwa perkenalan saya dengannya baru satu bulan ketika dia datang ke kantor Jeddah Da’wah Center mendaftarkan diri untuk menjadi relawan di sana. Saya ceritakan tentang perhatiannya terhadap hafalan al Qur`an, doa-doa dan dzikir, kepandaiannya dalam bidang komputer dan bahasa Inggris, serta aktifitasnya yang padat dengan kegiatan olah raga, kursus-kursus komputer dan bahasa Inggris. Setelah itu Ahmad berceramah dalam bahasa Arab dengan membaca teks dan saya terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Ahmad berpidato dengan suara yang lantang. Ia kemukakan, bahwa ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam) lebih kuat dari pada ikatan nasab (keturunan). Kemudian ia pun menceritakan sarana-sarana yang dapat memperkuat ukhuwah Istamiyah, seperti : menyebarkan salam, saling mengunjungi, saling memberi hadiah, bertutur kata dengan baik dan santun. Kemudian, ia juga menjelaskan hal-hal yang dapat merusak ukhuwah, seperti : ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), menyebar luaskan rahasia.

Di antara jamaah haji ada yang bertanya dengan bahasa Inggris. Ahmad menjawab pertanyaan dengan lancar. Jamaah haji itu bertanya, “Mungkin Anda pernah tinggal di Eropa atau Amerika, atau lahir di sana barangkali?” Ahmad menjawab,”Tidak! Saya lahir di Saudi Arabia, dan tidak pernah pergi ke luar negeri.” Jamaah haji bertanya,”Sejak kapan Anda belajar bahasa Inggris?” Ahmad menjawab,”Saya belajar bahasa Inggris sejak umur 5 tahun.” Ahmad juga sempat ditanya jumlah saudaranya. Dia menyebutkan dua bersaudara, ia dan adiknya, Laila yang masih duduk di kelas 4 SD. Setelah selesai, maka para jamaah haji laki-taki menghampiri Ahmad dan kakeknya dan menyalaminya. Saya lihat ada di antara mereka yang menangis terharu.

AHMAD DAN BENCANA TSUNAMI
Ahmad memiliki hati yang lembut dan perhatian untuk mengetahui keadaan kaum Muslimin di belahan dunia. Ketika terjadi bencana Tsunami pada tanggal 26 Desember 2004M, ia pun membaca berita ­berita tentang para korban dari koran, karena di rumahnya tidak ada televisi. Ia tidak menghabiskan waktunya untuk membaca berita dan informasi, tapi sekedar tahu secara global. Di antara perbincangan saya dengan Ahmad pada hari Jum’at adalah tentang bencana Tsunami. Dia sangat interes untuk mendengar berita dari saya, dan juga bersemangat menceritakan informasi yang dia dapat.

Tidak lama sesudah bencana Tsunami, seorang ibu yang tidak kami kenal menelpon ke kantor Islamic Center di Jeddah, meminta agar dai yang berasal dari Indonesia memberikan nasihat dalam bentuk kaset untuk kaum Muslimin di Aceh dan Sumatera Utara, agar mereka bersabar, ridha dengan ketentuan Allah, selalu bersangka baik kepada Allah, dan mengambil hikmah dari segala ujian serta cobaan yang berat ini. Alhamdulillah, akhirnya usulan ibu tersebut tertaksana, dan setelah itu, timbul ide baru agar isi nasihat itu dibukukan.

Saat penyusunan buku tersebut yang diberi judul Hikmah Di Balik Musibah, saya mendapat sedikit kesulitan dalam penutisan hadits-hadits Nabi. Saat itu kantor belum punya CD hadits, sedangkan untuk mengetik satu per satu teks hadits bisa membutuhkan waktu yang agak panjang, karena saya belum lancar menulis dengan huruf Arab di komputer. Akhirnya saya ingat Ahmad, dan segera menelepon keluarganya untuk minta izin agar Ahmad menyempatkan waktunya untuk membantu saya mengetik hadits­ hadits Nabi berkenaan dengan musibah. Saya pun memberitahu hadits-hadits yang perlu diketik. Ahmad mengetik hadits-hadits permintaan saya itu di rumahnya, sebab di kantor sendiri pekerjaan yang ia tangani cukup banyak. Dia diberi tugas oleh pengurus kantor untuk mengetik urusan administrasi, sehingga praktis di kantor ia tidak punya waktu untuk mengetik hadits-hadits yang saya minta itu. Karena di rumahnya juga banyak kegiatan seperti belajar, ia juga aktif berolah raga seperti berenang; menunggang kuda dan bela diri, maka Ahmad akhirnya minta bantuan adiknya, Laila, yang masih duduk di kelas 4 SD untuk membantunya. Sang ibu mengawasinya dalam mengerjakan tugas-tugas tersebut. Jika ada hal yang keliru atau salah, baru dibenarkan. Sepekan kemudian, ketika ke kantor, ia menyerahkan hasil pekerjaannya dan mengatakan : “Ustadz, saya mengetiknya sekian halaman, dan adik saya sekian halaman”.

Ahmad juga ikut menyumbang 100 real (sekitar dua ratus lima puluh ribu rupiah) dari uang tabungannya untuk korban bencana Tsunami yang akan saya sebutkan saat perpisahan.

BERGAUL DENGAN ORANG­-ORANG YANG BAIK
Orang tua Ahmad mengarahkan dan memotivasi anaknya agar menjadi relawan di kantor Islamic Center, di antara tujuannya agar anaknya bergaul dengan orang-orang yang baik dan bisa mencontoh mereka dan terhindar dari pergaulan yang ti.dak baik.

Suatu hari saya telepon orang tuanya. Saya beritahukan ada seorang dai yang usianya 70 tahun dari Jenewa, Swiss datang ke Mekkah untuk umroh dan silaturahmi mengunjungi adik-­adiknya di Mekkah dan Jeddah. Saya katakan, sekarang masih berada di Mekkah dan saya ada janji untuk bertemu dengannya. Saya tawarkan, jika ayah Ahmad ada waktu, kita bisa bertemu di Mekkah. Orang tuanya senang dengan rencana ini, tetapi belum bisa memastikan apakah dapat berangkat atau tidak.

Kemudian, saya juga teringat Ahmad, mungkin ia tidak berminat pergi ke Mekkah untuk menemui orang tua dan mendengarkan nasihatnya. Saya katakan kepada orangtuanya, tolong tanyakan dulu kepada Ahmad, apakah ia minat atau tidak pergi ke Mekkah bersama kami. Orang tuanya mengatakan : “Saya rasa kita tidak perlu menanyakan kepada Ahmad, apakah ia minat atau tidak, karena mengunjungi orang yang shalih adalah suatu kebaikan, dan tugas kami sebagai orang tua adalah menumbuhkan minat anak”.

PERPISAHAN
Tibalah saat saya pulang ke Indonesia pada pertengahan bulan Safar 1426H, atau akhir Maret 2005M. Saya izin kepada Ummu Ahmad untuk mengajak Ahmad dan sopirnya al akh Musthafa makan siang di rumah makan.

Mendengar permintaan saya, Ummu Ahmad mengatakan : “Seharusnya kami yang mengundang Anda makan di rumah, karena anda adatah tamu. Tetapi karena suami saya sedang keluar kota, maka Ahmadlah yang akan mentraktir Anda makan di rumah makan”. Mulanya saya menolak, karena yang punya ide adalah saya, maka saya yang berhak untuk membayar. Beliau tetap memaksa, maka akhirnya saya mengalah. Sekitar jam empat sore sepulang saya dari masjid, saya dapatkan Ahmad dan Musthafa sudah menunggu di depan kantor tempat saya tinggal di sana selama dua bulan di Jeddah.

Sebelum berangkat ke rumah makan, Ahmad menyerahkan surat dari orang tuanya untuk saya baca, dan saya diminta untuk memberi masukan dan komentar. Surat itu dari orang tua Ahmad untuk pihak sekolah tempat Ahmad belajar.

Sebelumnya, pihak sekolah telah melontarkan surat kepada orang tua Ahmad, meminta izin bahwa dalam liburan musim panas, pihak sekolah akan merencanakan study tour ke Malaysia membawa 20 siswa yang berbakat, salah satu di antaranya adalah Ahmad. Ada dua tujuan pokok, yaitu untuk mengunjungi universitas­ universitas di Malaysia guna mengetahui sistem pendidikannya, dan yang kedua . untuk melihat kemegahan bangunan dan arsitektur di Malaysia.

Orang tua Ahmad tidak setuju dan menulis surat balasan kepada sekolah. Saya baca surat tersebut. Orang tuanya menyebutkan alasan tidak mengizinkan Ahmad, bahwa tujuan tersebut tidak begitu penting, karena anaknya masih duduk di bangku SD, sehingga kurang bermanfaat bagi anak SD untuk mengetahui sistem pendidikan di universitas. Kalaupun dianggap penting, bisa dengan mendatangi pameran­ pameran yang diadakan di Jeddah, misalnya. Begitu pula melihat kemegahan arsitektur dan bangunan tidak begitu penting, malah bisa berdampak negatif, yaitu anak-anak dapat tertipu dengan penampilan lahiriah, bangga dengan bangunan yang megah dan lupa dengan yang lebih pokok, yaitu masalah pentingnya membenahi hati, aqidah, ibadah dan akhlak.

Dalam surat itu disebutkan pula, jika pihak sekolah mempunyai program membawa siswa ke negeri-negeri Islam yang sedang tertimpa bencana, seperti ke Aceh, misalnya, untuk membantu para korban bencana, kami dengan senang hati akan mengizinkan anak kami untuk ikut berangkat. Lebih-lebih lagi kita tahu bersama, bahwa para missionaris Kristen banyak mengirim relawannya pergi ke negeri-negeri Islam yang sedang tertimpa bencana. Mereka melancarkan misinya dengan payung memberikan bantuan kemanusiaan.

Selesai membaca surat tersebut, saya beranggapan bahwa Ahmad tentu kecewa dengan keputusan orang tuanya ini. Segera saya ingin menghiburnya. Saya pancing Ahmad dengan pertanyaan : “Apakah Anda kecewa tidak berangkat ke Malaysia?” Ahmad menjawab dengan mantap : “Saya tidak kecewa”. Saya tanya,”Mengapa tidak kecewa? Padahal teman-teman Anda berangkat ke sana.” Kemudian Ahmad menjelaskan kepada saya, persis seperti isi surat orang tuanya untuk pihak sekolah.

Tidak terasa hari semakin sore, sedangkan kami belum makan siang. Ahmad mengatakan kepada saya : “Ustadz bisa pilih, ingin makan di rumah makan mana? Tidak mesti yang dekat, yang jauh juga boleh”. Saya katakan kepadanya, yang dekat saja di rumah makan at Tazaj. Berangkatlah kami bertiga ke rumah makan yang jaraknya dari kantor kurang lebih 1 kilometer. Setelah kami pesan makanan, saya tanya kepada Ahmad, pilih minum Pepsi Cola, Seven Up atau apa? Dia menjawab,”Saya pilih air putih saja.” Musthafa mengatakan, bahwa Ahmad memang sejak kecil tidak minum minuman seperti itu.

Selama kami makan, kami berbicara. Saya lupa apa saja yang kami bicarakan saat itu. Yang saya ingat, saya sempat bertanya kepadanya:”Apakah Anda sudah membaca surat yang saya tulis di Masjidil Haram di Mekkah untuk Anda?” Ahmad menjawab,”Belum, karena semalam saya kecapaian sehingga langsung tidur.”

Setetah kami selesai makan, ada di antara pelayan restoran yang berasal dari Philipina memberikan hadiah berupa selebaran berwarna-warni untuk anak-anak, dan diberikannya kepada Ahmad. Semula Ahmad tidak ingin mengambilnya, bisa jadi karena ia merasa bukan anak-anak lagi. Saya segera minta kepadaAhmad untuk menerimanya. Setelah kami sampai di mobil, saya katakan, kita berusaha untuk menjaga perasaan orang lain, jika Anda terima, berarti Anda menggembirakan dia. Dan jika Anda tolak, bisa membuat dia sedih atau kecewa.

Dalam perjalanan ke kantor, Ahmad mengeluarkan dompetnya dan mengambil uang sebesar 100 real, lalu dia berikan kepada saya seraya berkata : “Ustadz akan pulang ke Indonesia, ini saya titip uang 100 real dari tabungan saya untuk korban bencana alam Tsunami di Aceh.” Terharu saya mendengar ucapannya yang tulus keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Sebenarnya saya tidak ingin menerima amanat ini. Tetapi karena saya juga tidak ingin mengecewakan Ahmad yang ingin berpartisipasi ikut andil menyumbang, akhirnya amanat tersebut saya terima, dan saya katakan : “Insya Allah saya akan sampaikan amanat ini kepada orang yang berhak menerimanya”.

Dia juga menawarkan diri untuk mengantar saya sampai air port. Saya katakan, bahwa saya sudah janji dengan Ustadz Farid al Bathathi, beliau yang akan mengantarkan saya ke air port. “Yang kedua, saya tahu bahwa jadwal Anda sangat padat. Saya tidak mau mengganggu kegiatan Anda”.

Tibalah saat perpisahan. Saya tidak tahu, apakah dapat berjumpa kembali dengannya atau tidak. Yang jelas banyak sekali pelajaran yang saya dapatkan dari Ahmad dan keluarganya.

Semoga Allah memberikan taufik kepada Ahmad dan anak-­anak kaum Muslimin untuk tetap istiqomah dalam ketaatan, dan memberikan taufik kepada kedua orang tua Ahmad dan semua orang tua Muslimin untuk dapat mendidik anak-anak mereka menjadi anak-anak yang shalih.

Rabbana laatuzikhquluubanaa ba’da idzhadaitanaa wahablanaa milladunkarahmah innaka antalwahhab.

Banyak sekali pelajaran yang bisa kita dapatkan dari kisah Ahmad. Insya Allah penulis akan membahasnya dalam sebuah buku tersendiri.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun IX/1427H/2006M.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.