Selasa, 26 Februari 2013

CIA, PKI dan PKS



Tatiek UmmuAfra
Keterlibatan Agen Intelijen Amerika (CIA), dalam keruntuhan sebuah partai besar di Indonesia, bukanlah kisah mengada-ada. Dalam kasus PKI (Partai Komunis Indonesia), John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal (terbit 2008) membuktikan keterlibatan tersebut secara ilmiah. Pada bab VI buku yang edisi Inggrisnya diterbitkan The University of Wisconsin Press, Madison, USA (2006) itu, terurai bagaimana keterlibatan Amerika Serikat (CIA) hingga berujung pada kehancuran partai berlambang palu arit. Dari pembukaan bab VI itu saja telah terbayang peranan Amerika Serikat di sana. Di pucuk bab itu diletakkan kutipan pernyataan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Howard P. Jones (HPJ), pada 10 Maret 1965.Apa katanya?

”Dari sudut pandangan kami, sudah barang tentu, percobaan kup yang gagal oleh PKI boleh jadi merupakan perkembangan yang paling efektif untuk memulai pembalikan arah kecenderungan politik di Indonesia.” Demikian Howard Jones berkata.

Dihubungkan dengan kenyataan yang kemudian menjadi fakta sejarah, pendapat HPJ itu langsung terlihat relevansinya. Meskipun, dalam uraian lengkap Roosa di bab 6 itu terungkap, bahwa tidak mudah juga bagi Amerika untuk mendorong terjadinya apa yang mereka harapkan. Bagaimanakah membuat PKI mau melancarkan aksi yang diharapkan Amerika? Bukankah PKI berada di posisi yang sangat baik, buah dari taktik kerjasamanya dengan Sukarno? Di sisi lain, posisi Sukarno pun tidak bisa diserang. Dalam laporan diplomat berpengalaman Ellsworth Bunker kepada Presiden Johnson pada April 1965 tertulis,“Tidak perlu disangsikan kesetiaan rakyat Indonesia kepada Sukarno.” Bangsa Indonesia, lanjut Bunker, “Dalam jumlah yang besar mengharapkan kepemimpinan darinya, mempercayai kepemimpinannya, dan bersedia mengikutinya. Tak ada kekuatan di tanah air yang bisa menyerangnya, tidak pula ada bukti bahwa suatu kelompok penting ingin berbuat demikian.”

Di sinilah kelihaian intelijen menemukan momentum ujiannya. Untuk mencapai apa yang diinginkan Amerika, CIA melancarkan operasi-operasi rahasia yang mendorong PKI berfikir bahwa partai dan Bung Karno dalam keadaan bahaya. Beberapa dari “operasi-operasi black letter [surat kaleng]” dan “operasi-operasi media” CIA dirancang untuk meyakinkan pimpinan PKI, bahwa jenderal-jenderal Angkatan Darat dan Amerika Serikat adalah anjing-anjing gila yang sangat menginginkan kup/kudeta.

Di sisi lain, Bunker menyarankan pula, agar AS menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi elemen-elemen kekuatan potensial untuk menang dalam konfrontasi. Pemerintah AS pun kemudian menjadi sangat berharap terjadinya bentrokan antara Angkatan Darat dengan PKI. AS meyakinkan Angkatan Darat bahwa Amerika Serikat akan mendukung mereka jika mereka bergerak melawan PKI.

Meski kemudian AS dibayang-bayangi keraguan akan sukses dengan isu kudeta para Jenderal, kenyataannya PKI dalam hal ini DN Aidit dan Syam Kamaruzzaman, menyambar umpan yang dipancingkan Amerika. Mereka percaya dengan isu itu. Terjadilah penculikan para jenderal. Akibatnya fatal bagi PKI. Tak lama sesudah operasi yang terkenal dengan nama G 30 S, partai komunis terbesar ketiga di dunia saat itu, hancur dan tak pernah dibiarkan hidup kembali di negeri ini. Amerika dengan kapitalismenya pun keluar sebagai pemenang dalam perebutan pengaruh ideologis melawan komunisme di Indonesia, hingga saat ini.

Sebagai sebuah karya yang dihasilkan dari metode ilmiah, apa yang disampaikan Roosa itu tentu sulit untuk dikatakan oleh orang Indonesia saat ini sebagai mengarang-ngarang atau mereka-reka. Namun, di masa dokumen-dokumen Amerika yang menjadi objek penelitian Rossa masih bersifat rahasia (tahun) 0-an sampai 80-an), dan karena itu belum diungkap ke publik, anggapan yang berlaku di masyarakat Indonesia saat itu pastilah sebaliknya. Saat itu, analisis yang menyatakan adanya keterlibatan intelijen dalam keruntuhan PKI, tentu dianggap hanya suatu teori konspirasi belaka, yang sulit memberikan bukti.

Tetapi mulai tahun 90-an, ketika dokumen itu resmi menjadi konsumsi publik, anggapan itu pun mau tidak mau harus berubah. Apa yang disebut-sebut hanya sebagai teori konspirasi ternyata faktual adanya. Pelajaran dari hal ini adalah: Suatu anggapan yang dinilai sebagai teori konspirasi belaka pada suatu masa, boleh jadi merupakan suatu fakta yang dapat dilihat kesahihannya beberapa dasawarsa ke depan.

Bertolak dari pelajaran atau hikmah tersebut, adalah menarik apa yang disampaikan Anis Matta dalam orasi politik perdananya setelah diangkat sebagai presiden PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Dari berbagai poin yang ia sampaikan, yang relevan di sini adalah pernyataan bahwa ada konspirasi besar untuk menghancurkan PKS.

Ketika ditanya berbagai pihak, siapakah para konspirator itu? (Termasuk dalam pertanyaan ini tentunya: dari dalam negeri atau luar negerikah konspirator itu?). Anis Matta menjawab diplomatis, bahwa ia merasa tidak relevan untuk mengungkapkan apalagi membuktikannya. Anis seolah hendak mengatakan bahwa biarlah PKS saja yang merasakannya, karena sifat konspirasi memang tidak kasat mata namun terasa adanya.

Akan tetapi, jika kisah penghancuran PKI di atas menjadi pembanding, kiranya patut dipertimbangkan publik, kemungkinan pihak asing (baca:Amerika) punya andil dalam prahara PKS. Dan sekiranya memang demikian yang terjadi, prahara PKS sejatinya bukan musibah bagi PKS semata. Bukan pula hanya bagi perpolitikan Indonesia (sebagaimana judul dialog Indonesia Lawyer Club dalam salah satu edisinya: Prahara PKS, Prahara Politik). Tapi ini menyangkut musibah bagi kedaulatan dan harga diri bangsa. Tidakkah nasionalisme bangsa ini terusik, ketika dalam urusan dalam negerinya bangsa lain ikut cawe-cawe?

Kerangka teoritik untuk pertimbangan itu sebenarnya telah lama tersedia, dan semakin hari semakin terlihat relevansinya. Adalah Samuel Huntington, seorang Guru Besar Ilmu Politik asal Amerika yang mengabarkan dunia, bahwa pasca perang dingin di panggung global akan berlangsung clash civilization, benturan peradaban. Kemajuan ekonomi China, reaksi Amerika pasca tragedi 11 September 2001 (termasuk pembentukan Densus 88 di Indonesia), dan Arab Spring, adalah fenomena-fenomena yang kemudian tampak, usai Huntington menyampaikan teorinya di dekade akhir abad 20. Benturan peradaban yang dimaksud Huntington tak lain adalah antara Barat dan Timur. Timur dalam hal ini adalah Islam dan Konfusianisme.

Kerangka teori itu, bagi PKS jelas ada relevansinya. PKS adalah partai Islam terbesar di negeri berpenduduk Islam terbesar di dunia. Apakah ia tidak layak karenanya diperhitungkan, dalam konstelasi clash civilization a la Huntington itu?

Dalam konteks perbenturan ideologi di masa lalu, yang sangat diperhitungkan Barat dari Indonesia adalah PKI. Dalam konteks perbenturan peradaban saat ini, yang wajar bila ia diperhitungkan, adalah PKS! Dalam sejarah, PKI hancur sehancur-hancurnya. Dalam masa penantian, apakah PKS akan habis?

Dengarlah pesan Anis Matta dalam sebuah perhelatan partainya di Bandung. Ia mengutip Aku-nya Chairil Anwar: Luka dan bisa kubawa berlari. Berlari. Hingga hilang pedih perih Aku ingin hidup seribu tahun lagi…..

30 tahun lagi, konspirasi besar yang dinyatakan Anis Matta, terbuka untuk diuji dan dibuktikan di perpustakaan Amerika. Di sana akan ditemukan jawaban atas persoalan: Apakah Amerika memang memiliki keterlibatan atau tidak dalam prahara PKS tahun 2013, dan bagaimana modus operandinya. Apakah PKS saat itu tetap eksis dan telah menjadi the ruling party ? Waktulah yang akan menjawabnya. Yang pasti, sekali lagi, keterlibatan Agen Intelijen Amerika (CIA) dalam keruntuhan sebuah partai besar di Indonesia, bukanlah kisah mengada-ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.