Rabu, 09 Januari 2013

Kisah Nyata : ... MAT AMBON, .. LELAKI YANG DISELAMATKAN ADZAN



Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ... Penulis bertemu dengan bapak dua anak yang biasa dipanggil Mat Ambon ini di perkampungan Mauk-Tangerang-Banten. Rumahnya sedehana, berbentuk semi permanen. Separuh dindingnya terbuat dari bilik bambu.

Begitu masuk ke halaman kantornya, tampak suasana hijau nan asri. Tanaman hias dan buah tumbuh subur. Di sekelilingnya terdapat sangkar-sangkar burung, ternak bebek, ayam dan beberapa kelinci bebas berkeliaran. Di sini, suasana tenang dan damai terasa.

Hidup di jalanan membuat lelaki ini berkubang kesesatan. Raja preman yang pernah menguasai Lapangan Banteng, Tanjung Priuk, Senen, sampai Tangerang ini akhirnya menerima panggilan Allah melalui suara adzan. Kini ia mengasuh 20-an anak-anak yatim dan anak terlantar lewat Yayasan Ali Zanni.
Masuk Penjara ...

Sekarang saya merasakan damai dan tenang dalam menjalani hidup. Suatu perasaan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya. Hidup saya kelam, berkubang dosa sebelum saya taubat. Semua diawali ketika saya masih kecil. Waktu itu, tahun 1957, masa-masa sulit bagi bangsa ini setelah terbebas dari belenggu penjajah.

Ayah saya seorang militer berpangkat mayor. Jangan bayangkan kami bisa hidup enak. Tidak seperti sekarang, seorang mayor bisa hidup makmur. Dulu, pekerjaan ayah dihabiskan untuk mengabdi pada negara, bertugas menjaga keamanan, berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain. Keluarga kami harus hidup seadanya, sangat pas-pasan.

Saya anak ketiga dari empat bersaudara. Kehidupan kami sangat sulit, ibu menitipkan anak-anaknya ke beberapa kerabat agar bisa bertahan hidup. Cuma saya yang tinggal bersama ibu. Untuk membantu keuangan, saya bekerja apa saja; jualan koran, menyemir sepatu, dan melakukan pekerjaan kasar lainnya. Yang penting kami bisa makan.

Saya giat bekerja, sibuk mencari uang. Sekolah saya terbengkalai, saya tidak bisa melanjutkan sekolah dasar. Karena terbiasa hidup di jalan, tanpa sepengetahuan ibu, saya merantau ke Jakarta, tujuannya mencari uang untuk membantu ibu. Malang, saya malah terjebak pada dunia jalanan, dunia premanisme yang sedikitpun tidak pernah saya bayangkan.

Waktu itu, di Jakarta banyak terjadi Petrus (Penembakan misterius). Suatu pagi, ketika hendak mangkal di Lapangan Banteng, tempat saya mengais uang dengan menyemir sepatu, saya ditangkap petugas. Saya digiring ke kantor polisi, ditanya macam-macam tentang korban Petrus.

Walaupun saya dan teman-teman lain bukan tersangka, atau terkait dengan korban, tapi kami tetap harus menginap di hotel prodeo. Pahit sekali pengalaman saya. Saya pun bersumpah, inilah untuk terakhir kalinya saya masuk penjara. Nyatanya saya semakin terperosok. Hidup di kota besar banyak pengorbanan yang kita harus lakukan, terlebih kalau hidup di jalanan. Bagaikan vampir, setelah terhisap racun, saya pun menyedot racun lainnya agar bisa bertahan.

Jalanan telah membentuk saya menjadi seorang yang keras, tidak mengenal ampun. Menindas atau ditindas, membunuh atau dibunuh. Kekerasan hidup itulah yang akhirnya membuatku semakin terperosok dalam lumpur dosa.

Semakin Hanyut ...

Bisa dikatakan saya ini seangkatan dengan Joni Indo. Dia itu abang saya. Syukurlah dia akhirnya bisa melepaskan diri dari cengkraman setan. Ketika saya remaja, saya tidak lagi bekerja nyemir sepatu atau jual koran.

Lama hidup di jalanan, saya tidak saja tahu seluk beluk jalanan, tapi saya menguasai dunia gelap itu. Saya tumbuh menjadi remaja yang lepas kontrol. Saya tidak bisa lagi membedakan mana yang tidak boleh saya lakukan.

Untuk bertahan, saya harus melakukan apa saja; menjadi preman, pencuri, perampok, bahkan saya harus menjadi pembunuh. Kejam? Memang, tapi semua saya lakukan untuk bertahan.

Daerah Lapangan Ban­teng sudah saya kuasai. Semua preman tak ada yang tidak mengenal saya. Mereka tunduk, hormat dan mau melakukan apapun yang saya minta. Daerah kekuasaan saya sampai Poncol, Senen, Tanjung Priuk sampai Tangerang.

Walaupun preman, wajah saya tidak segarang yang dibayangkan orang. Fisik saya gagah dan tampan. Kekuatan saya tidak hanya pada dunia kriminalitas, tapi juga dalam menaklukan wanita. Saya sering gonta-ganti pasangan. Siapa pun wanita yang melihat saya langsung tunduk bahkan ada yang mengejar-ngejar saya.

Saya semakin hanyut, saya menggunakan daya tarik fisik saya untuk memperkaya diri. Ya, terjerumuslah saya dalam gelimang dunia gigolo. Naudzubillah. Setiap mengingat ini, perasaan saya sedih, pilu mengingat masa-masa kelam itu.

Waktu itu saya tidak merasa bersalah apalagi berdosa. Tidak pernah. Saya menikmati dunia yang mengumbar nafsu syahwat untuk kenikmatan sesaat. Saya memang tidak pernah merasa puas, justru saya semakin hanyut, larut, dalam nikmat dunia yang tidak pernah terpuaskan. Bayangkan, saya memiliki semuanya. Uang, perempuan dan status. Beberapa kali saya terpilih sebagai ketua preman, tapi semua itu sedikit pun tak pernah membahagiakan jiwa saya.

Saya bergelimang uang. Uang dari berzina, orang-orang yang membayar jasa saya ketika saya melakukan apa yang dia perintahkan, dan anak-anak buah yang rutin memberikan setoran. Mereka tunduk, memberikan berapa pun uang yang saya minta. Tapi, rezeki setan tidak pernah berkah. Saya tidak memiliki rumah, kendaraan mewah, atau harta lainnya. Semua uang saya habis di meja judi.

Judi adalah permainan yang membuat saya ketagihan, saya gila karenanya. Berapapun uang yang saya terima selalu habis di sana. Bahkan ketika saya menang pun, uang jutaan rupiah selalu habis dalam sekejap.

Hingga suatu sore, di tahun 2003, saya main judi di Gerendeng, daerah pusat kota Tangerang. Tiba-tiba saya mendengar suara adzan, panggilan untuk menunaikan shalat Ashar. Saya kemudian ke luar ruangan, telinga saya berdengung, hati saya bergetar. Tiba-tiba terbersit dalam hati: “Ya Allah, saya ingin bertaubat. Saya harus meninggalkan judi, minum, main perempuan. Saya bersumpah, ya Allah. Saya ingin taubat.”

Saya pun mengutarakan hal itu kepada 40 orang anak buah saya. Mereka terkejut, tidak percaya apa yang saya katakan. “Mana mungkin shalat Abang diterima, tato Abang kan banyak,” kata mereka.

Ada juga yang bilang, “Shalat Bang? Bakal hujan gede, geledek besar kalau Abang shalat,” atau ada yang berkomentar, “Yang bener nih? Berarti Abang nggak bakal bergaul sama kita lagi dong.”

Intinya mereka menghalagi saya ketika saya akan shalat. Tapi saya tidak peduli, saya sudah berbulat hati, saya capek hidup dalam kegelapan terus. Saya ingin shalat, saya ingin taubat. Itulah pertama kalinya saya menginjak masjid. Tubuh saya menggigil, dijalari rasa takut. Niat saya sudah bulat, saya berwudhu dan shalat.

Membangun Mushala ...

Saya mengalami perasaan luar biasa ketika pertama kalinya saya mencium bumi, bersujud dalam shalat. Nikmatnya luar biasa. Sulit saya gambarkan perasaan saya waktu itu.

Hari-hari berikutnya saya habiskan untuk shalat dan berzikir, saya memohon kepada Allah untuk mengampuni dosa-dosa yang saya perbuat.

Saya terus bermunajat, berharap hanya kepada Allah. Saya tidak ingat hari; siang-malam saya habiskan untuk duduk bertafakur kepada-Nya. Setiap membaca inna shalati, wanusuki, wama yahya wa mati…saya merasakan siap untuk mati, menghadap Allah swt. Saya menangis setiap menyebut nama-Nya.

Subhanallah. Apakah taubat saya diterima? Allahu a’lam. Saya merasakan perasaan lapang, damai, dan kelembutan. Setelah rutin menjalani shalat, saya menjadi sosok yang mudah menangis, dan tidak bisa berbuat kasar. Bahkan menepuk nyamuk pun saya tidak tega. Benarlah janji Allah, bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan munkar. Setiap hari yang ingin saya lakukan hanya shalat saja. Apalagi shalat Tahajud, ibadah sunnah yang selalu saya rindukan.

Di saat saya kembali ke jalan Allah, ujian terberat adalah rezeki. Dulu, saya bergelimang uang, yang mudah sekali saya dapatkan. Berapapun yang saya minta selalu diberi. Kini, uang sangat sulit saya dapatkan, karena saya mantap mau menerima uang halal. Saya tidak mau menerima uang hasil rampokan dan sebagainya. Di sinilah kesabaran saya diuji.

Pada saat yang sama muncul dalam benak saya keinginan yang ingin segera saya wujudkan, yakni membangun mushala. Saya bisa saja mendapatkan uang dari yang tidak halal, tapi saya tidak mau. Saya ingin uang itu dari keringat saya sendiri. Saya mau uang itu terjaga kehalalannya. Saya pun mulai bekerja. Apa saja; menjadi satpam, menjaga rumah atau membantu orang-orang yang butuh bantuan.

Alhamdulillah, banyak orang yang mempercayakan saya untuk menjaga amanahnya. Waktu tak begitu lama, saya sudah mendapatkan rezeki untuk membangun mushala, saya menerima tanah wakaf seluas 100 meter persegi. Tidak hanya bantuan materi, bantuan fisik pun saya dapatkan dari para penduduk desa setempat. Kami bergotong-royong, bahu membahu, mengerjakan mushala.

Saya bersyukur kepada Allah swt. yang telah mengaruniakan semua ini. Sampai sekarang pun saya selalu memikirkan proses taubat saya yang tiba-tiba. Tapi itulah hidayah Allah yang tidak bisa dihalangi oleh siapapun.

Kadang saya bertanya: Mungkinkah ini karena puasa Senin-Kamis yang tidak pernah saya tinggalkan semenjak muda? Ya, walaupun hidup berkubang maksiat, saya memang tidak pernah meninggalkan puasa sunnah itu. Entah mengapa ada kepercayaan kuat bahwa puasa itu akan membuat saya lebih kuat dari segi fisik.

Mendirikan Panti Asuhan ...

Kata orang, satu ibadah yang kita yakini akan menolong kita, akan menjadi pintu untuk kembali kepada cahaya-Nya. Mungkinkah karena puasa yang tidak pernah saya tinggalkan ini? Ya, apapun itu saya sangat bersyukur karena diberi kesempatan untuk kembali kepada jalan-Nya yang lurus.

Saya tidak mau merasakan nikmat ini sendirian. Saya kemudian mengajak teman-teman-teman preman untuk mengikuti jejak saya. Caranya, saya mengundang mereka untuk syukuran. Di sana saya akan menyusupkan pesan-pesan untuk bertaubat. Malam itu telah hadir 40 preman.

Mereka senang, karena menyangka saya akan kembali dalam dunia mereka. Mereka datang ada yang teler, setengah teler, dengan menggunakan motor dengan suara yang meraung-raung. Acara saya adakan di mushala.

Acara saya susun seperti acara pengajian. Banyak anak buah yang protes, “Bang, bilang dong kalo ngadain pengajian,” ungkap mereka. Banyak yang meninggalkan tempat, tapi ada juga empat orang preman yang ingin bertaubat dan mengikuti langkah saya. Alhamdulillah.

Saya tidak pernah meninggalkan teman-teman saya, walaupun banyak dari mereka yang kecewa pada perubahan saya. Sebaliknya saya tetap baik dan berdakwah kepada mereka. Mereka pun sama kuatnya untuk mengajak saya kembali berbuat maksiat.

Tapi saya selalu menolaknya dengan cara halus. Saya yakin bahwa dakwah yang lembut akan mudah diterima. Saya tidak pernah menyerah. Saya akan terus mengajak mereka. Saya harus tanamkan bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa kita jika kita sungguh-sungguh bertaubat.

Hadits yang mengatakan jika kita berjalan menuju jalan Allah, Allah swt. akan berlari menyambut kita. Setelah bertaubat banyak kenikmatan dunia yang saya dapatkan, hidup tentram, rumah tangga saya harmonis. Kini amanah saya bertambah, yakni menjaga anak yatim.

Ceritanya, di wilayah yang tidak jauh dari tempat saya tinggal, ada sebuah rumah panti asuhan yang akan dibakar warga, karena seorang ibu asuhnya ingin membakar salah satu anak asuhnya. Beberapa orang datang kepada saya, “Bapak Ambon, tolong jaga rumah itu sebelum dibakar warga,” kata mereka. Saya pun menjaganya supaya tidak ada korban yang berjatuhan.

Peristiwa itu kemudian ditangani polisi. Masalah selanjutnya, siapa yang akan menampung 8 anak asuh yang tinggal di sana. Saya langsung menyatakan kesediaan. Istri saya sempat ragu, “Bagaimana Bapak ini, mencari nafkah untuk menghidupi anak 2 saja sulit, bagaimana dengan 8 anak lainnya?” kata istri saya khawatir.

Saya pun meyakinkan, kita percaya Allah akan menolong kita, jika kita menolong anak-anak istimewa, titipan Allah itu. Akhirnya istri saya setuju.

Kami memiliki 5 pintu untuk dikontrakkan. Sekarang, seluruh tempat dipakai untuk anak-anak yatim. Sekarang jumlah anak asuh saya lebih dari 20 orang. Mareka adalah anak-anak yatim yang berasal dari wilayah di Tangerang. Saya tidak hanya menampung, tapi juga menyekolahkan mereka.

Saya akan berupaya supaya mereka mendapat pendidikan yang tinggi, kalau perlu kuliah sampai sarjana. Istri saya, Ani Nurhayati, seorang ibu yang sabar, disipilin dan tekun beribadah. Yang saya kagum padanya adalah kekuatan dari dirinya untuk menyadarkan dan mendukung saya sepenuhnya.

Istri saya sangat sabar dalam mendidik dan mendisiplinkan anak-anak. Tadi pagi kami kedatangan tamu, seorang ibu yang menyerahkan anaknya yang baru berusia dua hari, karena tidak mampu memberinya makan. Istri saya dengan tangan terbuka mau mengasuh bayi tersebut.

Subhanaallah. Padahal dia tidak muda lagi, usianya sudah berkepala 6. Sekarang, kami sepakat untuk konsentrasi mengasuh anak-anak yatim. Saya berniat membangun asrama yatim. Semoga Allah memudahkan niat kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.