Minggu, 04 November 2012

Di BAlik Kekurangan ada 1Juta Kesempurnaan




Jika Nabi Yusuf adalah manusia ciptaan Tuhan yang paling tampan, maka akulah manusia ciptaan Tuhan yang paling buruk. Postur tubuh pendek, rambut kriting, kulit hitam, bibir tebal, hidung pesek, semuanya ada padaku. Mungkin aku bisa menerima semua itu, tapi ada satu hal yang paling kubenci dari diriku.
“Suf, ayo makan!”, teriak ayahku membuyarkan lamunan buruk tentang diriku. Akupun keluar dari kamar, meninggalkan barang-barang yang masih berantakan. Di atas meja makan hanya tersedia beberapa roti isi daging dan dua gelas air putih. Maklumlah, kami baru saja pindah di rumah baru ini. Jadi ayah tidak sempat memasak ataupun memesan makanan.

Sebenarnya salah satu yang paling kubenci dari hidupku adalah orang tuaku. Aku benci karena ayah dan ibuku bercerai. Aku benci karena harus memilih tinggal dengan salah satu di antara mereka. Dan aku memilih tinggal dengan ayah, meski aku juga sangat menginginkan tinggal dengan ibu. Aku tidak pernah mendapatkan alasan yang jelas mengapa mereka bercerai, ayah hanya berkata “Itulah yang terbaik untuk kami”. Tapi sayang sekali, itu bukan yang terbaik untukku.
“Istirahatlah! Besok kita akan mencari sekolah baru untukmu.”, ucap ayah sambil tersenyum kepadaku. Aku menunduk sedih. Aku pasti akan kesulitan mencari teman baru. Di sekolah yang lama saja sangat sedikit yang mau berteman denganku. Bagaimana nanti di sekolah yang baru? Di satu sisi aku sangat senang karena sekolah baruku lebih bagus. Tapi, di sisi lain aku sangat minder untuk berteman dengan mereka nantinya.

***

Pagi-pagi sekali kami berangkat ke sekolah. Sekolahnya sangat bagus, gedungnya bertingkat, banyak pepohonan, dan halamannya bersih. Aku semakin bersemangat dibuatnya. Tanpa buang waktu kami langsung menghadap ke kepala sekolah.
“Maaf Pak, sekolah kami sudah memiliki banyak siswa dan semua kelas sudah penuh.”, kata kepala sekolah. Ayah melihatku dan mata kami beradu. Aku menunduk, tak tahan rasanya menahan air mata yang mau keluar. Akupun berjalan keluar, sementara ayah berusaha sekuat tenaga meyakinkan kepala sekolah. Aku menunggu di luar dengan wajah yang sedih. Suara ayah kedengaran olehku dari luar.

“Aku mohon Pak, terimalah anak saya. Meskipun dia jauh berbeda dari anak-anak yang lainnya, tapi dia anak yang cerdas. Dia sangat suka pelajaran Fisika. Bapak bisa memberinya tes kalau tidak percaya.” Ayah terus membujuk kepala sekolah agar menerimaku. Meskipun kepala sekolah terus menolak, tapi ayah tidak menyerah. Dia bahkan mengatakan akan membayar lebih asalakan saya bisa diterima di sekolah itu. Akhirnya kepala sekolah bersedia menerima dengan syarat aku harus dites. Singkatnya aku dites dan hasilnya adalah perfect. Aku diterima dengan hasil nyaris sempurna.

***

Hari selasa, hari pertama aku masuk sekolah. Ketika guru kelas memperkenalkanku, aku melihat ekspresi beberapa siswa sedikit menertawakanku. Namun ada juga yang kelihatannya empati melihat keadaanku, termasuk Putri, teman dudukku yang baru. Terus terang aku minder duduk dengannya. Dia cantik, putih, dan kelihantannya baik.
Setelah itu, guru menginformasikan bahwa akan ada Olimpiade Sains Nasional (OSN). Siswa yang mau ikut akan dites sebentar sore. Tiga siswa dengan nilai tertinggi
berhak mewakili sekolah untuk seleksi tingkat provinsi dan seterusnya hingga tingkat nasional. Juara nasional akan dipersiapkan untuk olimpiade tingkat internasional.

Aku tidak mau melewatkan kesempatan ini. Meskipun sebenarnya aku agak minder karena siswa kota biasanya pintar-pintar. Tanpa persiapan sama sekali, aku nekat ikut. Aku memilih bidang fisika karena saingannya sedikit dan aku memang suka pelajaran fisika. Esoknya pengumuman telah terpampang di papan pengumuman. Dengan sedikit ragu aku melihat hasilnya dan ternyata aku berada di urutan ketiga. Artinya aku bisa ikut seleksi ke tingkat provinsi. Aku berteriak karena senang, tapi tidak kedengaran siapa pun. Euforia yang kualami membuatku lupa betapa buruknya aku. Sekolah pun membentuk tim guru yang akan mempersiapkan siswa ke tingkat provinsi mengharumkan nama sekolah.

Saat itu, impian terbesarku adalah lolos OSN dan bertemu dengan Prof. Yohanes, seorang ahli fisika terkenal. Singkat cerita, aku berhasil meraih peringkat kedua pada tingkat provinsi. Persiapan pun semakin kupermantap. Semalam aku hanya tidur kurang dari empat jam. Aku mempelajari soal-soal OSN tahun-tahun sebelumnya.

Akhirnya tes tingkat nasional pun dimulai. Tesnya dilakukan sebanyak dua hari. Aku mengerjakan soalnya dengan seluruh kemampuanku. Setelah diperiksa, hasilnya adalah aku berada pada urutan pertama. Aku sangat senang karena akan dibimbing langsung oleh Prof. Yohanes untuk persiapan ke tingkat internasional. Ucapan syukur tak pernah berhenti mengalir dari mulutku. Tapi, tiba-tiba rasa senang itu berubah menjadi gugup, takut, dan malu ketika aku diminta untuk menyampaikan pidato singkat.

Seluruh tubuhku gemetar saat berdiri dipanggung. Mereka tidak tahu kalau aku ini tidak bisa bersuara. Ya, aku bisu dan inilah yang paling kubenci dari diriku. Namaku dan nama Nabi Yusuf memang sama, tapi aku berbeda 180 derajat darinya.
Sudah lima menit aku berdiri tanpa mengeluarkan suara. Tiba-tiba aku melihat ayah datang. Meski terlambat aku tetap senang dan yang membuatku lebih senang lagi, dia datang bersama Ibu. Saat itu, ayah melihatku dan sepertinya dia mengerti keadaanku saat itu.
“Dia anakku!! Ya, dia anakku.” Teriak ayah.

Semua orang di dalam ruangan berbalik ke arahnya. Ayah dan ibu kemudian berjalan naik ke atas panggung, berdiri di sampingku. Kemudian ayah berkat, “Lima bulan yang lalu, aku dan istriku berpisah. Aku tahu itu sangat menyakitkan hati Yusuf, tapi hari ini aku ingin mengatakan padanya bahwa kami sudah baikan kembali. Kalian mungkin heran kenapa Yusuf tidak mengeluarkan sedikitpun kata. Itu karena dia hanya bisa bersuara dengan hatinya dan hanya aku dan Ibunya yang bisa mendengar kata hatinya. Aku mewakili hati Yusuf mengucapkan terima kasih kepada Tuhan, terima kasih kepada kepala sekolah, guru-guru serta teman-teman Yusuf. Sekali lagi terima kasih.”

Ruangan menjadi rebut karena gemuruh tepuk tangan. Beberapa diantara mereka bahkan menangis, termasuk kepala sekolahku. Aku yakin, dia tidak menyesal menerimaku saat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.