Sabtu, 15 Juni 2013

Imam al-Dzahabi, Sejarawan dari Negeri Syam Berjuluk “Penutup Ahli Hadits”


 Banyak ulama’ memuji Imam al-Dzahabi sebagai pakar ilmu hadits, ahli ilmu jarh wa ta’dil, dan penyebar sunnah. Sesungghunya kepakarannya dalam ilmu hadits ditopang kedalamannya dalam ilmu sejarah dan perawi-perawi. Syeikh al-Nabilisi berkata, “Beliau pakar zamannya dalam hal perawi dan keadaaan-keadaan mereka, tajam pemahamannya, cerdas, dan ketenarannya sudah mencukupi dari pada menyebutkan sifat-sifat nya”. Dan biasanya, untuk mengetahui profil dan biografi seorang ulama terdahulu, para pengkaji merujuk kepada tulisan-tulisan al-Dzahabi.

Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah adz-Dzahabi al-Fariqi al-Dimasyqa al-Syafi’i. Beliau dilahirkan di desa bernama Kafarbatna kota Damaskus pada tahun 13 Rabi’ul Akhir tahun 673 H/ 1274 M. Keluarganya bukan asli Damaskus, tapi berasal dari negeri Turkmenistan. Keluarganya merupakan keluarga pecinta ilmu. Hingga mendorong al-Dzahabi untuk mendatangi para masyayikh dari berbagai negeri.

Imam al-Dzahabi menuntut ilmu sejak usia dini dan ketika berusia 18 tahun menekankan perhatian pada dua bidang ilmu: Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadits Nabawi. Di negeri Syam pada zaman itu banyak sekali ahli hadits. Banyak pakar hadits dari sini. Muridnya sekaligus kawannya menuntut ilmu hadits yang terkenal adalah Ibnu Katsir. Bersama Ibnu Katsir, ia berguru kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Muridnya, Tajuddin al-Subki, ahli fikih madzhab Syafi’i.

Di era itu, antara ahli fikih dan ahli hadits saling bersinergi. Mereka saling mengambil ilmu. Ada ahli hadits belajar kepada ahli fikih. Begitu pula sebaliknya. Tradisi ilmunya juga tidak terkotak-kotak saling bermusuhan antar madzhab fikih. Perbedaan dan perdebatan sering terjadi, namun tidak saling mencaci dan menghujat, apalagi saling mengkafirkan.

Selain belajar di Damaskus, Imam al-Dzahabi berkeliling menuntut ilmu ke negeri Mesir, Hijaz dan beberapa bagian di negeri Syam. Guru-gurnya sangat banyak. Ia mencatat profil atau biografi para gurunya dalam catatannya. Hingga ia mengumpulkan seluruh catatannya itu dalam satu buku. Tercatat seribu tiga ratus syaikh yang darinya beliau sempat mengkaji ilmu dari mereka, juga yang beliau ajari dan beliau bacakan. Di antara mereka adalah para ulama besar yang terkenal dan para pengarang yang ternama. Kumpulan biografi gurunya itu bernama “Mu’jam Syuyukh.

Di antara gurunya adalah Ibnu Taimiyah, Al-Hafiz Jamaluddin Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi, l-Hafiz Alamuddin Abdul Qasim bin Muhammad al-Birzali, Umar bin Qawwas, Ahmad bin Hibatullah bin Asakir, Yusuf bin Ahmad al-Ghasuli, Abdul Khaliq bin Ulwan, Zainab bintu Umar bin Kindi, al-Abrahuqi, Isa bin Abdul Mun’im bin Syihab, Ibnu Daqiqil ‘Id, Abu Muhammad ad-Dimyathi, Abul abbas azh-Zhahiri, ali bin Ahmad al-Gharrafi, Yahya bin ahmad ash-Shawwaf, at-Tauzari, masih banyak lagi yang lainnya.

Ketika menjadi guru, ia menduduki beberap jabatan penting. Paling menonjol ia menjadi guru ilmu hadits di sejumlah Madrasah. Seperti Madrasah Dar al-Hadis di Turbah Umm ash-Shalih, Dar al-Hadis azh-Zhahiriyah, Dar al-Hadis wa al-Qur’an at-Tankiziyah, dan Dar al-Hadis al-aFadhiliyah.

Ia adalah penulis produktif. Kitab-kitab dan karya tulis beliau mencapai 90 buah (ada yang menyebut hingga 215 buah) yang mencakup disiplin: qiraat, hadis, mushthalah hadis, sejarah, biografi, akidah, ushul fiqh. Di antara karya-karyanya adalah:

    Siyar A’lam An-Nubala
    al-‘Uluww lil ‘Aliyyil Ghaffar
    Taariikhul Islam
    Mukhtashar Tahdziibil Kamaal Miizaanul I’tidaal Fii Naqdir Rijaal
    Thabaqatul Huffazh
    Al-Kaasyif Fii Man Lahu Riwaayah Fil Kutubis Sitta
     Mukhtashar Sunan al-Baihaqi
    Halaqatul Badr Fii ‘Adadi Ahli Badr
    Thabaqatul Qurra’
    Naba’u Dajjal
    Tahdziibut Tahdziib
     Tanqiih Ahaadiitsit Ta’liiq
     Muqtana Fii al-Kuna
    Al-Mughni Fii adh-Dhu’afaa’
    Al-‘Ibar Fii Khabari Man Ghabar
    Talkhiishul Mustadrak
    Ikhtishar Taarikhil Kathib
    Al-Kabaair
    Tahriimul Adbar
    Tauqif Ahli Taufiq Fi Manaaqibi ash-Shiddiq
    Ni’mas Smar Fi Manaaqib ‘Umar
    At-Tibyaan Fi Manaaqib ‘Utsman
    Fathul Mathalib Fii Akhbaar Ali bin Abi Thalib
    Ma Ba’dal Maut
    Ikhtishar Kitaabil Qadar Lil Baihaqi
    Nafdhul Ja’bah Fi Akhbaari Syu’bah
    Ikhtishar Kitab al-Jihad, ‘Asakir
    Mukhtashar athraafil Mizzi
    At-Tajriid Fii Asmaa’ ish Shahaabah
    Mukhtashar Tariikh Naisabuur, al-Hakim
    Mukthashar al-Muhalla dan Tartiil Maudhuu’at, Ibn al-Jauzi

Kitab yang paling terkenal adalah Siyar A’lam An-Nubala dan Tarikh al-Kabir. Kitab Siyar A’lam An-Nubala berisi sejarah hidup tokoh-tokoh Islam terdahulu. Karya ini telah menjadi perbincangan penting para ulama. Karena merekam jejak para ulama Islam yang bisa dijadikan ibrah bagi umat Islam saat ini. Karena karya ini beliau dikenal sebagai sejarawan (mu’arrikh).

Disamping ahli sejarah, ia pakar ilmu hadits. Salah seorang gurunya, Al-Hafiz Alamuddin Abdul Qasim bin Muhammad al-Birzali, memuji al-Dzahabi: “Dialah yang menjadikanku mencintai ilmu hadits”. Sejak kecil hafalannya cukup kuat. Sehingga ia dijuluki dengan ‘Imamul Wujud Hifzhan’ (imamnya semua yang ada dalam hal hafalan), Ia diarahkan oleh para gurunya untuk mendalami ilmu hadits.

Muridnya, Syeikh Tajuddin al-Subki al-Syafi’i ketika mengomentari Imam al-Dzahabi, ia kagum dengan sang Imam akan keilmuan jarh wa al-ta’dil. Ia mengatakan, “Guru kami, Abu Abdullah adalah seorang ulama hebat yang tidak ada bandingnya. Beliau adalah gudang perbendaharaan ilmu, tempat kembali ketika permasalahan rumit turun, imam semua orang dalam hal hafalan, emasnya zaman secara makna dan lafazh. Beliau adalah syaikh jarh wa ta’dil, pakar Rijal, seakan-akan umat ini dikumpulkan di satu tempat kemudian beliau melihat dan mengungkapkan sejarah mereka.”

Ahli hadits sebelum al-Dzahabi cukup banyak. Sehingga rekan sekaligus muridnya, Ibnu Katsir berpendapat bahwa Imam al-Dzahabi adalah penutup para ahli hadits kenamaan. Karena, setelah generasi beliau belum ada yang menyamai al-Dzahabi dan imam ahli hadits di atasnya.

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata tentang beliau, “Syaikh-syaikh ahli hadis dan para penghafal ulungnya telah ditutup dengan (keberadaan) beliau”.

Di masa akhir hidupnya, Imam al-Dzahabi mengalami tahun dalam kebutaan. Ketika mengalami gangguan penglihatan ia mulai mengurangi aktifitasnya dalam menulis.  Imam Al-Dzahabi wafat pada malam Senin, 3 Zulqa’dah 748 H, di Damaskus, Syiria dan dimakamkan di pekuburan Bab al-Shaghir.
   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.